15. First Kiss

1693 Words
“Udah ya, Dafa sama Diva bobo. Udah malam nih,” ucap Lisa. “Oke, tapi aku mau lihat om cium bibi dulu dong, kayak ayah cium ibu.” “Apa?!” Sontak saja Faraz dan Lisa terkejut dan mereka berdua saling pandang. Wajah Lisa merah merona sedangkan Faraz jadi salah tingkah menggaruk kepalanya saat itu sama sekali tidak terasa gatal. “Eh, kok Diva gitu? Mau ngapain lihat om cium bibi coba?” ucap Lisa mengalihkan. “Biar kayak ayah ibu, Bi. Biar Diva tahu kalo om kasep sayang sama bibi. Ayo dong cium pipi kayak ayah sama ibu. Diva mau lihat.” Faraz dan Lisa masih terdiam. Mereka berpikir bagaimana agar bisa menghindari permintaan Lisa. “Udah cepet turutin aja, Ras.” Terdengar suara Dimas dari sebrang meski wajahnya tak tampak. Lisa hanya berdecak kesal karena Dimas malah mendukung permintaan anaknya. Awalnya, Lisa menduga Faraz akan menolak sama seperti dirinya. Namun, dugaannya tersebut terpatahkan ketika mendengar ucapan Faraz.  “Ya udah om cium bibi ya, tapi abis ini Diva langsung tidur ya?” Ucapan Faraz sukses membuat mata Lisa melotot padanya dan dengan santainya Faraz mengecup kening dan kedua pipi Lisa bergantian. Cup. Cup. Cup. Ciuman yang dilakukan Faraz berefek buruk bagi tubuh Lisa. Ia merasakan jantungnya berdetak liar, darahnya berdesir dan perasaannya menghangat. Tapi, Lisa belum bisa menafsirkan reaksi aneh dari tubuhnya itu. Lisa pikir, mungkin itu hanyalah reaksi alami mengingat ia jarang melakukan skinship bahkan ketika saat masih berstatus pacar Revan dulu. Tanpa sepengetahuan Lisa, hal itu juga yang dirasakan oleh Faraz. Namun, karena Faraz adalah lelaki maka ekspresi wajahnya tidak ketara walau jantungnyam juga berdetak tak karuan dan ada desiran aneh menjalar di hatinya. Penelitian membuktikan kaum lelaki sebenarnya akan lebih peka terhadap kejadian yang terjadi di sekitarnya, tetapi ekspresi wajah yang ditampilkan akan datar dan kaku karena pengaruh hormon testosteron. Beda halnya dengan perempuan yang lebih bisa menampilkan beragam ekspresi dalam satu waktu. “Yeay, nah gitu dong! Sekarang Diva bisa bobo deh, Om. Diva tutup dulu ya teleponnya soalnya udah disuruh bobo sama ayah ibu, besok sekolah soalnya. Oh iya, Om bawain kita oleh-oleh ya pulangnya.” “Emang mau oleh-oleh apa?” “Apa aja deh yang penting bagus dan lucu.” “Oke nanti insya Allah om beliin ya.  Sekarang Diva sama Dafa bobo ya. Jangan lupa baca doa,” ucap Faraz. “Oke, Om. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Faraz memberikan ponsel pada Lisa. Ia bingung kenapa Lisa terlihat seperti orang linglung hingga Faraz melambaikan salah satu tangannya di depan wajah Lisa. “Woi, kenapa kamu, Lisa? Nih hape kamu.” “Oh ya.” Lisa buru-buru menormalkan ekspresi wajahnya dan mengambil kembali ponselnya. “Kamu kenapa sih pake nurutin kemauan Diva, Ras? Kan gak baik nyontohin kayak gitu di depan anak kecil? Main nyosor aja sembarangan. Aku gak suka, Ras.” Duh, mulai lagi nih cewek, batin Faraz. Faraz menghela napas lelah. “Hei nona, jangan kegeeran ya. Kamu pikir aku juga suka apa nyosor-nyosor kayak tadi? Jangan besar kepala ya! Aku Cuma nurutin permintaan Diva.” Faraz langsung meninggalkan Lisa menuju kamarnya. “Dasar cowok aneh!” gerutu Lisa sebal. Lisa tak langsung menyusul Faraz ke kamar. Ia masih terduduk di sofa, di depan TV yang masih menyala namun bervolume kecil. Lisa meraba kening dan kedua pipinya yang tadi dicium Faraz. Ia merasa bibir Faraz masih tertinggal di sana. Ia lalu mengepalkan kedua tangannya dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lisa mematikan TV, lalu segera bergegas menuju kamar untuk tidur. Lisa menemukan Faraz yang sudah tidur di atas ranjang empuknya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Lisa membuka lemari yang ada di kamar itu untuk mencari selimut lain yang akan ia gunakan. Namun, tidak ada selimut lain. Lisa berdecak pelan. Tidak mungkin ia menanyakan pada Bik Ipah, beliau bisa curiga. Tapi, Lisa tidak mungkin bisa tidur di sofa tanpa dilapisi selimut karena pada malam hari akan terasa sangat dingin. Lisa dilanda kebimbangan. Tidur satu ranjang dengan suaminya dan berbagi selimut atau tidur di sofa panjang yang ada di kamar dan kedinginan pula. Tapi, sungguh Lisa belum siap jika harus satu ranjang dengan Faraz. Akhirnya, Lisa memilih opsi kedua.  Ia mengambil selembar kain bali yang sengaja ia bawa untuk dijadikan selimut dari dalam tasnya. Ia hanya bisa berdoa semoga kain bali yang tipis ini bisa menghalau hawa dingin saat ia tidur nanti. Untung saja piyama tidur yang Lisa gunakan berlengan panjang. Lisa mengambil satu bantal lalu melangkah menuju sofa. Ia merebahkan dirinya dan menyelimuti dirinya dengan kain bali. Lisa langsung memejamkan matanya setelah membaca doa tidur dalam hati. === Pukul dua dini hari Faraz terbangun. Ia mengucek matanya lalu mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Ia melirik jam dinding di kamarnya sambil menutup mulutnya yang menguap. Masih ada waktu satu jam lagi untuk tidur karena biasanya ia akan salat tahajud pada pukul tiga. Faraz lalu menolehkan pandangannya pada sang istri yang tertidur di sofa kamar mereka. Ia melihat Lisa memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan. Nyatanya kain tipis itu tidak bisa menghangatkan tubuh Lisa. Faraz berdecak pelan sambil menggelengkan kepalanya. Faraz menyibak selimutnya dan berjalan menuju sofa. Faraz menggendong Lisa dengan hati-hati dan memindahkannya ke atas ranjang mereka. Meski kedinginan, Lisa tidak sadar ketika dipindahkan oleh Faraz dan tetap lelap dalam tidurnya. Faraz merebahkan tubuh istrinya di ranjang dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang tadi ia pakai. Setelah beberapa saat, tidur Lisa tampak lebih nyaman daripada sebelumnya. Faraz hanya bisa mendesah pelan. “Huh, dasar cewek keras kepala! Segitu gak maunya ya kamu satu ranjang sama suami kamu sendiri.” Faraz mengambil ponselnya lalu menyetel alarm. Ia takut terlewat dan bangun lebih dari jam tiga, maka untuk berjaga-jaga ia memasang alarm di ponselnya. Setelah beres, ia kembali tidur dengan posisi saling berhadapan dengan Lisa. Saat mereka tertidur, tanpa disadari cuaca yang dingin membuat Lisa merapatkan tubuhnya ke arah Faraz dan memeluknya untuk mencari kehangatan. Lisa memeluk Faraz dan menenggelamkan wajah di d**a bidangnya yang hangat sedangkan Faraz yang baru terlelap sempat sedikit terkejut karena ada yang memeluknya. Namun ia tetap melanjutkan tidurnya dan balas memeluk tubuh istrinya. Satu jam kemudian ... Alarm di ponsel Faraz berbunyi nyaring. Namun, lelaki 31 tahun itu masih lelap dalam tidurnya. Lisa yang mendengar bunyi alarm membuka matanya. Ia bangun lalu mencari-cari ponsel yang berbunyi di atas nakas. Dengan susah payah dan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, ia meraih ponsel itu dan mematikan alarmnya lalu refleks berbaring kembali sambil memeluk Faraz. Dalam keadaan setengah sadar, Lisa mengamati posisinya. Tunggu, kok gue pakai selimut tebal? Ini gue satu ranjang sama Faraz? Ini ngapain gue pelukan sama dia? Lisa bangun kembali dan menyibak selimutnya dan menatap suaminya yang masih terlelap. Jadi tadi malam gue tidur seranjang sama dia? Pasti dia yang mindahin gue, gue yakin. Dasar cari-cari kesempatan dalam kesempitan. Pakai acara meluk-meluk segala lagi. “Ras, bangun Ras. Woi bangun!” ucap Lisa mengguncang bahu Faraz dengan kasar. Namun suaminya itu tidak bergeming. Faraz hanya bergumam tidak jelas dan membalik tubuhnya memunggngi Lisa. Lisa yang kesal akhirnya mendorong Faraz hingga jatuh dari ranjangnya. “Aw! Aduh! Astaghfirullah!” Faraz memekik kesakitan karena tubuhnya membentur lantai. Ia segera bangkit dan menatap Lisa yang sedang bersedekap di atas ranjangnya dengan penuh amarah. “Kamu apa-apaan sih Lisa?! Kamu ngapain dorong aku sampai jatuh hah?! Apa gak bisa bangunin suami sendiri pake cara yang lembut?” bentak Faraz. Sungguh, Faraz tidak habis pikir dengan tingkah Lisa yang seperti ini. Faraz berulang kali merapalkan istighfar dalam hatinya agar setan tak menguasainya ketika dalam keadaan kesal dan marah. Astaghfirullah ... Ya Allah mimpi apa hamba punya istri seperti Lisa? Padahal dulu hamba membayangkan akan dibangunkan salat  malam dengan lembut oleh An ... Eh astaghfirullah ... gak boleh ingat perempuan lain lagi. “Ck, kamu tuh yang apa-apaan? Kok aku bisa ada di ranjang sini tidur sama kamu? Satu selimut lagi? Kamu pasti cari-cari kesempatan kan gendong dan mindahin aku ke sini? Iya kan? Ngaku deh. Terus tidurnya juga pake meluk-meluk segala.” Lisa sudah yakin pasti Faraz yang menggendongnya ke ranjang. “Dih, ga usah kegeeran ya! Kamu sendiri yang pindah ke sini. Gak sudi aku gendong-gendong kamu, ngapain juga? Nyusah-nyusahin aja dan asal kamu tahu aja, kamu duluan kali yang meluk aku!” Faraz yang kesal jadi terpaksa berbohong untuk hal yang pertama pada Lisa. “Kamu bohong kan? Ngaku aja deh. Kamu pengen tidur seranjang sama aku kan?” “Kamu tuh yang tidur sambil jalan, bilang aja kamu yang pengen tidur sama aku! Gak usah pake ngarang cerita segala deh. Emang kamu punya bukti kalo aku yang gendong kamu? Hmm? Ada buktinya?” “Ya ... ya nggak ada sih. Tapi aku yakin kamu yang gendong aku,” ucap Lisa lirih. Terlintas ide gila di kepala Faraz. Sambil menyeringai khas Faraz, ia berkata “oh atau kamu sengaja ya? Kamu mau aku gendong iya? Ya udah sini aku gendong.” Faraz dengan cepat meraih tubuh Lisa dan memanggulnya di pundak seperti karung beras. Lisa tidak bisa menghindar akhirnya berada di gendongan Faraz sambil berteriak. “Heh lo mau ngapain? Faraz turunin gue!” ucap Lisa kesal sambil memukuli punggung lebar suaminya dan karena kesal juga Lisa jadi memakai sebutan ‘lo-gue’ lagi. Faraz menurunkan Lisa di bathub kamar mandi. “Sana wudhu, terus salat tahajud,” perintah Faraz. Faraz sengaja menyuruh Lisa untuk salat tahajud. Ya, keisengan Faraz hanya menyuruh istrinya untuk salat karena Faraz pikir Lisa belum terbiasa untuk bangun dan salat malam. Jadi, sebagai suami, Faraz ingin memperbaiki akhlak Lisa agar tidak bar-bar lagi diawali dengan menyuruhnya salat malam. “Ini masih jam tiga, Raz. Gue masih ngantuk tahu, lagian airnya pasti dingin banget. Gue gak kuat ah.” Benar saja dugaan Faraz. Lisa memang belum terbiasa bangun dan salat malam. Lisa buru-buru ke luar dari bathub dan menjauhi Faraz. Namun, Faraz lebih dulu mencekal lengan Lisa. “Eh, mau kemana? Gak bisa, cepet wudhu sekarang!” “Kalo gue gak mau?” “Aku bakal mandiin kamu di sini. Mau?” “Hah?” Lisa tercengang mendengar ucapan Faraz. Nih cowok kenapa sih? Faraz bersiap membawa Lisa ke dekat shower  dan menyalakannya untuk menakuti Lisa. Lisa langsung mencegahnnya, sungguh ia bukan orang yang kurang waras untuk mandi ditengah udara dingin dan dini hari jam tiga pula! “Eh, iya, iya gue wudhu.” Lisa segera menyentak tangan Faraz di lengannya lalu memperbaiki ikatan rambutnya dan menggulung lengan piyama tidurnya. Faraz tidak jadi menyalakan shower. “Kalo sekali lagi aku denger kamu bilang lo-gue ... “ “Apa? Lo mau apain gue?” tantang Lisa sambil berkacak pinggang. Ia yakin Faraz hanya sebatas menggeretaknya dan tidak akan berani melakukan sesuatu hal yang buruk. Meski tingkahnya menjengkelkan, Lisa akui Faraz itu lelaki yang baik. “Aku cium kamu.” Lisa berdecih, meremehkan Faraz. “Cium aja sini kalo lo berani, nih nih,” ucap Lisa sambil memajukan wajahnya. Wah, beneran nantangin nih cewek. Faraz yang sudah berada di dekat pintu berbalik arah kembali menuju istrinya. Ia merangkum wajah Lisa dengan kedua tangannya dan mencium bibir Lisa yang merah alami. Cup  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD