Faraz menatap heran kedua perempuan di hadapannya. Ia tak menyangka jika Annisa mengenal bibinya Diva yang judes ini. Faraz mengabaikan Lisa dan lebih memilih bercakap dengan Annisa sang kekasih hati.
“Kamu beneran Aras, ‘kan?” tanya Annisa setengah tak percaya.
“Iya, Nisa, aku beneran Aras. Aku baru ninggalin desa ini beberapa tahun lho, masa kamu udah lupa sih? Jahat banget lah, sama temen sendiri aja lupa.” Faraz berpura-pura kesal dan sedih karena dilupakan oleh Annisa. Padahal dalam hati Faraz bersorak kegirangan karena akhirnya bisa bertemu dengan sang kekasih hati. Dia memang sudah tahu kepulangan Annisa, tetapi baru hari ini Faraz bertemu langsung dengannya. Perempuan yang dikenalnya sejak kecil ini masih sama seperti dulu. Annisa masih cantik dengan segala kesederhanaan yang dia miliki sebagai gadis desa. Apalagi, poin plus bagi Faraz adalah Annisa memiliki agama yang bagus. Poin itulah yang membuat Faraz tambah mantap untuk menjadikan Annisa sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
“Eh, maaf bukan gitu maksudnya. Aku gak nyangka aja kamu udah pulang lagi ke sini,” jelas Annisa tidak enak.
“Kamu ngapain di sini, Nis?”
“Saya ngajar ngaji, Ras. Kamu ngapain?”
“Saya juga ngajar ngaji.”
Lisa pun sengaja berdekhem untuk mengingatkan mereka bahwa masih ada dirinya di sini. Sungguh, ia tak mau hanya menjadi nyamuk atau kambing congek diantara Faraz dan Annisa.
“Ekhem.”
Faraz dan Annisa sontak menoleh pada Lisa yang berdeham. “Eh, oh ya Lisa, Ras, aku tinggal ke dalam dulu ya, gak enak lama-lama ninggalin anak-anak, kasihan.”
“Iya gak apa-apa, Nisa,” ucap Lisa sopan.
“Iya, Nis, aku juga mau balik ke dalam.”
Faraz dan Annisa kembali masuk ke mesjid untuk mengajar anak didik mereka sedangkan Lisa kembali duduk di tempatnya semula menunggu Diva dan Dafa hingga selesai mengaji.
===
Anak-anak yang diajar Faraz sebagian besar sudah pulang ke rumahnya masing-masing usai salat maghrib berjama’ah. Beberapa masih ada yang bermain di mesjid karena rumah mereka memang di sekitar mesjid. Faraz yang melihat Annisa di teras mesjid langsung buru-buru menghampirinya.
“Annisa.”
“Eh, Aras. Kenapa, Ras?”
“Kamu mau ke mana?”
“Mau pulanglah, lagi nunggu dijemput.”
“Sama suami kamu ya?” Faraz sengaja pura-pura tidak tahu, untuk memancing reaksi dari Annisa plus memastikan bahwa gadis incarannya ini masih sendiri.
Annisa hanya terkekeh mendengar pertanyaan Faraz. “ Bukan, Ras. Saya teh belum nikah, suami dari mana. Nunggu dijemput sama bapak.” Faraz terkesima oleh tawa Annisa. Perempuan sahabat kecilnya ini semakin manis dan ayu ketika sedang tersenyum atau tertawa. Namun, Faraz hanya menatapnya sebentar. Setelah itu ia segera menundukkan pandangannya.
Gadhul bashar adalah istilah menundukkan pandangan yang Allah perintahkan bagi lelaki dan perempuan. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menundukkan pandangan agar tidak tergoda oleh bujuk rayu dan anak panah setan yang diluncurkan melalui pandangan dan serta menjaga kesucian dirinya dari apa-apa yang belum halal untuknya. Terlebih bagi kaum lelaki, wanita adalah cobaan terbesar bagi mereka.
“Oh.” Faraz hanya menampilkan ekspresi biasa saja meski dalam hati ia bersorak riang gembira. Karena itu artinya kesempatan untuknya masih terbuka lebar.
“Saya temenin sambil kita ngobrol boleh? Rasanya udah lama banget kita gak ngobrol.” Mereka berdua duduk di tangga mesjid. Faraz menjaga jarak dari Annisa. Meskipun mereka berdua sudah akrab sejak kecil, tetapi saat ini mereka berdua adalah manusia dewasa yang berbeda jenis kelamin. Faraz sudah paham batas-batas pergaulan antara lelaki dan perempuan dalam Islam. Oleh karena itu, ia menjaga jarak aman dari Annisa.
“Iya, boleh. Iya kita udah lama banget gak ngobrol. Kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar? Abah sama ambu juga apa kabar?”
“Alhamdulillah baik juga, mereka juga baik. Kamu mainlah sekali-kali ke rumah.”
“Iya insya Allah nanti kapan-kapan aku main ya. Kamu juga mainlah ke rumah, Ras. Bapak sama ibu pasti senang. Masih ingat rumah saya kan? Gak amnesia kan pulang dari Belanda?”
Mana mungkin saya lupa rumah calon mertua. Iya, nanti pasti saya ke rumah kamu, Nisa. Buat lamar kamu ke bapakmu, batin Faraz.
“Ya inget dong. Kamu juga main ya, abah sama ambu pasti juga senang kamu ke rumah.”
“Iya, insya Allah.”
“Eh, ngomong-ngomong, emang belum ada lelaki yang lamar ke rumah kamu apa, Nis?” Faraz langsung to the point menanyakan hal tersebut pada Annisa.
Annisa yang mendengar pertanyaan Faraz jadi merasa malu dan canggung. Mereka memang sahabat dekat sejak kecil, tetapi karena sudah dua tahun lebih tidak bertemu dan berinteraksi, membuat Annisa canggung menanggapinya. Apalagi mereka sudah dewasa, tidak sebebas saat kecil dulu yang bisa saling ledek, saling menjahili dan bersentuhan fisik secara bebas. Annisa pikir pertanyaan Faraz terlalu pribadi untuknya. Namun, Annisa tetap menjawab untuk menghormati Faraz.
“Hmm ... udah ada sih yang lamar. Cuma memang belum ada yang pas aja, Ras. Jadi belum nikah deh sampe sekarang.”
“Kenapa belum pas? Apanya yang belum pas, Nisa?” tanya Faraz ingin tahu.
“Ya ada beberapa hal sih, salah satunya agamanya. Selain itu, pas aku istikharah juga gak mantap mau ngeiyain.”
“Ooh.”
“Kamu sendiri, kenapa belum nikah? Udah tua juga.” Annisa mulai memberanikan diri untuk meledek Faraz seperti masa kecil mereka dulu.
“Eits, aku belum tua kali, masih tiga satu ini.” Faraz tidak terima dikatakan tua oleh Annisa. Toh di luar sana banyak lelaki yang usianya di atas Faraz dan belum juga menikah.
“Iya udah tua umur segitu, mau nunggu umur berapa buat nikah? Empat puluh? Asep aja udah punya anak dua lho.”
“Ih, jangan sampai lah. Doain aja ya, biar tahun ini bisa nikah.”
“Aamiin. Cie, udah ada calonnya ya berarti?”
“Alhamdulillah udah ada,” jawab Faraz. Dan calonnya itu kamu, Nisa, ujar Faraz dalam hati.
“Alhamdulillah, aku ikut seneng, Ras. Jangan lupa undangannya ya nanti. Awas aja kalo kamu sampai gak ngundang!” ancam Annisa. Annisa ikut senang ketika Faraz mengatakan bahwa ia telah mempunyai perempuan yang akan diperistri. Annisa ikut mendoakan kebahagiaan Faraz dalam hatinya. Annisa sudah menganggap Faraz dan Asep seperti kakaknya sendiri.
Lah gimana gak ngundang? Orang kamu calon pengantin perempuannya, batin Faraz.
Faraz hanya tersenyum penuh arti. Obrolan mereka terhenti karena kedatangan bapak Annisa. Mereka bertiga sempat bercakap sebentar sebelum akhirnya Annisa dan bapaknya meninggalkan Faraz di mesjid.
===
Setelah melakukan beberapa kali salat istikharah dan bertemu Annisa, hati Faraz bertambah yakin dan mantap untuk meminang gadis itu. Faraz tak mau membuang waktu lagi. Niat baik harus disegerakan, pikirnya. Ia pun segera berkunjung ke rumah Annisa untuk bertemu sang ayah. Faraz menuruti nasihat abahnya untuk mendekati ayahnya sebagai wali. Masalah diterima atau ditolak, Faraz sudah pasrah, yang penting ia sudah berusaha. Jika nantinya ditolak, berarti Annisa bukan jodoh yang Allah takdirkan untuknya.
Faraz mengutarakan niatnya untuk meminang Annisa pada sang ayah. Awalnya ayah Annisa sangat terkejut dan minder mendengar penuturan Faraz.
“Aduh, Den. Maaf, apa Aden sudah yakin? Kami ini hanya keluarga biasa saja. Jauh dengan Aden. Apalagi si Nisa hanya tamatan SMA, sedangkan Aden kan sekolahnya di luar negeri. Keluarga kami juga tidak ada apa-apanya dibanding keluarga Abah Ramli.” Begitulah reaksi dari ayah Annisa yang minder dengan lamaran Faraz.
Namun, Faraz tidak menyerah begitu saja. Ia meyakinkan ayah Annisa bahwa hal-hal yang disebutkan tadi adalah bukan masalah baginya dan keluarganya.
“Saya meminang Annisa untuk jadi istri saya karena saya melihat agamanya bagus, Pak. Dia perempuan yang shalihah yang saya inginkan jadi istri dan ibu dari anak-anak saya nanti.” Begitulah ucapan Faraz untuk meyakinkan ayah Annisa.
Ayah Annisa kagum dengan tekad Faraz. Namun, ayah Annisa tidak bisa mengiyakan begitu saja. Beliau harus menanyakan dulu kesediaan anak gadisnya. Apakah ia menerima atau menolak. Ayah Annisa paham, jika wali berhak mencarikan jodoh bagi anak perempuannya. Namun, jika sang gadis menolak dan tidak mau dinikahkan dengan sang lelaki pilihan, maka wali tidak boleh memaksa. Islam melarang hal seperti itu. Maka, ayah Annisa meminta waktu pada Faraz sebelum memberikan kepastian. Faraz pun bersedia menunggu.
===
“Neng Nisa,” panggil ayah Annisa pada anak gadisnya yang sedang ada di kamar memberi obat untuuk ibunya. Sudah beberapa bulan ini sang ibu dilanda sakit sehingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Oleh karena itu, Annisa memilih meninggalkan pekerjaannya di kota dan merawat ibunya tercinta.
“Iya, Yah.”
“Coba ka dieu sakedap, Neng!” (Coba ke sini sebentar, Neng!)
Annisa menghampiri ayahnya yang berada di depan televisi.
“Kemarin Faraz ke sini. Dia bilang sama ayah mau melamar kamu jadi istrinya.”
“Apa? Yang bener, Yah?” ucap Annisa kaget. Annisa tak menyangka akan dilamar oleh sahabatnya itu. Annisa jadi bertanya-tanya di dalam hati. Jadi, calon yang dimaksud sama Aras waktu itu, aku? Ini benar-benar kabar yang mengejutkan bagi Annisa. Ia sendiri tak menyangka jika Faraz akan melamar pada ayahnya.
“Iya, atuh masa ayah bohong. Nah sekarang terserah kamu, Nis. Mau apa nggak sama Faraz.”
“Annisa belum bisa jawab, Yah. Biar Annisa istikharah dulu ya, Yah?”
“Ya sudah. Kalau kamu sudah punya jawabannya, kasih tahu ayah, ya?”
“Iya, Yah.” Sebenarnya, Annisa hanya menganggap Faraz sebagai teman, sahabat dan seorang kakak. Tapi, sebagai perempuan shalihah, ia tidak mau menolak begitu saja lamaran Faraz karena ia ingat, jika ada lelaki yang shalih dan agamanya bagus datang melamar maka wajib dipertimbangkan untuk diterima. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Maka, agar mendapat jawaban yang mantap, Annisa memutuskan untuk bertanya pada Allah agar keputusan yang ia ambil tidak salah.
===
Annisa memberikan jawaban positif pada lamaran Faraz. Ia memberikan jawaban setelah memikirkan banyak pertimbangan dan salat istikharah. Faraz senang bukan main ketika mengetahui Annisa bersedia menerima lamarannya. Tak hentinya kalimat syukur ia rapalkan dalam hati dan lisan sebagai ungkapan terima kasih pada Sang Pencipta karena telah mendengar dan mengabulkan doanya. Faraz langsung memberitahukan hal itu pada abah dan ambunya dan meminta mereka melamar Annisa secara resmi. Sebagai kedua orang tua, abah dan ambu ikut senang ketika mengetahui Faraz, anak lelaki mereka satu-satunya sudah mendapatkan calon istri.
Pertemuan dua keluarga berjalan lancar. Hari pernikahan akan dilaksanakaan satu bulan lagi. Abah Ramli dan Faraz tidak ingin terlalu lama menunggu waktu pernikahan. Sekali lagi seperti prinsipnya, niat baik harus disegerakan. Keluarga Annisa juga setuju. Namun, Annisa meminta pernikahan tidak dilaksanakan terlalu mewah. Biar sederhana namun khidmat. Keluarga Faraz menyetujui permintaan Annisa meskipun sebenarnya mereka bisa mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam mengingat Abah Ramli adalah orang terpandang di desanya dan Faraz juga merupakan anak tunggal.
Kabar pernikahan Annisa dan Faraz sudah santer terdengar ke seluruh penjuru desa. Semua orang turut senang akhirnya Abah Ramli akan menggelar hajatan bagi Faraz. Namun, sebagian gadis desa yang selama ini menyukai Faraz menjadi patah hati mendengar kabar itu, tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menerimanya.
===
“Wah, nanti Abah Ramli bakal ngadain hajatan loh, Bi,” ucap Dafa yang sedang mengerjakan PR nya bersama Diva ditemani Lisa.
“Oh ya?” Benar saja dugaan Lisa. Ketika melihat interaksi pertama kali antara Faraz dan Annisa, Lisa sudah menduga bahwa Faraz memiliki perasaan pada Annisa. Lisa bisa membaca dari tatapan dan ekspresi wajah Faraz yang berbinar ketika menatap Annisa.
“Iya, Om Kasep mau nikah sama Bu Annisa, guru ngaji yang di mesjid.”
“Oh, mereka mau nikah,” ucap Lisa datar tanpa ekspresi.
“Nanti kita dateng ya A ke nikahan Om Kasep,” ucap Diva.
“Iya dong, harus. Pasti nanti di sana bakalan banyak makanan enak.”
“Eh udah jangan ngobrol terus, ayo beresin dulu PR nya.”
“Iya, Bi,” ucap kakak beradik itu serempak.
Lisa jadi teringat jika beberapa hari yang lalu ia pernah berjanji pada Annisa untuk berkunjung ke rumahnya. Ia segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Annisa.