Lisa masuk kamar mandi dan menutup pintunya. Ia buang air kecil dan membereskan peralatan mandinya. Setelah beres ia tak langsung keluar. Ia menatap pantulan wajahnya yang ada di cermin kamar mandi. Ia menghela napas panjang lalu berbicara pada pantulan dirinya yang ada di cermin.
“Gak nyangka kamu udah jadi istrinya Faraz, Lisa. Lelaki yang sama sekali gak kamu cintai. Huh ... meskipun terpaksa, kamu harus kuat dan bisa jalanin ini semua. Maaf Annisa, maaf aku yang jadi istrinya Faraz sekarang. Aku berdoa juga untuk kebaikan dan kebahagiaan kamu di mana pun kamu berada. Semangat Lisa, let’s go to Puncak!” ucap Lisa lirih dan pelan sambil mengepalkan kedua tangannya menyemangati dirinya sendiri. Kalimat semangat yang harusnya diucapkan lantang ia ucap pelan karena tidak ingin Faraz sampai mendengarnya.
Tadinya Lisa pikir ia akan menghabiskan bulan madu bersama sang mantan Revan ketika mereka sudah menikah nanti. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang Maha Menentukan segalanya. Sekarang Lisa sudah resmi menjadi istri Faraz, lelaki yang baru dikenalnya sebentar dan menantu dari Abah Ramli.
Setelah menyemangati dirinya sendiri di cermin, Lisa bergegas ke luar kamar mandi. Lalu, ia dikejutkan dengan Faraz yang menyerahkan ponselnya.
“Siapa Revan?”
Lisa terkesiap ketika Faraz menanyakan Revan. Bagaimana Faraz tahu tentang Revan? Lisa bingung dan heran karena ia tidak pernah menceritakan tentang mantannya itu pada Faraz. Kedua mata Lisa mengerjap, menatap bingung wajah Faraz dan ponsel yang diulurkannya bergantian.
“Kenapa?” Lisa bertanya sambil mengambil ponsel yang diulurkan Faraz lalu mengecek daftar panggilannya sedangkan Faraz lanjut merapikan bajunya di travel bag.
“Ini tadi dia telepon kamu, karena kamu lagi di kamar mandi ya terpaksa aku angkat. Siapa tahu penting.”
Lisa mendengus kemudian berdecak kesal. “Aku gak suka kamu angkat telepon yang masuk ke hapeku ya, Ras. Ini privasi tahu gak?”
Tangan Faraz yang sedang merapikan baju langsung terhenti ketika mendengar protes dari Lisa. Ia bangkit dari duduknya untuk menghadap Lisa. “Saya cuma takut ada hal penting, itu aja. Gak ada maksud lain. Lagian kamu tinggal jawab aja siapa Revan. Ayo jawab siapa Revan?”
“Di ... di ... dia Cuma temen aku. Temen kantorku dulu,” ucap Lisa sedikit terbata. Ia beranjak dari hadapan Faraz dan langsung memasukkan peralatan mandinya ke dalam tasnya sendiri. Sungguh, ia belum siap jika harus menceritakan tentang kehidupannya pada Faraz. Faraz bisa menangkap gelagat aneh pada perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.
“Yakin, Cuma temen?”
“Iya, Cuma temen.”
“Terus kenapa kamu marah tadi pas aku angkat teleponnya? Dia bukan pacar kamu? Atau, mantan barangkali?”
“Revan itu bukan siapa-siapa aku.” Lisa memang sudah tidak menganggap Revan siapa pun dalam hidupnya. Baginya, Revan hanyalah sekilas kenangan pahit yang harus ia lupakan dan buang jauh.
“Aku marah karena kamu ganggu privasi aku, Ras. Oh ya, kayaknya kita perlu kesepakatan tambahan.” Lisa meninggalkan tasnya lalu mendekat ke arah Faraz.
“Kesepakatan apa lagi?” tanya Faraz datar.
“Dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing! Aku gak akan campuri urusan pribadimu dan kamu gak boleh campuri urusan pribadiku. Gimana? Adil, kan?” ucap Lisa lantang dan yakin.
Faraz yang sudah selesai merapikan baju, menyimpan travel bag di dekat pintu lalu ia kembali menghampiri Lisa. Faraz berkacak pinggang sambil menatap Lisa yang menunggu persetujuannya. Lisa terjengit kaget karena tiba-tiba Faraz merangkum kedua pipi dengan telapak tangannya yang menurut Lisa ... hangat. Lisa merasa ada desiran andeh saat Faraz menyentuh wajahnya tapi Lisa tidak mengerti. Faraz mendekatkan wajahnya ke Lisa.
“Kita sudah sepakat saling mengenal, kan?”
Lisa hanya bisa menganggukkan kepala tanpa bersuara.
“Lalu bagaimana bisa kita saling mengenal tanpa tahu urusan masing-masing, Istriku?” tanya Faraz sambil menampilkan seringaian di bibirnya.
“Ya ... ya kalau masalah saling kenal oke aja. Tapi, tidak kalo saling mencampuri urusan.”
Faraz tersenyum pada Lisa. “Aku kan sudah bilang kemarin kalau kita akan menjalani pernikahan ini dengan sungguhan. Aku ini suami kamu, imam kamu, kepala rumah tangga. Jadi, apa pun urusan istriku, aku pikir sebagai seorang suami ya aku harus tahu.”
“Tap ... ta ... tapi ... “
“Ssstt,” Faraz menutup bibir Lisa dengan jari telunjuknya. Tubuh Lisa semakin tegang ketika Faraz melakukan hal itu. “Tidak ada tapi-tapian ya, apapun urusan kamu, aku harus tahu. Titik. Kamu juga silakan kalau mau tahu urusanku. Mau buka ponselku pun aku izinkan.” Lisa hanya bisa mengerjapkan matanya menatap Faraz. Faraz bisa tahu dari jarak sedekat ini jika istrinya memiliki manik mata yang hitam dan bulu mata yang lentik, entah itu alami atau Lisa memang sengaja melentikkannya dengan alat make up. Tapi yang pasti, ketika Lisa mengerjapkan matanya perpaduan itu membuat wajahnya menjadi lucu menurut Faraz. Faraz jadi gemas sendiri melihatnya. Ia mencubit hidung Lisa gemas sebagai pelampiasannya.
“Aw! Sakit tahu!” Lisa mengusap-usap hidungnya yang memerah akibat dicubit Faraz. “Dasar cowok aneh! Gak jelas!”
Faraz hanya mengedikkan bahu mendengar omelan Lisa. “Sudah cepat bereskan bajumu. Jangan sampai ada yang tertinggal, aku tunggu di luar.” Faraz meninggalkan Lisa dan mengambil tasnya sebelum keluar kamar. Sepeninggal Faraz, Lisa langsung duduk di tepi ranjang sambil memegang kedua pipinya yang tadi disentuh Faraz.
“Ya Allah, aku ini kenapa? Kenapa aku deg-degan ya tadi? Gak mungkin kan aku suka sama dia?” Lisa menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Ini gak mungkin! Ini hanya efek kaget aja karena dia tiba-tiba ngedeketin aku. Ya, pasti karena itu,” gumam Lisa. Lisa segera merapikan bajunya dengan cepat dan menutup tasnya lalu menyusul Faraz ke luar kamar.
===
Pasangan pengantin baru itu hanya saling diam di dalam mobil. Faraz fokus mengemudikan mobilnya sedangkan Lisa memainkan games dan mengecek medsos untuk menghilangkan rasa bosannya selama perjalanan. Namun, setelah beberapa saat memainkan ponselnya, rasa jenuh tak juga mereda.
“Ras, setel musik atau radio gitu ya?”
“Hmm.”
“Boleh apa nggak?”
“Hmm.”
“Ih, yang jelas kalo ngomong.”
“Iya boleh.”
“Nah gitu kek dari tadi.”
“Oh ya, kamu yakin panggil saya hanya nama aja? Saya lebih tua dari kamu by the way.”
“Iya, kalo Cuma kita berdua aku Cuma panggil nama aja gak apa kan? Kalo kita berdua di depan keluarga, aku panggil kamu Aa. Gimana?”
“Terserah lah!”
Lisa hanya mengedikkan bahu acuh lalu menyetel radio untuk menghilangkan rasa bosannya. Terdengar suara penyiar radio yang heboh memenuhi mobil. Setelah itu lagu pop barat dan Indonesia diputar bergantian. Lisa bergumam lirih mengikuti lirik lagu yang ia hafal sebisanya. Hingga tiba-tiba Faraz mematikan radio mobilnya ketika jalanan sedang macet. Sontak hal itu membuat gumaman Lisa terhenti dan ia menatap aneh lelaki di sebelahnya.
“Lah, kenapa dimatiin sih? Orang lagi enak nyanyi juga.”
“Iya kalo suara kamu bagus, suaranya fals gitu juga, bikin sakit telinga aku aja.”
“Ap ... apa lo bilang? Suara gue fals?” ucap Lisa melongo tak percaya. Padahal menurut Lisa suaranya terbilang cukup merdu dan enak didengar untuk penyanyi amatiran seperti dirinya. Katanya suaminya ini ingin memulai hubungan pernikahan mereka sebagai teman. Tapi bagaimana mau akur jika Faraz selalu membuat Lisa emosi dan mereka berdua selalu berbeda pendapat? Sungguh, memikirkan hal itu membuat kepala Lisa menjadi pening.
“Eits, apa tadi? Kamu masih bilang lo-gue?” ucap Faraz sambil menatap Lisa tajam.
“Huh, iya sorry, lupa.” Lisa mendengus acuh. “Nyalain lagi radionya, Ras. Lagi macet nih, bete tahu,” rengek Lisa.
”Mending dengerin murattal Al Qur’an aja biar hati tenang.” Faraz mengatur audio mobilnya untuk menyetel murattal qur’an. Tak lama suara lantunan merdu Al Qur’an mulai terdengar.
“Nih, enakan denger kayak gini. Hati adem, tenang, insya Allah selama perjalanan juga lancar, aman dan diberkahi oleh Allah.”
Meskipun yang dikatakan suaminya adalah fakta, entah kenapa Lisa tetap merasa kesal pada Faraz. “Iya, Pak Ustadz. Maaf,” ucap Lisa lirih. Lisa hanya bersedekap sambil menatap ke arah luar jendela. Mobil mereka sudah memasuki kawasan Puncak. Pemandangan kebun teh di kanan dan kiri menemani mereka sepanjang perjalanan. Lisa yang fokus mendengarkan murattal lama kelamaan merasakan kantuk dan akhirnya tertidur. Faraz yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Dasar, diputerin murattal malah tidur.” Faraz asyik mengikuti lantunan ayat suci Al Qur’an sambil fokus menyetir mobilnya ketika macet telah terurai.
===
Faraz menginjak rem mobilnya ketika sudah terparkir sempurna di halaman vila orang tuanya. Faraz dan Lisa awalnya menolak untuk berbulan madu di vila ini. Alasan Faraz adalah suasana di vila ini tak jauh beda dengan di rumahnya. Keduanya sama-sama berada di dataran tinggi, memiliki udara sejuk, jauh dari polusi dan juga hiruk pikuk perkotaan. Faraz pikir, ia hanya berpindah tempat saja. Namun, ia tak bisa menolak ketika Abah Ramli mengemukakan alasannya.
“Abah ingin kalian bisa saling mengenal. Tinggallah di sana beberapa hari, sekalian kamu juga liburan. Selama kamu bulan madu, urusan di sini biar Abah dan Asep yang urus.”
“Tapi, Bah ... “
“Kalian berdua kan belum lama kenal. Suasana romantis antara suami istri perlu dibangun pada awal pernikahan biar kalian tambah dekat, Ras. Takutnya, Lisa canggung dan belum terbiasa dengan kehadiran abah dan ambu sebagai mertuanya. Nah, oleh karena itu buatlah dia nyaman dan terbiasa dengan status kamu sebagai suaminya. Lelaki yang akan melindunginya menggantikan ayahnya. Makanya abah ingin kamu banyak menghabiskan waktu berdua saja dengannya. Paham, Ras?”
“Iya, Bah.”
Faraz menyentuh bahu Lisa bermaksud untuk membangunkannya.
“Bangun, Sa. Udah sampai.” Faraz membuka seatbelt-nya lalu bersiap untuk turun. Lisa langsung bangun. Ia mengucek matanya dan mengamati vila melalui jendela mobil. Lalu ia membuka seatbelt-nya dan ikut turun. Hal yang pertama kali ia lakukan ketika turun dari mobil adalah merenggangkan otot tubuhnya dan menghirup udara Puncak yang tak jauh berbeda dengan udara di rumahnya.
Tak lama dua orang paruh baya suami istri menghampiri mobil Faraz.
“Ya Allah, Den Faraz ke mana aja? Kok baru ke sini lagi sih?” tanya Mang Udin penjaga vila.
“Iya nih, Bik Ipah juga kangen, Den,” ucap istri Mang Udin. Mereka berdua adalah orang yang diamanati oleh Abah Ramli untuk menjaga vilanya.
“Iya, saya juga kangen sama Mang Udin dan Bik Ipah. Maaf ya baru ke sini lagi. Oh iya, kenalin Mang, Bi, ini istri saya namanya Lisa.”
“Euleh meuni geulis pisan,” ucap Bik Ipah.(Aduh, cantik sekali!)
Lisa tersenyum mengangguk sambil bergantian menyalami Mang Udin dan Bik Ipah.
“Kirain mamang Den Faraz bakalan bawa istri bule pulang dari Belanda.”
“Iya, Den. Kirain bibi juga Den Faraz nanti istrinya bule, biar mata anaknya warna-warni gitu. Ada merah, kuning, ijo, biru,” ucap Bik Ipah polos.
Faraz hanya terkekeh mendengarnya. “Bik Ipah ada-ada aja. Itu warna mata apa pelangi? Nggak lah, Mang. Saya masih cinta produk lokal, kok.”
“Ah bisa wae si Aden mah. Tapi mamang ge da moal nolak mun produk lokalna geulis siga si Neng Lisa kieu mah.” (Ah bisa aja si Aden. Tapi mamang juga gak akan nolak kalo produk lokalnya cantik kayak Neng Lisa gini mah.)
Bik Ipah yang berada di sebelah Mang Udin langsung menjewer telingan suaminya. “Dasar aki-aki, bisa keneh wae ngagombal nya? Geus, geura bantuan tah mawa tasna. Ulah kacentilan kitu. (Dasar kakek-kakek, masih bisa aja ngegombal. Udah cepet bantuin bawa tasnya. Jangan kegenitan gitu.) Yuk, Neng Lisa ikut sama Bik Ipah ke dalam. Tasnya biar dibawain sama Mang Udin aja.”
“Aw, sakit atuh. Orang mamang teh Cuma bercanda nya, Neng?”
Faraz dan Lisa hanya bisa tertawa melihat kelakuan pasangan paruh baya itu. Lisa dan Bik Ipah berjalan di depan sedangkan Faraz dan Mang Udin mengekori kedua perempuan itu dari belakang sambil membawa travel bag.
Faraz dan Lisa tetap tidur dalam kamar yang sama meskipun tidak ada orang tua Faraz di dekat mereka. Faraz dan Lisa hanya tidak ingin Mang Udin dan Bik Ipah curiga dan melapor pada abah dan ambu. Lisa membereskan tasnya dan mengeluarkan peralatan mandinya sedangkan Faraz masih merebahkan tubuhnya karena lelah menyetir. Lisa langsung masuk kamar mandi dengan tergesa karena ia ingin buang air kecil sekalian mandi untuk membersihkan tubuhnya.
===
Saat malam hari, Faraz sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Sejujurnya, Faraz merasa bosan. Namun, karena sudah malam, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membunuh rasa bosannya. Seandainya saja Annisa tidak pergi dan tetap jadi menikah dengannya, maka ...
Astaghfirullah ...
Faraz langsung beriistighfar dalam hati. Allah benci pengandaian seperti itu yang menandakan kita tidak ridha dan ikhlas dalam menerima takdirnya. Bagaimana pun juga, Annisa sudah pergi entah ke mana dan Lisa sudah menjadi istrin sahnya.
“Iya, iya ini bibi kasihin teleponnya.” Faraz menoleh ke arah Lisa yang baru ke luar kamar.
“Nih, Dafa sama Diva mau video call,” ucap Lisa sambil memberi ponselnya yang telah terhubung pada dua keponakannya.
“Assalamu’alaikum Om Kasep.” Layar ponsel Lisa dipenuhi wajah Dafa dan Diva.
“Wa’alaikumussalam, hei Dafa Diva. Kalian lagi apa?”
Lisa hanya mendengarkan percakapan suami dan dua keponakannya yang heboh. Sesekali mereka membahas hal yang tidak penting menurut Lisa sambil tertawa.
“Om Kasep, mana Bibi Lisa. Aku mau lihat wajah om sama bibi berdua,” ucap Diva polos.
Faraz menoleh pada Lisa di sebelahnya. “Diva mau lihat kita berdua.”
Wajah Faraz dan Lisa terpaksa harus berdempetan agar terlihat oleh Diva di layar.
“Udah ya, Dafa sama Diva bobo. Udah malam nih,” ucap Lisa.
“Oke, tapi aku mau lihat om cium bibi dulu dong, kayak ayah cium ibu.”
“Apa?!”
“Udah cepet turutin aja, Ras.” Terdengar suara Dimas dari sebrang meski wajahnya tak tampak. Lisa hanya berdecak kesal karena Dimas malah mendukung permintaan anaknya.
“Ya udah om cium bibi ya, tapi abis ini Diva langsung tidur ya?”
Cup.
Iya, Diva memang bisa tidur, tetapi sekarang Lisa yang tidak akan bisa tidur.