1. Sarfaraz Maqil Fawwaz
Seorang lelaki menggunakan jeans hitam, kemeja biru tua yang dilapisi coat hitam dan dilengkapi kaca mata hitam terlihat ke luar dari bandara Soekarno-Hatta sambil menggendong tas ransel dan membawa beberapa koper. Ia melihat jam tangan yang sudah ia setting menggunakan waktu Indonesia. Tinggi badannya yang mencapai 180 cm membuat siapa saja berdecak kagum akan ketampanan lelaki ini. Ia memutuskan untuk duduk di kursi tunggu sambil menunggu orang yang menjemputnya datang. Ia melepaskan tas ranselnya lalu menghirup udara di sekitarnya dengan rakus.
Ah, akhirnya lelaki ini bisa menghirup udara dari tanah kelahirannya setelah dua tahun lebih tinggal di negeri orang. Ia memandang ke sekelilingnya yang juga ramai. Akhirnya, ia memutuskan untuk memainkan games di ponselnya sambil menunggu orang yang akan menjemputnya.
"Den Faraz!" teriak seorang lelaki paruh baya mengalihkan Faraz dari ponselnya. Ya, lelaki ini bernama Sarfaraz Maqil Fawwaz yang baru saja pulang setelah menyelesaikan program masternya di Belanda selama dua tahun lebih. Faraz pun mengalihkan perhatiannya dari ponsel pada lelaki paruh baya yang sudah sangat dikenalnya itu.
"Aduh, maaf Den, saya telat jemputnya ya, macet banget tadi di jalanan," ucap lelaki paruh baya itu sambil mengatur napasnya.
"Iya, gak apa-apa, Mang Karman. Mang Karman apa kabar?" tanya Faraz pada lelaki yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri sambil memeluknya khas lelaki.
"Alhamdulillah baik, Den. Mamang teh juga kangen pisan sama Den Faraz." Mang Karman pun membalas pelukan Faraz, anak majikan yang sudah ia anggap seperti anak sendiri karena Mang Karman sudah bekerja dalam kurun waktu yang sangat lama di keluarga Faraz.
"Ih, udah lama gak ketemu, makin kasep (ganteng) aja Den," ucap Mang Karman memuji Faraz.
"Ah, si Mamang mah bisa wae (bisa aja)," ucap Faraz sambil tersenyum.
"Ih atuh mamang mah bener da, gak bohong. Pasti nanti cewek-cewek di desa teh pada kelepek-kelepek lamun ningali Den Faraz nu tambah kasep (kalau lihat Den Faraz tambah ganteng)."
"Ayah sama Ibu gak ikut jemput aku, Mang?" tanya Faraz sambil menyerahkan kopernya pada Mang Karman. Faraz sedikit kecewa ketika mendapati kedua orang tuanya tidak ikut menjemputnya ke bandara.
"Nggak, Den, lagi riweuh (repot) di rumah, biasa habis pada panen gitu. Tapi si ibu udah masak banyak pisan buat nyambut Den Faraz. Tadi nih si mamang lihat ibu masak sayur asem, ayam goreng, sambel terasi, ikan asin, semur jengkol, pete bakar, jeung naon deui tadi teh nya (sama apa lagi tadi ya)? Ah pokokna mah loba pisan lah, Den. (Ah pokoknya banyak sekali)"
"Aduh, Mang. Ulah ngabibita kitu, lah." (Jangan buat jadi pengen gitu, lah). Namun, setelah mendengar alasan Mang Karman, Faraz jadi maklum kenapa kedua orangtuanya tidak ikut menjemputnya. Memang biasanya mereka akan sanga repot ketika musim panen tiba. Tapi masa jemput anak sendiri tidak sempat? Ah, sudahlah, lo kan bukan anak kecil lagi, Raz, batin Faraz memperingati.
Faraz dan Mang Karman berjalan beriringan menuju mobil. Faraz membantu Mang Karman memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Setelah itu ia masuk dan duduk di kursi sebelah Mang Karman. Mang Karman menyetir mobil membelah jalan raya menuju Bandung. Sepanjang perjalanan, Mang Karman dan Faraz bercerita tentang banyak hal. Sesekali mereka tertawa karena hal lucu yang mereka ceritakan.
"Mang, kalau capek biar gantian saya yang nyetir. Mamang pasti capek."
"Nggak, Den. Tenang weh, mamang masih kuat. Sok Den Faraz tidur aja, ntar kalau udah sampai mamang bangunin."
"Ah, di pesawat tadi udah kebanyakan tidur, Mang."
Faraz pun menyalakan radio di mobil lalu ia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Keadaan sudah sedikit banyak berubah meski ia belum terlalu lama meninggalkan tanah airnya ini. Dua jam perjalanan sudah mereka lewati, tetapi mereka belum tiba di tujuan. Faraz merasa perutnya sudah keroncongan minta diisi. Karena tak tahan, ia meminta Mang Karman untuk berhenti di mana saja ada yang menjual makanan. Untung saja saat ini mereka sudah lepas dari jalan tol, sehingga lebih mudah menemukan warung makan.
"Mang, ntar kalau ada warung makan berhenti dulu ya, saya laper banget nih, udah gak tahan," ucap Faraz sambil memegang perutnya.
"Yah, jangan makan dulu atuh, Den. Kan di rumah si ibu udah masak banyak."
"Duh, gak tahan , Mang. Laper banget. Itu mah gampang, ntar di rumah tinggal makan lagi. Mamang juga pasti laper kan? Perjalanan ke rumah masih lama loh. Emang mamang mau tanggung jawab kalau maag saya kambuh?"
"Ih ulah atuh, Den. Nanti mamang dicarekan ku Abah (Nanti mamang dimarahin sama Abah)."
Mang Karman dan Faraz mengawasi sepanjang jalan untuk mencari warung makan.
"Nah, tuh ada warung indomi, Mang. Kita berenti aja."
"Yakin mau makan indomi, Den? Masa perut kosong mau langsung diisi indomi?"
"Iya, udah buruan, teu nanaon (gak apa-apa), Mang. Udah laper banget nih."
Akhirnya Mang Karman memarkirkan mobilnya di depan warung indomi. Faraz dan Mang Karman turun dari mobil dan segera masuk untuk memesan makanan. Faraz memesan mi goreng sedangkan Mang Karman memesan mi kuah. Setelah beberapa saat menunggu, pesanan mereka pun datang. Baru melihatnya saja, air liur Faraz sudah menetes. Rasanya ia sudah lama sekali tidak melihat makanan seenak ini, meskipun hanya mi instan. Mi goreng Faraz dilengkapi dengan saycim dan telur. Saat memesan tadi, tak lupa ia meminta ditambahkan cabai rawit pada mienya agar terasa pedas. Mang Karman yang melihat mi pesanan anak majikannya itu hanya geleng-geleng kepala. Lelaki paruh baya itu bergidik ngeri melihat jumlah cabai rawit yang hampir memenuhi piring Faraz.
"Den, eling, Den, eta cengek meuni loba kitu (itu cabai rawit banyak begitu), bisi sakit perut," ucap Mang Karman. Faraz tidak menghiraukan teguran Mang Karman dan fokus pada mienya. Dua lelaki itu melahap makanan mereka dengan nikmat. Tak perlu menunggu lama, indomie goreng di piring Faraz sudah tandas tak bersisa.
"Bu, pesan mi kuahnya satu lagi ya?" ucap Faraz pada ibu penjaga warung.
Mang Karman terbelalak ketika mendengar Faraz menambah indominya.
"Emang belum kenyang, Den?"
"Belum lah, Mang. Badan gede kayak saya gini mah makannya banyak, gak cukup kalau Cuma seporsi. Lagian udah lama saya gak makan indomi kayak gini. Mang Karman kalau mau nambah pesen lagi aja ya, saya yang traktir."
"Gak, Den. Satu mangkok aja mamang mah udah kenyang."
"Oh iya Bu, tambah nasinya seporsi ya."
"Eleuh, si aden." Lagi, Mang Karman hanya bisa geleng kepala melihat Faraz yang sepertinya sangat kelaparan.
Dua lelaki beda generasi itu kembali menghabiskan makanannya. Mereka meminum teh manis hangat setelah mi mereka habis. Faraz telah menghabiskan dua porsi mie dan satu porsi nasi. Jelas saja hal itu membuatnya langsung bersendawa setelah makanannya habis. Ia mengelus perutnya yang kenyang sambil tersenyum memasang tampang tak bersalahnya pada Mang Karman. Ah, akhirnya rasa rindu akan mi instan yang sangat fenomenal lunas terbayarkan sudah.
Setelah meneguk habis tehnya, Faraz segera membuka dompetnya, bermaksud untuk mengambil uang dan membayar makanan mereka. Namun, saat membuka dompet ia baru sadar jika lembaran uang di dompetnya bermata uang Euro, tidak ada lembaran rupiah di sana. Ia menghela napas sambil menepuk jidatnya karena lupa menukarkan uangnya di money changer.
"Mang, Mang Karman," panggil Faraz sambil menyolek bahu Mang Karman.
"Kunaon (kenapa), Den?"
"Mang Karman, bawa duit kan?"
"Emang kenapa, Den?"
"Hmm ... saya boleh pinjem dulu? Saya lupa gak punya rupiah, hehe. Nanti sampai rumah saya ganti, Mang."
"Eleuh, si Aden mah, sok-sok an traktir, mamang juga yang bayar," ucap Mang Karman sambil membuka dompetnya lalu memberi selembar uang lima puluh ribu pada Faraz.
"Nuhun ya, Mang."
Setelah membayar, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Faraz. Jika jalanan tidak begitu macet, kira-kira mereka akan tiba satu setengah jam lagi. Perjalanan memang memakan waktu yang agak lama karena rumah Faraz bukan terletak di pusat Kota Bandung, melainkan di daerah Lembang.
"Keadaan desa sekarang gimana, Mang?"
"Ya kitu lah, Den. Sebagian besar mah belum banyak berubah."
"Oh iya, kabar si Asep kumaha, Mang?" Faraz jadi teringat teman main masa kecilnya yang juga anak Mang Karman.
"Oh, si Asep masih kerja juga di Abah, istrinya baru Aja lahiran anak kedua. Mamang jadi punya cucu baru."
"Wah, hebat. Kalah saya ya, Mang?"
"Lah, emang lagi lomba? Makanya atuh buruan kawin, Den. Orang seumuran Den Faraz mah di desa kita udah punya dua sampe tiga anak." Ya, Faraz juga mengakui kebenaran ucapan Mang Karman. Usianya yang menginjak 31 tahun ini mungkin sudah tergolong hampir menjadi bujang lapuk di desanya. Pemuda dan pemudi di desanya banyak yang menikah muda, sehingga tak heran sudah mempunyai lebih dari satu anak. Namun, Faraz tak mengambill pusig hal itu.
Faraz hanya terkekeh mendengar ucapan Mang Karman. "Nikah dulu Mang, baru kawin."
"Sarua wae lah (sama aja lah)," sahut Mang Karman malas.
"Nya beda atuh. Bisa diamuk abah (ayah) sama ambu (ibu) kalau saya ngawinin anak orang tapi belum nikahin."
"Nya atuh geura nikah buruan." (Makanya Ayo cepet nikah.)
"Belum ada calonnya, Mang. Emang ada yang mau sama bujang lapuk kayak saya?"
"Lah si aden mah soh merendah kitu. Aden pan kasep, anak tunggal, beunghar (kaya), masa teu aya awewe anu bogoh ka Aden? (masa gak ada perempuan yang suka sama aden)"
Faraz hanya mengedikkan bahu mendengar pertanyaan Mang Karman. Beberapa tahun ini ia memang abai masalah asmaranya. Ia fokus menyelesaikan studinya agar bisa cepat pulang ke Indonesia, meski sehabis lulus ia sempat mengelola sebuah peternakan sapi perah dan perkebunan bunga milik keluarga teman dekatnya di Belanda selama beberapa bulan. Banyak perempuan bule dan mahasiswi Indonesia yang mencari perhatiannya saat kuliah dulu, tetapi ia memilih tidak menghiraukannya. Ia bersikap begitu karena ingat pesan kedua orang tuanya untuk tidak pacaran sebelum menikah. Alhasil, semenjak remaja, Faraz belum pernah merasakan apa yang namanya pacaran. Ia hanya bisa memendam perasaannya jika menyukai seorang perempuan. Selain dilarang oleh Islam karena pacaran itu mendekati zina, ia ingat nasihat abahnya untuk tidak memainkan perasaan perempuan dengan status pacaran yang tidak jelas. Abahnya meminta jika ia suka pada satu perempuan, maka langsung lamar saja agar perempuan itu jadi halal untuknya. Tapi, masalah langsung lamar ternyata tidak sesederhana itu, Abah, batinnya memprotes.
Perempuan ya? Faraz jadi teringat sebuah nama. Annisa. Perempuan yang menjadi kembang di desanya. Apa kabar perempuan itu, ya? Apakah dia sudah menikah? Kalau belum, mungkin Annisa bisa ia pertimbangkan untuk menjadi jodohnya jika kedua orang tuanya mendesak untuk segera mengakhiri masa lajangnya yang sudah terlalu lama, mengingat kedua orang tuanya juga dulu menikah muda. Annisa itu adalah teman bermainnya dulu bersama Asep. Mereka berteman akrab seperti tiga serangkai. Ah, memikirkan jodoh hanya membuat kepalanya tambah pusing saja. Tak sadar, Faraz mengurut pelipisnya. Mang Karman tahu pasti Faraz pusing memikirkan masalah jodohnya.
"Udah, Den ulah dipusingkeun kitu, sok tidur weh. Ntar ku mamang dibangunin."
"Ya udah, aku tidur ya, Mang."
Faraz pun memejamkan matanya dan memasuki alam mimpi.
===
Faraz merasakan bahunya diguncang-guncang oleh seseorang. Perlahan ia membuka matanya lalu memandang ke sekelilingnya yang sudah akan memasuki waktu malam, tetapi langit masih menampakkan semburat warna jingga. Kursi pengemudi sudah kosong. Rupanya ia sudah ditinggalkan oleh Mang Karman sendirian di dalam mobil. Ia meirik jam tangan yang menunjukkan pukul enam kurang. Hmm ... sudah maghrib rupanya. Ia menguap, mengucek matanya dan menggeliat dari posisi tidurnya. Ia tersenyum memandang wajah perempuan yang berdiri di samping pintu mobil yang sudah terbuka. Perempuan yang sangat ia rindukan, perempuan yang membawanya lahir ke dunia ini.
"Ambu," ucap Faraz turun dari mobil dan langsung memeluk ibundanya yang ia panggil ambu.
"Ih, kamu mah kebiasaannya. Ambu colek-colek dari tadi gak bangun-bangun."
"Jangan marah-marah atuh Ambu. Masa udah mah Faraz Cuma dijemput sama Mang Karman doang, sekarang udah sampai rumah dimarahin," ucap Faraz merajuk pada ambunya.
"Aduh, maaf ya sayang. Tadi ambu ripuh pisan. Lagian bujang udah gede sama kamu gini mah gak malu masih di jemput sama ambu? Orang mah dijemput sama anak istri kali, Raz."
"Duh, baru juga sampai, Ambu. Jangan ngomongin soal itu dulu, lah. Oh ya, Abah mana, Ambu?"
"Abah lagi ke mesjid sama Mang Karman. Habisnya kamu dibangunin dari tadi gak bangun-bangun jadi ditinggal ke mesjid deh."
Faraz berjalan beriringan memasuki rumahnya bersama sang ibu. "Ya sudah, kamu mandi dulu terus salat ya. Abah sama ambu tunggu kamu di meja makan, kita makan bareng."
"Iya, Ambu. Faraz ke kamar dulu." Faraz menenteng tas ranselnya lalu masuk ke kamarnya yang masih berada di lantai satu. Rumah kedua orang tuanya tidak tingkat. Hanya satu lantai, tapi sangat luas. Faraz membuka pintu kamarnya dan mendapati semua keadaan barangnya masih sama persis ketika ia tinggalkann dulu. Ia melepas ranselnya dan duduk di tepi ranjang. Besok, ia harus siap terjun langsung membantu perkebunan ayahnya, ditambah ia juga harus memikirkan nasib asmaranya.