8. Meet You, Annisa

2026 Words
Lisa dan Faraz sama-sama mendengus malas melihat satu sama lain. Lisa tak menyangka akan bertemu dengan lelaki menyebalkan ini lagi. “Lo lagi? Kenapa gue harus ketemu lo lagi?” ucap Lisa sambil bersedekap dan menampilkan raut wajah kesalnya. Faraz berdecih melihat sikap perempuan di depannya ini. “Ya ini kebun abah saya, wajarlah kalo saya ada di sini. Seharusnya saya yang tanya sama kamu kenapa kamu bisa ada di sini, di kebun abah saya. Kamu mau ngapain?” tanya Faraz sambil mendelik tajam ke arah Lisa. Lisa jadi gelagapan sendiri. Ia tak sadar sudah berjalan terlalu jauh dan memasuki kebun Abah Ramli. “Eh, oh itu ... hmmm ...ya gue lagi jalan-jalan aja, emang kenapa? Salah?” “Yakin? Gak ada maksud terselubung, ‘kan? Gak ada udang di balik batu gitu?” tanya Faraz sambil menatap Lisa tajam. Lisa yang ditatap Faraz seperti itu jadi salah tingkah. “Nggak lah! Lo jangan su’udzon dong sama orang, orang gue Cuma jalan-jalan aja, kok.” “Lisa ... Lisa! ayo atuh buruan pulang, keburu siang nih!” teriak Teh Meli dari kejauhan. “Iya Teh, sebentar!” jawab Lisa sambil berteriak juga agar terdengar. “Udah, gue mau pulang aja. Oh ya jangan lupa ya, gantiin sepeda Diva. Jangan lari dari tanggung jawab lo!” ucap Lisa sambil berbalik meninggalkan Faraz di kebunnya. “Iya, gak usah kamu ingetin. Saya bukan tipe lelaki yang suka menghindar dari tanggung jawab,” ucap Faraz setengah berteriak karena jarak Lisa sudah cukup jauh dari tempatnya berdiri. “Baguslah, gue tunggu sepedanya ya!” ucap Lisa membalas perkataan Faraz. === Faraz baru saja selesai shalat zuhur berjama’ah di mesjid bersama abahnya. Abah Ramli memang mendidik Faraz dengan agama yang kuat. Faraz sudah dibiasakan untuk salat berjama’ah di mesjid sejak kecil. Kebiasaan baik itu terbawa hingga Faraz dewasa.  Ia ingat perkataan abahnya waktu ia kecil. “Laki-laki itu salatnya di mesjid dan berjama’ah, Ras. Kalau perempuan, baru lebih baik salatnya di rumah.” Ia bercita-cita akan mendidik anak lelakinya nanti seperti abah mendidiknya. Ah, anak. Istri saja belum punya, bagaimana bisa Faraz memiliki anak? Oleh karena itu, usai salat, ia berdoa agar dimudahkan oleh Allah untuk segera menemukan jodohnya. Setelah selesai ia dan abahnya langsung pulang untuk makan siang bersama. “Bah, kayaknya si Aras perlu dicariin jodoh nih,” celetuk ambu Faraz tiba-tiba. “Ambu,” ucap Faraz tidak suka dengan perkataan ambunya. “Ih, ya gak apa-apa kan, Ras. Namanya juga usaha.” “Faraz masih bisa cari sendiri Ambu.” “Yakin? Beneran?” “Iya.” “Ya kalau kamu mau minta abah atau ambu carikan juga gak apa-apa, Ras,” ucap Abah Ramli. “Aras mau usaha sendiri dulu, Bah. Nanti kalo gak berhasil, baru deh Aras minta bantuan abah sama ambu, ya?” “Ya udah, tapi jangan kelamaan ya?” “Iya, Ambu.” Faraz heran dengan Ambunya yang kebelet punya menantu. “Tapi, kamu masalah gak sama pendidikan calon istrimu nanti, Ras?” tanya Abah Ramli. “Maksud Abah?” “Ya kamu kan lulusan S-2, luar negeri lagi. Abah takutnya kamu punya standar yang sama untuk calon istri kamu nanti, harus sama S-2 juga. Kalau kamu mau cari istri orang sini ya, paling tinggi pendidikannya ya SMA. Ada sih beberapa yang sarjana, tapi mereka pasti kerja di kota. Abah takutnya, akan timpang kalau perbedaannya agak jauh. Kamu tahu sendiri kan kalau mencari jodoh itu hendaknya yang sekufu atau selevel.” Faraz sudah menduga abahnya akan membahas hal ini. Faraz memang tahu bahwa Islam menganjurkan mencari pasangan yang sekufu atau selevel. Entah itu sekufu dalam hal agama, pendidikan, keturunan atau silsilah, pekerjaan dan kekayaan. Hal itu juga pernah diungkapkan Ust, Khalid Basalamah dalam satu ceramahnya. Hal itu bertujuan agar tidak terjadi perbedaan yang terlalu mencolok dalam hal pergaulan dan komunikasi antara suami istri. Misalnya, sekufu dalam hal pendidikan. Jika suami adalah sarjana dan istri hanya lulusan SMP, sebenarnya hal itu tidak masalah jika keduanya tidak menganggap hal tersebut sebagai hal yang dapat mengganggu rumah tangga mereka. Namun, dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan dalam hal komunikasi dan pergaulan. Asalkan keduanya bisa saling mengimbangi dan memahami satu sama lain, perbedaan tersebut bisa diatasi dan tidak menjadi masalah. Namun diantara sekufu yang disebutkan di atas, yang paling diutamakan adalah sekufu dalam hal agama. “Nggak kok, Bah. Abah tenang aja. Aras gak memasang standar selevel untuk hal itu. Buat Aras, yang penting perempuan itu shalihah, agamanya baik, lemah lembut dan keibuan. Bagi Aras, pendidikan bisa diatur nanti. Kalau pendidikannya di bawah Aras, bisa sekolah lagi nanti. Pokoknya, buat Aras, sesuai sunnah Rasul SAW ketika memilih perempuan untuk dijadikan istri. Perempuan itu dilihat berdasarkan keturunannya, kecantikannya, kekayaannya dan agamanya. Diantara keempat itu yang paling penting kan agamanya, Bah. Percuma kalau perempuan itu kaya, cantik dan berasal dari keluarga baik-baik tapi agamanya belum baik.” Abah Ramli hanya tersenyum mendengar penjelasan Faraz. “Alhamdulillah, ternyata kamu masih ingat nasihat abah.” “Iya, dong.” “Atau kamu gak ada temen pas di Belanda yang ditaksir, Ras? Kan banyak mahasiswa Indonesia di sana. Masa teu aya nu nyantol barang hiji mah kitu? (Masa gak ada yang nyantol barang satu orang gitu?)” tanya Ambu Faraz. Masalahnya hati Aras masih nyantol di perempuan sini, Ambu, batin Faraz. Faraz menggelengkan kepalanya, “Nggak, Ambu.” Faraz lanjut mengunyah makan siangnya. “Ya sudah, cari saja perempuan yang kamu suka, Ras. Perempuan yang menyenangkan ketika kamu lihat dan menggetarkan perasaan kamu. Dekati orang tuanya, jangan dekati anaknya. Kalau udah oke, kasih tahu abah sama ambu biar kami lamarkan dia buat kamu ya,” ucap Abah Ramli bijaksana. “Siap, Abah.” === Usai berdzikir sebentar ba’da isya, Faraz memutuskan menunggu abahnya yang belum selesai di teras mesjid. Saat sedang berjalan, Faraz dihampiri oleh Pak Yadi, salah satu pengurus DKM mesjid dekat rumahnya itu. “Den Faraz, punten ganggu sakedap,” ucap Pak Yadi sopan. “Eh, aya naon, Pak?” (Ada apa, Pak?) “Bade aya nu diobrolkeun, kumaha lamun sambil diuk?” (Mau ada yang diobrolkan, bagaimana kalau sambil duduk?) “Oh, mangga atuh, Pak.” (Silakan, Pak.) Faraz dan Pak Yadi duduk santai di teras mesjid. “Begini, Den. Alhamdulillah anak-anak di desa yang ngaji di mesjid ini semakin banyak tiap hari.” “Oh syukur alhamdulillah, Pak. Terus masalahnya di mana?” “Nah, karena semakin banyak yang ngaji, kita pengurus mesjid jadi kekurangan guru ngaji, terutama untuk ngajar ngaji anak lelaki.” Belajar mengaji antara anak lelaki dan perempuan di desa Faraz memang dipisah. “Nah, punten nih, Den, apa Den Faraz bisa jadi pengajar ngaji di mesjid ini? Tapi punten dan hampura nih, Den. Kami sebagai pengurus mesjid gak bisa kasih gaji yang besar sebagai guru ngaji.” Faraz hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Pak Yadi. “Ya Allah Pak, gak usah sungkan gitu sama saya. Insya Allah saya bisa jadi guru ngaji di mesjid ini.” “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Den,” ucap Pak Yadi sangat senang dengan kesediaan Faraz. “Oh ya, untuk soal gajinya ... “ “Udah, itu gak usah dipikirin, Pak. Jangan pikirkan soal bayaran gaji sama saya. Sudah kewajiban saya untuk berbagi ilmu yang saya punya sama anak-anak di sini.” “Alhamdulillah, sekali lagi terima kasih banyak, Den. Duh, udah kasep, pinter, soleh, bageur pisan Den Faraz teh. (Sudah tampan, pintar, sholih, baik sekali Den Faraz itu.) Semoga kebaikan Den Faraz dibalas oleh Allah dengan kebaikan dan pahala yang berlipat ganda,” ucap pak Yadi tulus. Beliau benar-benar kagum akan kebaikan hati anak Abah Ramli ini. “Aamiin. Biasa aja, Pak. Nuhun doanya, Pak. Segala puji hanya untuk Allah, saya hanya manusia biasa yang banyak kekurangannya. Cuma Allah aja yang masih baik nutupin aib saya.” “Sami-sami, Den.” “Oh ya, kapan saya bisa mulai ngajar, Pak?” “Mulai besok bisa, Den? Biasanya anak-anak mulai ngaji ba’da ashar sampai maghrib. Jadi nanti habis maghrib mereka salat berjama’ah di mesjid, baru deh pulang.” “Oh iya ya, Pak. Saya lupa, padahal tiap maghrib saya salat bareng sama mereka.” “Ras, ayo, ambu pasti udah nunggu buat makan,” ucap Abah Ramli yang telah selesai dari dzikirnya menghampiri Faraz dan Pak Yadi. “Eh, Bah.” Pak Yadi mengangguk sambil tersenyum sopan pada Abah Ramli. Abah Ramli juga membalas dengan hal yang sama. “Ya udah, saya sama abah pamit duluan ya, Pak. Assalamu’alaikum.” “Mangga, Den. Wa’alaikumussalam.” === Saat malam sudah mencapai sepertiga terakhirnya, Faraz bangun dari tidurnya dan berwudhu. Ia akan melaksanakan shalat tahajud dan istikharah. Ia bermaksud meminta petunjuk kepada Allah masalah jodohnya. Ia sudah bertanya kepada Asep tentang Annisa, sahabat perempuannya yang selama ini disukainya diam-diam. Sebelumnya, Faraz sudah mencari tahu melalui Asep. Annisa sudah kembali pulang ke rumahnya setelah beberapa waktu bekerja di kota. Hal itu membuat Faraz sangat senang. Asep juga sudah mengetahui bahwa Faraz menyukai Annisa. Oleh karena itu, Faraz ingin memantapkan hatinya dengan shalat istikharah agar ia tidak salah memilih. Ia melakukan ini semua bukan hanya karena desakan ibunya semata. Jauh dalam lubuk hati Faraz, ia juga ingin membina rumah tangga di usianya yang sudah cukup matang ini. Ia ingin memiliki istri yang shalihah yang bisa diajaknya meraih ridha Allah dalam ikatan suci bernama pernikahan. Ia juga ingin memiliki istri yang bisa mengurus segala kebutuhannya. Terkadang, ia iri ketika melihat Asep yang begitu harmonis bersama istri dan kedua anaknya. Faraz juga bercita-cita memiliki banyak anak dengan istrinya nanti karena ia menyukai anak-anak. Tak heran apabila ia sangat terkenal di kalangan anak-anak desa seperti Dafa dan Diva. Usai berdoa meminta petunjuk Allah, Faraz lanjutkan dengan berdzikir, beristighfar dan membaca beberapa ayat suci alqur’an sambil menunggu waktu subuh tiba. Biasanya ia akan pergi ke mesjid bersama ayahnya setiap adzan waktu salat wajib berkumandang. === “Ibu, baju koko punya Aa di mana? Kok gak ada di lemari?” tanya Dafa yang sedang meneliti lemari pakaiannya. Anak itu hanya mengenakan kaus singlet dan kain sarung sebagai bawahan. “Ini Aa, tadi abis ibu seterika dulu, kusut soalnya,” ucap Meli sambil menyerahkan baju koko biru muda pada Dafa. “Oh, Aa kira hilang. Makasih, Bu.” “Sama-sama.” “Ayo siap-siap, nanti terlambat ke mesjidnya.” “Iya, Bu. Ini juga udah siap kok.” “Gak pake celana panjang aja, A? Aa kan naik sepeda. Ibu kok ribet ngeliatnya kamu pake sarung sambil naik sepeda.” “Aa bisa kok, Bu. Tenang aja.” “Ya udah, hati-hati ya.” Meli dan Dafa keluar kamar melewati Diva yang sedang ditemani Lisa belajar di ruang tengah. Karena kejadian kemarin, Lisa sudah beberapa hari tidak masuk sekolah, jadi Lisa memutuskan untuk membantu Diva belajar agar tidak ketinggalan pelajaran di sekolah. Jadi, ketika masuk Diva tidak ketinggalan pelajaran dari teman-teman di kelasnya. “Aa mau ngaji ya?” tanya Diva pada Dafa. “Iya, adek kan lihat Aa udah ganteng gini pake koko.” “Bu, Diva mau ngaji juga,” rengek Diva pada Meli. “Kata ayah kan belum boleh, Va. Kamu kan belum boleh naik sepeda lagi sama ayah. Sepedanya Aa kan gak bisa boncengan. Ngaji di rumah aja sama ibu ya? Kayak biasa?” ucap Meli membujuk Diva. “Tapi Diva kangen sama guru ngaji Diva, sama temen-temen ngaji juga. Bosen di rumah terus, Bu.” Meli hanya tersenyum simpul. Ibu dua anak itu paham perasaan Diva. Dua anaknya memang aktif bermain di luar rumah. Maka, ketika Diva harus terkurung di rumah ia akan cepat bosan. “Biar aku antar aja, Teh,” ucap Lisa tiba-tiba. “Eh?” “Iya, biar aku yang antar Diva ngaji. Biar aku bonceng pake sepeda.” “Iya, Bu. Boleh ya, Bu? Biar Diva dianter sama Bibi Lisa aja?” ucap Diva sambil menatap wajah memelas dan penuh harap pada ibunya. “Ya sudah, biar diantar sama Bibi Lisa ya?” “Hore! Makasih Ibu.” Diva berteriak kegirangan. “Ya udah, ayo sini ibu bantu ganti baju dulu.” === Lisa mengayuh sepedanya dengan hati-hati. Ia tidak mau lagi terjadi sesuatu yang buruk pada keponakannya dan yang paling utama, ia tidak ingin disalahkan oleh ayahnya sendiri. Jarak antara rumah Lisa dan mesjid tempat Dafa Diva mengaji cukup jauh ternyata. Setelah sekian ratus meter mengayuh sepedanya, akhirnya mereka tiba di mesjid. Peluh sudah membanjiri kening dan tubuh Lisa. Ia buru-buru menyekanya dengan kaus lengan panjang yang digunakannya. Mesjid terlihat ramai dengan anak-anak kecil hingga remaja. Lisa membantu Diva turun. Diva sudah bisa berjalan meski masih sedikit tertatih. Lisa memapah Diva hingga ke teras mesjid. “Udah, Bi aku masuknya sendiri aja, bisa kok.” “Beneran?” Diva mengangguk mantap. “Ya udah, bibi tunggu di teras sini ya.” “Tapi aku ngajinya sampai maghrib, Bi. Bibi gak kelamaan nunggu sampai maghrib?” “Nggak apa-apa kok.” Lisa membiarkan Diva masuk sendiri ke dalam mesjid. Ia duduk di teras mesjid sambil mendengarkan anak-anak mengaji. Hati kecil Lisa jadi tersentuh. Sudah lama ia tidak menyentuh Al Qur’an. Ya Allah, betapa berdosanya ia selama ini. Batin Lisa terus beristighfar. Ia jadi teringat permintaan kakaknya untuk berhijab. Sebenarnya ia sudah lama ingin berjilbab, tetapi entah kenapa di sisi lain hatinya merasa belum mantap. Entahlah, mungkin itu salah satu godaan syetan, pikir Lisa. Saat sedang melamun, ia dikejutkan dengan panggilan dari seseorang. “Lisa?” “Ya ampun, Annisa?” “Ya Allah, kamu apa kabar?” Lisa dan Annisa berpelukan layaknya dua orang sahabat yang lama tak jumpa. “Aku antar ponakan aku, Diva, dia ngaji di sini. Kamu ngapain, Nisa?” “Aku ngajar ngaji anak-anak perempuan di sini. Kebetulan mesjid lagi kekurangan guru. Jadi mereka nawarin aku meski rumahku juga agak jauh dari sini.” Lisa dan Annisa dikejutkan dengan suara bariton yang menyapa Annisa. “Annisa?” “Aras?” To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD