5. First Meeting

2138 Words
Lisa melipat mukenanya usai melaksanakan salat subuh. Tak lupa, saat salat ia berdoa kepada Allah agar hati bapaknya bisa luluh dan menyayangi Lisa dengan tulus seperti seorang bapak pada umumnya. Lisa membuka jendela kamarnya agar udara pagi bisa masuk. Ia melihat lahan perkebunan yang terhampar di depannya masih sedikit diselimuti kabut. Pemandangan yang sangat berbeda dengan yang selama ini ia temukan di ibu kota. Lisa memutuskan keluar rumah untuk menghirup udara pagi. Ia mengambil sweater rajutnya yang berwarna hitam dan segera keluar kamar. Namun, saat hendak menuju pintu, ia menemukan Meli sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Lisa jadi merasa tidak enak karena membiarkan Meli sibuk di dapur sendiri tanpa ada yang membantu. Lisa mengurungkan niatnya ke luar rumah dan lebih memilih menghampiri Meli dan bermaksud membantunya. "Lagi sibuk bikin sarapan, Teh?" tanya Lisa. "Eh, kamu Lis? Teteh kira belum bangun," ucap Meli sambil memasukkan pisang yang sudah berbalut tepung ke dalam penggorengan. "Ya udah bangun atuh, Teh, kan kudu salat subuh. Ada yang bisa aku bantuin gak, Teh?" ucap Lisa sambil mengikat rambutnya. "Hmmm ... apa ya?" "Teteh mau bikin apa buat sarapan?" tanya Lisa. "Teteh Cuma bikin pisang goreng sama singkong goreng aja kok soalnya masih ada sisa hasil panen kemarin, terus nanti bikin kopi buat bapak sama teh manis buat Dimas dan s**u buat anak-anak," ucap Meli sambil membalikkan pisang dalam penggorengan. "Ya udah aku bantu bikinin teh, kopi sama s**u aja ya?" "Emang tangan kamu udah gak sakit?" "Ah luka kecil gitu doang mah, gak apa-apa kok. Aku kan kuat, Teh," ucap Lisa sambil menggerakkan lengan kanannya. "Ya udah, tolong bikinin ya," ucap Meli sambil menunjuk tempat penyimpanan gelas, kopi, teh, s**u dan gula. Sebelumnya, Lisa merebus air dalam teko karena minumannya harus diseduh langsung dengan air yang mendidih bukan air panas yang sudah disimpan di dalam termos. Tapi, khusus untuk kedua keponakannya, Lisa mencampurnya dengan susunya dengan air biasa agar suhunya menjadi hangat, tidak terlalu panas. Setelah Meli beres menggoreng pisang, ia lanjut menggoreng singkong. Lisa membawa nampan berisi minuman yang telah ia buat bersama dengan sepiring pisang goreng ke meja makan. Nampan di tangannya hampir saja jatuh ketika ia melihat bapaknya sudah duduk di meja makan. Tetapi Lisa langsung bisa menguasai dirinya dan kembali berjalan menuju meja makan. "Pak, ini pak kopinya sama pisang gorengnya," ucap Lisa sambil memindahkan isi nampan ke meja makan. Bapaknya hanya diam tanpa menanggapi ucapan Lisa. Keadaan menjadi semakin canggung. Untung saja tak lama dua keponakannya bergabung di meja makan. "Bibi!" panggil Diva. "Hei geulis, udah rapi aja. Yuk duduk dulu sini, nih bibi udah bikinin kalian s**u," ucap Lisa sambil menyimpan gelas s**u ke hadapan dua keponakannya. "Aku suka oleh-oleh dari bibi," ucap Dafa lalu menggigit pisang goreng yang masih hangat. "Oh ya, alhamdulillah kalo Dafa suka, kalo Diva suka nggak?" Diva hanya menganggukan kepalanya karena mulutnya masih penuh dengan pisang goreng. "Kamu hari ini mau ngapain, Sa?" tanya Dimas yang sudah menempati kursinya. Dimas sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dimas bekerja sebagai PNS di kecamatan. "Hmm ... belum tahu, A, paling beberes kamar dulu kali ya, sambil bantuin Teh Meli di rumah dulu kayaknya," ucap Lisa lalu menyeruput tehnya. "Oh gitu, yaudah santai aja dulu. Kalau mau pergi bilang sama Aa ya, Sa." "Oke." Sesekali Lisa mencuri-curi pandang ke arah bapaknya. Bapaknya seakan tidak peduli dan tidak menganggap keberadaannya. Ah, sudahlah, jangan diambil pusing Lisa, kamu harus kuat, batinnya mengingatkan. Meli membawa sepiring singkong yang telah ia goreng ke meja makan, lalu ia ikut bergabung dengan yang lain. Sang bapak menyeruput kopinya, diam sejenak lalu berkata, "Kok rasa kopinya beda, Mel?" tanya bapak pada menantunya itu. "Eh,itu, hari ini yang bikin kopi Lisa, Pak, bukan Meli. Tapi takarannya seperti biasa kok, kan tadi Meli yang kasih tahu," ucap Meli sedikit gugup. "Besok, jangan ada yang bikinin kopi untuk bapak selain Meli, rasanya beda, aneh," ucap bapak tajam dan tak berperasaan. Lisa yang sedang memakan pisang goreng menghentikan kunyahannya. Meli jadi merasa tidak enak dengan Lisa. Lisa hanya tersenyum pada kakak iparnya sambil memberi isyarat bahwa hal itu tidak apa-apa. "Oh, i ... iya, Pak, hampura (maaf)," ucap Meli. "Bapak mau ke kebun dulu." Lelaki itu segera meninggalkan meja makan yang masih ramai. Dimas hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap bapaknya. "Kenapa bapak kayak gitu, ya?" tanya Dimas heran. "Jangan kamu pikirkan ya Lisa, anggap saja perkataan bapak itu angin lalu," ucap Meli menghibur. "Iya, gak apa-apa, Teh. Lisa gak apa-apa." "Ya udah Aa pergi kerja dulu ya, ayo Dafa, Diva pamit dulu sama ibu dan bibi," perintah Dimas pada kedua anaknya. Dimas memang biasa mengantar kedua anaknya yang letak sekolahnya tak jauh dari kantor kecamatan. Dafa dan Diva bergantian mencium tangan ibu dan bibinya. "Bi, nanti pulang sekolah kita main ya," ajak Diva. "Iya bener, Bi, kita main, nanti kita keliling kebunnya Abah Ramli ya, Diva," terang si sulung Dafa. "Eh, kalian mah berangkat sekolah aja belum, udah mikirin main aja," tegur Meli. "Iya, nanti pulang sekolah kita main, sekarang kalian sekolah dulu ya, belajar yang bener biar pinter," ucap Lisa. "Iya biar bisa sekolah tinggi kayak Bibi Lisa," ucap Meli. Meli dan Lisa mengantarkan Dimas, Dafa dan Diva sampai teras. Mereka berdua melambaikan kedua tangannya seiring dengan motor Dimas yang semakin menjauh. Dimas memang memilih bonceng tiga menggunakan sepeda motor. Diva naik motor bagian depan, sedangkan Dafa duduk di jok belakang. Lagian di desa seperti ini tidak akan ada polisi yang akan menilang, kan? "Teh, aku mau beresin barang di kamar dulu ya, abis itu baru bantuin teteh di dapur," ucap Lisa. "Iya, gak apa-apa, santai aja, teteh juga mau beresin kamar anak-anak sama nyuci baju dulu," ucap Meli lalu menutup pintu. === Lisa membersihkan bagian dalam lemari lalu menyimpan semua bajunya di sana. Ukuran lemarinya juga sedang, tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Tingginya Hanya sebatas d**a Lisa. Ia juga menyimpan beberapa aksesoris dan kosmetiknya di bagian atas lemari. Kamarnya yang baru ini memang tidak memiliki meja rias. Tapi, Lisa tak ambil pusing. Ia bukan perempuan yang repot dengan perabotan mewah atau sejenisnya. Meskipun dulu ia kerja kantoran dan memiliki gaji yang cukup besar, ia dan bibinya tetap hidup sederhana. Setelah selesai merapikan bajunya, ia membereskan dokumen-dokumen penting yang ia bawa. Ia menyimpannya ke dalam laci kecil yang ada di lemari. Saat ia membuka laci, ia terkejut karena menemukan foto mendiang ibunya saat masih muda. Entah siapa yang menyimpan foto jadul itu di lemari kamarnya ini. Ia meletakkan dokumennya dan mengambil foto sang ibu. Meski foto itu sudah agak usang dimakan usia, tetap tidak bisa menyembunyikan kecantikan sang ibu. Ibunya benar-benar mirip dengan Lisa. Lisa menjiplak sebagian besar fisik ibunya. Dimas juga mengakui hal itu dan hal itu juga yang membuat Dimas heran. Lisa jadi teringat kata-kata kakaknya, "Kamu itu ibu banget loh, Sa. Tapi kenapa sikap bapak ke kamu itu dingin gitu ya? Harusnya kan beliau senang ada kamu anaknya yang mirip banget sama ibu. Harusnya bapak itu sayang banget sama kamu, bukan malah acuh." Lisa jadi tiba-tiba rindu dengan ibunya. Apalagi sejak bayi ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Air mata Lisa menetes mengingat hal itu. "Lisa kangen, Bu," ucap Lisa lirih sambil memeluk foto ibunya. "Ibu kenapa pergi ninggalin Lisa? Bahkan Lisa gak pernah ngerasain ASI-nya ibu dulu, pelukan ibu." "Lisa kangen Bu, kangen banget." Lisa lalu menatap foto ibunya. "Bu, kenapa bapak gak suka sama aku ya, Bu? Apa salah aku sama bapak? Kenapa bapak benci banget sama aku?" "Aku akan cari tahu kenapa bapak begitu sama aku, Bu. Ibu gak usah khawatir, aku itu anak yang kuat kok, Bu. Aku selalu berdoa biar ibu bahagia di sisi Allah," ucap Lisa lalu mengecup foto ibunya. "Lis, Lisa!" panggil Meli dari luar kamar. "Iya, Teh," Lisa langsung menghapus jejak air mata di wajah cantiknya. "Bantuin teteh di dapur, yuk!" ajak Meli masih dari luar kamar. "Iya, sebentar Teh." Lisa kembali menyimpan foto ibunya di laci lalu menuju dapur untuk membantu Meli memasak. === "Assalamu'alaikum!" ucap Dafa dan Diva bersamaan. Kakak beradik itu melepas sepatu dan kaos kakinya lalu masuk rumah sambil menenteng sepatunya. "Wa'akaikumussalam. Eh, ponakan bibi udah pulang," ucap Lisa yang datang dari arah dapur sambil membawa piring berisi ikan nila goreng. "Bi nanti beneran ya kita main abis ini ke kebun Abah Ramli terus nanti ketemu sama om kasep deh," ucap Dafa sehabis menyimpan sepatunya di rak sepatu. "Eh, Dafa ganti baju dulu, salat zuhur, terus makan. Main aja nih anak," ucap Dimas yang tiba-tiba muncul. Memang jika siang begini, Dimas selalu menjemput kedua anaknya, makan siang di rumah lalu kembali ke kantor kecamatan. Mereka berempat menyantap hidangan yang sudah dimasak oleh Meli dan Lisa. Menu masakan hari ini adalah sayur lodeh, ikan nila goreng, tahu bacem, tempe goreng tepung dan sambel ulek yang disimpan di meja masih bersama cobeknya. Mereka makan dengan lahap sedangkan bapak Dimas dan Lisa tidak ikut karena masih belum pulang dari kebun. Lisa sangat bahagia bisa makan bersama keluarganya seperti ini. Dulu, biasanya ia hanya akan makan berdua dengan bibinya atau makan di kantin kantor. Meskipun bapaknya bersikap dingin, setidaknya masih ada kakak, kakak ipar dan dua keponakannya yang lucu sebagai pelipur lara. === Lisa, Dafa dan Diva berkeliling kebun menggunakan sepedanya. Matahari memang bersinar terik, tapi jangan dibayangkan udaranya panas seperti ibu kota. Meski cuaca cerah, udaranya terasa sejuk, tidak panas. Mereka bertiga bersepeda dengan nyaman. Lisa menggunakan sepeda Meli mengawasi dua ponakannya yang bersepeda di depannya. Mereka menyusuri jalanan perkebunan yang kata Diva milik Abah Ramli. Lisa hanya bisa berdecak kagum melihat luasnya perkebunan milik Abah Ramli. Mungkin, Abah Ramli itu seperti juragan tanah, pikir Lisa. Pasti Abah Ramli juga kaya raya, mengingat lahannya yang terhampar begitu luas, bisa dibayangkan pendapatannya yang begitu melimpah ketika panen tiba. Setahu Lisa, bapaknya juga mempunyai lahan perkebunan tetapi tidak seluas milik Abah Ramli. Lisa jadi teringat dulu ketika ia KKN saat menjadi mahasiswa. Ia juga ditempatkan di desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani di daerah Jawa Tengah. Ia bersama teman-teman kelompoknya menyusun beberapa program untuk masyarakat desa. Ia bersyukur saat itu masyarakat desa menerima kehadirannya dan teman-teman dengan tangan terbuka. Tak jarang aparat desa pun ikut membantu menyukseskan program yang kelompoknya buat. Selain mengayuh sambil menikmati hamparan kebun yang memanjakan mata, Lisa juga menyapa para petani yang ada di kebun ketika sepedanya melintasi jalan di samping kebun mereka. "A, Om Kasep mana sih?" tanya Diva pada Dafa. "Gak tahu atuh," jawab Dafa. "Emang Om Kasep kalian teh siapa sih?" tanya Lisa penasaran. "Itu loh, Om Kasep teh anaknya Abah Ramli, Bi. Om kasep dulu sekolahnya jauh, di Belanda. Baru pulang kemarin-kemarin ini. Anak-anak seumuran kita di sini manggilnya Om Kasep, soalnya kasep pisan kan ya, A?" "Hmm," jawab Dafa dengan gumaman. "Eh, kita ke kebun stroberinya aja yuk? Kali aja ada di sana? Kan sekalian Bibi juga bisa metik langsung stroberinya." "Eh, emang boleh gitu? Gak dimarahin sama Om Kasepnya?" "Ya nggak atuh, Bi. Kan emang lahan itu mah siapa aja boleh ambil stroberinya. Abah Ramli sama Om Kasep teh bageur (baik) tahu sama warga sini, Bi." Lisa jadi penasaran dengan Abah Ramli dan Om Kasep yang Dafa dan Diva ceritakan. Lisa mengikuti kedua ponakannya yang mengayuh sepeda menuju kebun stroberi. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dafa dan Diva mendengar suara pedagang yang sangat fenomenal. Tahu Bulat. "Tahu bulat, tahu bulat, digoreng dadakan, gurih-gurih enyoy!" ucap sang pedagang yang menggunakan mobil pick up melalui pengeras suara. "A, jajan tahu bulet dulu yuk." "Yuk!" Dafa dan Diva mengayuh sepeda mereka dengan cepat. "Hei, jangan ngebut, Dafa, Diva!" teriak Lisa. Mobil tahu bulat akan melintas dari sebelah kiri. Tiba-tiba Diva berteriak bahwa sepedanya tidak bisa direm. Lisa menjadi panik mendengarnya. Kalau tidak direm, maka sepeda yang digunakan Diva akan tertabrak oleh mobil tahu bulat yang akan lewat dari sebelah kiri. Apalagi, mobil tahu bulat yang awalnya pelan tiba-tiba menjadi bergerak kencang. "Diva, awas!" Mobil tahu bulat itu menyenggol sepeda Diva bagian depan. Diva langsung terjatuh dan menangis. Lisa langsung menjatuhkan sepedanya dan menghampiri Diva. "Ya Allah, mana yang sakit, Sayang?" "Sakit, Bi," ucap Diva sambil menangis. Lisa menitipkan Diva pada Dafa sedangkan ia berjalan menuju si pengemudi mobil untuk melabraknya. "Heh, turun lo!" Sang pengemudi pun turun. Lisa agak sedikit terkejut dan tertegun ketika mendapati si pengemudi mobil tahu bulat ini turun dari mobil. Pasalnya dia tampan dan berwibawa, sama sekali tidak cocok berprofesi sebagai tukang tahu bulat. Lisa tersadar kembali dan langsung menghardik lelaki itu. "Heh, gak punya mata lo! Nyetir mobil di jalan kampung gini jangan kenceng-kenceng dong! Tuh lihat keponakan gue jadi ketabrak sama lo, kan? Bisa nyetir gak sih?" bentak Lisa. Lelaki di hadapan Lisa itu mengamati Lisa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepertinya bukan orang sini, apalagi mendengar gaya bicaranya yang 'lo-gue', batin lelaki itu. "Aduh, maaf saya gak sengaja. Serius, saya gak sengaja," ucap lelaki yang ternyata Faraz dengan mimik wajah bersalah. "Enak aja, gak sengaja, gak sengaja! Lihat tuh, sepedanya rusak, Diva juga jadi luka, kan? Pokoknya lo harus tanggung jawab!" "Iya, tenang saya akan tanggung jawab." Faraz dan Lisa menghampiri Diva yang masih menangis. "Loh, Om Kasep?" ucap Dafa. "Loh, kalian?" ucap Faraz pada Dafa dan Diva. Lisa yang mendengar jadi terkejut. Apa? Jadi lelaki ini Om Kasep? Anak dari Abah Ramli? Anak pemilik kebun yang luas itu? Tamat riwayat kau, Lisa, batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD