"Argggh!" pekik Lisa.
Para preman tadi langsung mengambil langkah seribu ketika melihat Lisa terluka. Lisa langsung jatuh terduduk sambil memegangi lengan kanannya yang tergores pisau kecil tadi. Beberapa orang datang akibat teriakan perempuan berhijab tadi menolong Lisa.
"Aduh, Teh darahnya banyak banget!"
"Bawa aja ke puskesmas di dekat sini," ucap salah seorang pemuda.
Akhirnya perempuan berhijab itu membantu Lisa untuk berdiri. Ia memapah Lisa dan menemaninya naik angkutan umum agar segera tiba di puskesmas.
Begitu tiba di puskesmas, Lisa langsung ditangani oleh dokter yang sedang berjaga. Perempuan berhijab tadi juga menunggui Lisa hingga selesai. Setelah lukanya dibalut perban, Lisa pun diperbolehkan kembali melanjutkan perjalanannya ke Bandung.
Perempuan berhijab yang menunggu di kursi tunggu langsung menghampiri Lisa begitu Lisa keluar dari ruangan dokter.
"Gimana lukanya, Teh? Parah?"
Lisa hanya tersenyum menanggapi kekhawatiran perempuan di depannya. "Nggak apa-apa kok, jangan khawatir gitu."
Perempuan berhijab tadi langsung membantu Lisa untuk duduk di kursi tunggu. "Maaf ya, Teh. Gara-gara aku teteh jadi luka gini," ucap perempuan itu dengan rasa bersalah.
"Udah gak apa-apa. Ini bukan salah kamu kok."
"Oh ya nama aku Annisa. Nama teteh siapa?" ucap perempuan berhijab yang ternyata bernama Annisa itu.
"Charlisa, panggil aja Lisa gak usah pake teteh. Kayaknya kita seumuran deh."
"Oh, oke, Lisa. Kamu mau naik bis kemana?"
"Aku mau pulang Bandung."
"Wah, sama dong, aku juga mau ke Bandung."
Annisa pun menanyakan tujuan lengkap Lisa dan betapa terkejutnya Annisa ketika tahu bahwa tujuan mereka adalah desa yang sama. Annisa sangat senang karena ia jadi mempunyai teman pulang. Kedua perempuan itu memutuskan langsung kembali ke terminal karena takut terlalu malam tiba di Bandung.
===
Lisa menyandarkan kepalanya pada jendela bis. Ia melihat Annisa yang lelap tertidur di sebelahnya sambil memeluk tas. Perempuan yang cantik, lugu dan polos, pikir Lisa. Pantas saja tadi Annisa digoda oleh preman-preman. Pasti perempuan ini menjadi kembang di desanya karena kecantikan ditambah keshalihannya. Annisa menggunakan baju lengan panjang warna merah muda, rok jeans berwarna biru dan jilbab phasmina merah muda.
Setelah mengamati Annisa, Lisa kembali memandang keluar jendela. Pemandangan membosankan karena bis sudah memasuki jalan tol. Lisa menghela napas panjang. Ia memutuskan mengambil smartphone dan headsetnya. Pertama ia mengabari Dimas terlebih dahulu, baru setelah itu ia mendengarkan MP3 dari smartphonenya.
Tiba saat lagu favoritnya dan Revan mengalun di kedua telinganya. Lisa jadi ingat Revan dan hubungannya yang sudah bertahun-tahun. Lisa sudah mengenal Revan sejak SMA tak menyangka bahwa lelaki itu akan mengkhianatinya. Perasaannya pada Revan sudah terlalu dalam. Ia kira, ia bisa menikah dengan Revan, kekasih yang sangat ia cintai. Ia berharap Revan bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk ia dan anak-anaknya kelak.
Lisa ingin mempunyai suami yang bisa menyayangi dan mencintai anak-anak mereka kelak. Hal itu disebabkan karen Lisa sudah merasakan rasanya diabaikan oleh sang bapak. Ada tapi dianggap tiada, seakan-akan anak bapaknya itu hanya Dimas. Namun, Revan malah menghancurkan cita-cita Lisa.
Meski Lisa merasa sedih, entah kenapa Lisa juga merasa bersyukur karena ia mengetahui kebusukan Revan sebelum mereka menikah sehingga Lisa bisa dengan mudah memutuskan hubungan mereka. Ah, entahlah, perasaan Lisa benar-benar kacau. Ia pun menengok ke bangku di sebrangnya. Ia melihat seorang lelaki paruh baya bersama anak perempuannya sedang bercengkrama. Sang ayah sesekali menggoda anak perempuannya itu lalu anak perempuannya merajuk manja. Ayah dan anak itu tertawa bersama.
Lisa jadi ikut tersenyum melihat ayah dan anak di sebrangnya. Lisa iri pada anak perempuan itu karena ia tidak mempunyai kenangan manis apa pun bersama bapaknya. Mungkin, jika ia dekat dengan bapaknya, ia bisa merajuk seperti anak tadi ketika sedang patah hati seperti ini. Ah sudahlah, kamu sudah besar Lisa, 28 tahun! Batinnya mengolok.
Lisa tadinya ingin tidur seperti Annisa, tetapi ia tidak mengantuk sama sekali. Akhirnya ia memutuskan mengambil sebuah n****+ bersama kaca mata bacanya dari dalam tas. Ia akan membaca n****+ saja untuk membunuh waktu.
===
"Sa, Lisa, bangun. Kita udah sampai," ucap Annisa sambil menepuk paha Lisa. Tadinya ia ingin menepuk lengannya, tetapi ia ingat lengan kanan Lisa yang terluka.
Lisa pun mengerjapkan matanya dan mengumpulkan kesadarannya. Rupanya tak lama membaca n****+, ia langsung tertidur. Ia melihat ke luar jendela dan keadaan bis yang awalnya penuh sudah setengah kosong. Banyak penumpang yang sudah turun dari bis.
"Eh, kita udah sampai ya?" Lisa menutup mulutnya yang menguap, lalu membereskan n****+, kacamata dan smartphonenya ke dalam tasnya.
"Iya, udah sampai, ayo kita turun," ajak Annisa. Annisa membantu Lisa membawa koper dan tasnya karena lengan Lisa yang masih sakit jika menjinjing koper. Mereka berdua turun dari bis dan langsung mencari tempat duduk di terminal sambil menunggu jemputan.
"Kamu dijemput siapa, Nis?" tanya Lisa.
"Aku dijemput bapakku, kamu dijemput siapa?" tanya Annisa balik.
"Aku dijemput sama Aa-ku," ucap Lisa.
"Oh, Aa suaminya Lisa?"
"Bukan, bukan suami. Kakak lelaki aku."
Meski sempat berbincang tentang beberapa hal, mereka berdua tidak membahas kehidupan pribadi masing-masing. Mereka baru kenal dan belum sedekat itu untuk menceritakan identitas keluarga dan kehidupan pribadinya masing-masing. Tak lama, seorang lelaki menggunakan celana bahan hitam dan kemeja lengan pendek biru menghampiri mereka. Rambut lelaki itu sudah putih sebagian dan beberapa kerutan juga sudah menghiasi wajahnya.
"Nisa!"
"Bapak!"
Annisa langsung menghampiri dan memeluk bapaknya itu. Lisa kembali terharu meliihat kedekatan antara bapak dan anak itu. Andai saja ia bisa seperti itu dengan bapaknya.
"Kamu sehat, Neng?"
"Alhamdulillah sehat, Pak."
"Ayo atuh kita pulang, ibu kamu udah nungguin di rumah," ajak bapaknya.
"Eh, Pak, ini temen aku belum dijemput sama Aa-nya, kita tungguin dulu bentar ya sampai dia dijemput?"
Lisa menjadi tidak enak mendengar ucapan Annissa yang ingin menemaninya samppai Dimas datang menjemputnya.
"Eh, gak usah, Nisa. Kamu pulang duluan aja, gak apa-apa. Paling sebentar lagi Aa aku dateng. Tadi bilangnya udah di jalan kok, paling sebentar lagi sampai," tolak Lisa halus.
Annisa pun jadi bimbang. Satu sisi ia ingin segera pulang karena rindu bertemu ibu dan keluarga lainnya tapi di lain sisi ia tidak enak meninggalkan Lisa menunggu sendirian di terminal. Apalagi Lisa sudah terluka gara-gara menolongya dari para preman.
"Pak, tungguin temen aku bentar ya sampai dijemput sama Aa-nya, kasihan kan Lisa ini teh udah nolongin aku waktu di ganggu preman," jelas Annisa pada bapaknya.
"Eh? Nolongin kamu?"
Annisa pun menceritakan kejadian sebelumnya pada sang bapak. "Hatur nuhun nya Neng Lisa udah nolongin anak bapak."
"Iya, Pak. Sama-sama, kita kan harus saling tolong menolong."
Akhirnya mereka bertiga pun mengobrol di kursi tunggu. Sudah setengah jam tetapi Dimas belum muncul juga. Lisa merasa tidak enak pada Annisa dan bapaknya. Ia coba menelepon Dimas tetapi tidak diangkat. Duh, kemana sih si Aa, gumam Lisa dalam hati.
"Nisa, lebih baik kamu pulang duluan aja gak apa-apa, apalagi ini udah mau malam. Sebentar lagi Aa aku pasti datang kok."
"Beneran kamu teh gak apa-apa nunggu sendiri?"
"Iya gak apa-apa."
"Punten ya Neng kita duluan, kalo bapak bawa mobil mah bapak anterin deh Neng Lisa ke rumah, tapi bapak pake motor. Kapan-kapan main atuh ke rumah Nisa ya, Neng."
"Iya insya Allah, Pak," ucap Lisa sambil tersenyum maklum.
Akhirnya dengan berat hati dan terpaksa, Annisa dan bapaknya pulang meninggalkan Lisa sendirian di terminal. Lisa menghela napas panjang lalu menatap ke langit yang sebentar lagi akan berubah gelap. Duh kemana sih si Aa, lama bener, gumam Lisa dalam hati.
Tak lama, orang yang ditunggu-tunggu pun datang.
"Lisa!" teriak Dimas dari jarak lima meter. Dimas langsung menghampiri adiknya.
Lisa pun menoleh ke asal suara. Ia langsung memasang tampang jutek pada kakak lelaki ssatu-satunya itu.
"Lama banget sih, A? Aku sampe jamuran nih," keluh Lisa.
"Ya Allah, Aa kangen banget sama kamu," ucap Dimas sambil memeluk erat adiknya.
"Aww, A jangan kenceng-kenceng meluknya, sakit nih tangan aku," ucap Lisa sambil mendorong tubuh Dimas.
Dimas langsung memperhatikan lengan adiknya itu. "Ya Allah kamu teh kenapa lagi sih? Demen banget berantem."
"Udah ntar aja aku ceritanya, cepet bawain koper aku ke mobil A, udah mau malem ini."
Akhirnya mereka berdua masuk ke mobil sedan hitam sederhana milik Dimas dan meluncur meninggalkan terminal.
===
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di mobil, akhirnya mereka tiba juga di rumah. Lisa menatap rumah sederhana yang sudah lama ditinggalkannya itu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ia menerima kasih sayang dari kedua orang tua dan kakak lelakinya.
Namun, hanya kakaknya yang menyayanginya. Lisa memang masih memiliki bapaknya, tetapi ia tidak merasakan kasih sayangnya, sehingga Lisa merasa seperti anak yatim piatu. Entah bagaimana nanti reaksi bapaknya ketika tahu bahwa ia akan tinggal di sini. Apakah bapaknya akan menerimanya? Atau ia akan diusir?
Ah, entahlah. Kedua matanya menjadi sedikit berkaca-kaca. Dimas yang telah membuka seatbeltnya dan akan membuka pintu mobil melihat adiknya yang termenung menatap rumah mereka. Dimas memahami apa yang dirasakan adiknya itu. Tangan Dimas terulur menyentuh telapak tangan adiknya. Lisa langsung menoleh ke arah Dimas saat merasakan telapak tangan hangat kakaknya. Lisa langsung menghapus air mata di sudut matanya.
"Kamu takut sama bapak?" tebak Dimas.
"Ah, nggak kok A, aku terharu aja karena udah lama gak pulang, biasalah baper."
"Kamu gak usah takut, kan ada Aa," ucap Dimas menghibur adiknya.
"Udah A, gak apa-apa, kok. Yuk kita turun!" Lisa melepas seatbeltnya lalu membuka pintu mobil lebih dulu daripada Dimas. Dimas hanya bisa menghela napas lelah melihat kepura-puraan adiknya. Lisa mewarisi sifat keras kepala sang bapak. Dimas sudah bersiap jika hal itu terjadi. Dimas segera mengeluarkan barang bawaan Lisa dari dalam mobil. Istri dan kedua anaknya segera menghampiri Dimas dan Lisa.
"Ayah!" teriak Dafa sambil menghampiri Dimas yang menenteng koper. Lisa hanya tersenyum melihat dua keponakannya yang sudah besar. Dafa sudah duduk di kelas empat SD, sedangkan adiknya Diva duduk di kelas tiga SD. Umur mereka yang hanya beda satu tahun membuat postur tubuh mereka tak jauh berbeda. Seringkali orang-orang mereka Dafa dan Diva adalah saudara kembar.
"Eh, salim dulu sama Bibi Lisa kasep," perintah Meli pada Dafa. Kedua keponakannya langsung menuruti perintah kakak iparnya itu. Mereka bergantian mencium tangan Lisa.
"Bibi, bawa oleh-oleh gak buat kita?" tanya si sulung Dafa.
"Eh, masa baru datang udah diitanyain oleh-oleh sih, A Dafa?" tegur Dimas.
"Bawa kok, tenang aja," ucap Lisa pada Dafa dan Diva.
"Iya nih, diajak masuk dulu atuh bibinya," ucap Meli.
"Bibi tangannya kenapa?" tanya si bungsu Diva.
"Oh ini, gak apa-apa kok, Cuma luka sedikit," ucap Lisa sambil menunjuk lengannya yang terluka.
"Loh kok bisa gitu? Ayo masuk dulu yuk, biar kamu istirahat." Tanpa mereka sadari, ada lelaki paruh baya yang sedang mengamati dari pintu rumah. Ia menatap mereka dengan tatapan dingin dan datar.
"Aki! Ini Bibi Lisa pulang, Ki. Bawa oleh-oleh loh buat kita," ucap Dafa pada lelaki paruh baya yang bersender di pintu rumah yanng terbuka.
Jantung Lisa berdegup kencang saat menatap mata tua itu. Tatapannya belum berubah hingga sekarang, masih datar dan dingin. Lisa pun tersenyum dan mencoba menghampiri bapaknya.
"Bapak ..."
Tapi, baru berjalan beberapa langkah, bapaknya langsung masuk begitu saja ke dalam rumah, meninggalkan Dimas, Meli, Dafa, Diva dan Lisa yang ingin menghampiri dan mencium tangannya. Lihat, baru datang saja Lisa sudah diabaikan.
Lisa sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak, ia harus kuat. Ia tidak boleh cengeng. Bukankah ini risiko yaang harus ia hadapi ketika memutuskan untuk pulang ke desanya? Batinnya mengingatkan. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat menghadapi sikap bapaknya yang dingin. Lisa bertekad ia harus bisa meluluhkan hati bapaknya.
"Loh, kok Aki malah masuk sih?" tanya Diva heran.
"Udah-udah kita masuk dulu ya, kasihan Bibi Lisa capek tuh."
"Ayo Bibi, kita masuk," ajak Diva sambil menarik tangan kiri Lisa lalu masuk ke dalam rumah. Mereka berempat masuk ke dalam rumah.
===
Saat ini Lisa sedang bersama Dimas, Meli dan bapaknya di meja makan. Setelah mandi dan salat, Meli menyuruhnya langsung ke meja makan. Mereka menikmati makanan yang telah dimasak oleh Meli. Dafa dan Diva sedang asyik di kamar mereka menikmati oleh-oleh mainan dan makanan yang Lisa bawa. Susasana di meja makan begitu kaku. Tidak ada denting sendok garpu yang beradu dengan piring karena mereka semua makan menggunakan tangan. Hanya suara hewan-hewan malam saja yang saling bersahutan membunuh kesunyian malam. Hingga tiba-tiba sang bapak pun membuka suaranya.
"Untuk apa kamu pulang ke sini?" ucapnya datar, tajam dan tanpa menoleh ke arah Lisa.
"Pak ... "
"Ya ini kan rumah Lisa juga, Pak. Masa Lisa teh gak boleh pulang ke sini?" sela Dimas.
"Aku mau tinggal di sini aja, Pak. Sama Aa Dimas, Teh Meli, sama jagain bapak juga," jelas Lisa sambil tersenyum. Ketika memasuki rumah ini untuk pertama kalinya tadi, Lisa sudah bertekad dalam hati bahwa ia tidak akan menunjukkan sisi lemah di depan bapaknya. Ia akan menjadi perempuan yang kuat, agar bapak bangga punya anak perempuan seperti dirinya.
"Bapak masih bisa jaga diri bapak sendiri, ada Dimas dan Meli sudah cukup untuk bapak." Usai mengatakan hal menyakitkan itu pada Lisa, bapaknya yang bernama Yana Mulyana itu segera bangkit dan meninggalkan meja makan.
"Udah jangan didengerin omongan bapak, Lisa," ucap Dimas.
"Iya, gak apa-apa kok, A. Aku gak akan ambil pusing omongan bapak," ucap Lisa.
Lisa pun segera menyelesaikan makannya dengan cepat dan segera masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Ia perlu memulihkan tenaganya setelah melewati serangkaian kejadian yang melelahkan hati dan fisiknya.