Lisa sedang merenung di kamarnya sendiri. Hari ini entah Lisa merasa kurang enak badan. Ia merasa sedikit demam dan sakit kepala. Lisa merebahkan dirinya di kasur sambil mengingat percakapan dengan bibinya barusan. Ia baru saja dihubungi oleh bibinya, Bi Ratih. Bi Ratih sempat marah pada Lisa karena tidak mengabarinya begitu tiba di desa. Lisa meminta maaf pada adik ibunya itu karena ia lupa menghubunginya. Selain bibinya, mantan Lisa yaitu Revan juga tak henti menghubungi Lisa via telepon. Namun, Lisa abaikan. Ia tak ingin berurusan dengan lelaki pengkhianat itu lagi walaupun ia sudah banyak menolong Lisa dan sudah banyak kenangan indah yang mereka lalui bersama.
Tok ... tok ... tok
“Lisa,” panggil Meli sambil membuka pintu kamar Lisa yang tidak dikunci.
“Eh, iya kenapa, Teh?” Lisa langsung bangun dari posisi rebahannya sambil memijat pelipis kanannya.
“Kamu kenapa? Sakit?” Meli berjalan menuju tempat tidur Lisa.
“Nggak kok, Teh. Cuma sedikit demam sama sakit kepala aja. Mungkin mau flu nih,” jawab Lisa.
“Oh, yaudah istirahata aja.”
“Teteh mau ngapain tadi ke sini?”
“Tadinya teteh mau minta tolong kamu buat ke pasar beli beberapa bahan kue sama makanan kecil, soalnya teteh lagi gak bisa ke pasar soalnya setrikaan numpuk. Tapi gak apa, kamu istirahat aja, biar teteh minta tolong A Dimas aja nanti.”
“Eh, gak apa-apa aku aja yang ke pasar, Teh.”
“Lho? Kamu kan lagi sakit?”
“Ih teteh udah tenang aja. Sekalian aku refreshing, siapa tahu bisa sembuh. Siapa tahu aja kalau ke pasar aku bisa jadi punya ide buat bisnis gitu selama aku di sini, biar aku juga gak bosan dan ada kegiatan.”
“Kamu serius? Yakin kuat, Sa?”
“Yakin, Teh. Cius ini.”
“Ah, gak usah lah. Nanti kalau kamu ada apa-apa, teteh dimarahin sama A Dimas. Udah kamu istirahat aja.”
“Ya Allah, Teh. Gak usah parno gitu ah. Aku Cuma sakit begini doang mah biasa. Dulu juga pas di Jakarta kalau sakit ringan kayak gini mah tetep masuk kantor.”
Meli menimbang kembali tawaran dari Lisa.
“Teteh w******p aja barang-barang yang harus aku beli ya. Aku mau siap-siap dulu ya.”
“Oke. Makasih banyak ya. Tapi kamu hati-hati ya, Lisa.”
“Sami-sami, Teh. Iya, teteh tenang aja, sih.”
===
Lisa membawa kantung belanjaannya di sebelah kanan dan kiri. Ia segera menuju tempat motornya diparkir. Namun, sebelum itu ia mampir membeli rempah-rempah seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak dan jeruk nipis. Ia ingin membuat jamu untuk dirinya sendiri agar tubuhnya kembali fit dan segar seperti semula. Setelah itu, ia menuju apotek yang berada di pasar untuk membeli madu sebagai tambahan rasa manis untuk jamunya nanti. Usai mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan, Lisa segera memacu motornya untuk pulang ke rumah.
Langit yang tadinya cerah tiba-tiba mendung. Lisa pun segera menambah kecepatan motornya gar ia bisa cepat tiba di rumah. Namun, naas dalam perjalanan pulang ketika jalan yang dilewatinya sedang sepi, ada sebuah mobil jeep yang menyalipnya dari belakang dan berhenti mendadak tepat di depan motor Lisa. Lisa yang terkejut langsung mengerem motornya. Empat orang preman langsung ke luar dari dalam mobil.
Ya ampun, kenapa berurusan sama preman-preman lagi, sih? Sekarang mereka mau apa? Apa mau begal gue di sini? Ck, ck, decak Lisa kesal.
Lisa langsung menatap para preman yang berjumlah empat orang dengan tubuh kekar di hadapannya. Lisa memasang wajah garang meski dalam hati kecilnya ia juga merasa takut. Namun, ia tidak mau terlihat takut dan para preman itu merasa menang.
“Mau ngapain sih lo pada, hah?” bentak Lisa. “Sana bawa minggir mobil butut lo! Gue mau lewat! Cepat!”
Para preman terbahak mendengar bentakan Lisa. bentakan Lisa hanya dianggap sebagai cicitan. Tidak menggentarkan mereka sama sekali.
“Cepet serahin duit lo! Sama semuanya, motor dan perhiasan juga kalau ada!” ucap seorang preman menghampiri Lisa sambil mengacungkan pisau di depan wajah Lisa.
Lisa langsung menghajar preman itu hingga terjatuh. Ketiga teman preman itu hanya bisa melongo.
“Issh, jangan galak-galak dong teteh geulis. Kita mau ambil motor, perhiasan sama duit teteh, jadi mending teteh geulis minggir aja deh, daripada nanti kita apa—apain,” ucap salah seorang preman mencoba bernegosiasi.
“Enak aja lo minta motor gue! Gak ada! Sini lawan gue dulu kalo lo pada berani!” tantang Lisa.
“Yah, dia belum tahu kita nih. Bener-bener nantangin nih cewek.”
Salah seorang dari tiga preman maju untuk melawan Lisa. Lisa langsung mengeluarkan jurus pencak silatnya. Selama beberapa menit ia berhasil melawan satu preman yang melawannya. Namun, karena kondisi tubuhnya ynag sedang tidak fit ditambah Lisa kalah jumlah dengan mereka. Alhasil Lisa kalah. Tubuh Lisa terbujur lemas di jalanan usai melawan para preman.
“Makanya udah dibilangin jangan ngelawan, pake sok-sok-an lagi. Bawa dah buru tuh motornya.”
“Eh, tapi ajak aja nih si tetehnya, Bang. Lumayan loh buat kita seneng-seneng berempat.”
“Boleh juga idenya. Cantik dan seksi juga sih, betisnya aja putih mulus, suit-suit.” Para preman itu memandangi tubuh Lisa dengan tatapan lapar. Lissa memang menggunakan celana yang panjangnya hanya di bawah lutut dan tidak menutupi seluruh kakinya. Ia berdoa dalam hati agar ada seseorang yang bisa menolongnya.
Dua preman menarik Lisa paksa untuk ikut masuk ke mobil. Lisa hanya bisa memberontak dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya.
“Eh, atau gak kita pake si tetehnya di semak-semak deket kebun teh itu gimana, Bang? Kelamaan kayaknya kalau ikut kita dulu, mah. Udah gak tahan nih lihat si teteh cantiknya.”
Lisa pun meronta-ronta sambil berteriak minta tolong. Ia dihempaskan kasar oleh dua preman di kebun teh yang sepi. Lisa sudah lemas dan tak bisa melawan.
“Ya Allah, tolong aku. Aku gak mau ngalamin kejadian ini lagi. Ya Allah, tolong!”
Sekelebat memori masa lalu langsung menghampiri ingatan Lisa. Lisa hanya bisa pasrah saat sebagian bajunya sudah dirobek paksa oleh salah satu preman.
“Hei, berhenti kalian!” terdengar suara seorang lelaki yang menghentikan kegiatan kedua preman tadi.
“Dasar preman-preman busuk!” Lelaki tadi langsung menghajar dua preman tanpa ampun sampai mereka babak belur. Dua preman itu meninggalkan Lisa dan lelaki tadi. Lelaki tadi langsung menghampiri Lisa yang tak berdaya.
“Hei, Lisa! kamu gak apa-apa?” tanyanya cemas.
Lisa yang terpejam langsung membuka matanya. Ia sangat terkejut melihat Faraz lelaki yang dibencinya kini ada di hadapannya. Lelaki yang dibencinya ini juga yang telah menolongnya.
“Lo? Fa ... Faraz?” ucap Lisa terbata.
Faraz langsusng membuka jaket cokelat yang digunakannya untuk menutupi tubuh Lisa. Ia menggendong Lisa dan membawanya ke mobil.
“Ya Allah, si Lisa kunaon, Ras?” tanya Asep khawatir.
“Dia hampir aja diperkosa, Sep.”
“Astaghfirullah.”
“Kamu tolong bawa motornya si Lisa pulang ya, Sep. Saya bawa Lisa dulu ke puskesmas takut ...”
“Jangan!” ucap Lisa seketika.
“Tolong, tolong ba ... bawa aku pulang aja.”
Faraz menuruti permintaan Lisa untuk membawanya pulang.
===
Lisa masih terbaring lemah usai kejadian memilukan kemarin. Meli tak hentinya menangis dan menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa Lisa. Namun, Lisa menghibur Meli bahwa itu sudah takdir. Lisa bersyukur tidak ada luka serius pada tubuhnya. Diantara seluruh anggota keluarganya yang ada di rumah itu, hanya ayahnya lah yang tidak pernah menjenguknya di kamar. Sungguh, Lisa heran kenapa ayahnya bisa sebenci itu padanya hinggga tak mau menengoknya ketika ia terbaring sakit.
Akibat kejadian itu, Lisa tiba-tiba teringat permintaan Dimas untuk menutup aurat. Ia mengambil ponselnya dan mulai mencari referensi tentang kewajiban menutup aurat. Hingga ia menemukan artikel yang menjelaskan bahwa jika anak perempuan yang belum menikah tidak menutup aurat maka ayahnya yang akan berdosa.
Lisa juga teringat perkataan Faraz saat mengantarkannya pulang.
“Saran saya, tutup aurat kamu, Lisa. Agar kamu tidak mudah diganggu. Untung Allah masih baik sama kamu dengan mendatangkan saya jadi kamu gak sempat diapa-apain sama preman-preman tadi.” Faraz mengucapkannya dengan singkat, datar tapi tegas.
Lisa jadi berpikir ketika mengingatnya. Apa mungkin ini teguran dari Allah karena ia belum menutup aurat?
Ia pun memutuskan untuk belajar menutup aurat mulai saat ini. Ia sadar hal itu merupakan kewajiban bagi muslimah sepertinya. Setelah bergaul dengan Annisa ketika menunggu Diva mengaji di mesjid juga membuatnya berpikir keras. Annisa sudah memperingatkannya untuk menutup aurat sebagai kewajiban sebagai seorang muslimah. Selain itu, ia tidak ingin bapaknya dan Dimas menanggung siksa di akhirat karena dirinya yang belum menutup aurat. Mungkin juga dengan menutup aurat, sikap ayahnya bisa sedikit melunak padanya.
Saat keadaan Lisa sudah membaik, ia meminta Meli untuk menemaninya membeli jilbab dan baju gamis. Meli yang mendengarnya senang bukan main.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu dapat hidayah itu, Lisa,” ucapnya waktu itu.
Lisa dan Meli hanya mengunjungi toko pakaian sederhana, tidak seperti ketika Lisa tinggal di Jakarta yang sering mengunjungi mal-mal besar dan baju-baju branded. Lisa tidak masalah akan hal itu. Dimas juga pernah memperingatinya.
“Percuma baju mahal tapi gak nutup aurat, gak bakal bikin kita ke surga. Menurut salah satu ceramah Ust. Adi Hidayat yang pernah Aa dengar di i********:, salah satu ciri berkahnya rezeki yang kita dapat itu adalah bisa membeli makanan minuman halal, pakaian-pakaian yang menutup aurat yang akan menuntun kita ke surga dan meraih ridha-Nya Allah.”
===
Hari ini Lisa hanya berdua dengan ayahnya di rumah. Dimas, Meli dan kedua keponakannya sedang berkunjung ke rumah orang tua Meli yang terletak di desa sebelah. Lisa bingung harus bersikap karena ini pertama kalinya ia hanya berdua dengan ayahnya di rumah. Tadinya ia memutuskan untuk mengurung diri di kamar saja, tetapi ia teringat akan nasihat Dimas yang memintanya untuk tidak menyerah mengambil hati ayahnya.
Lisa yang sudah mengenakan jilbab memberanikan diri keluar kamar. Ia melihat ayahnya sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Pak, bapak lagi nonton apa?” tanya Lisa sambil duduk di sebelah ayahnya.
Lama tak ada jawaban dari ayahnya. Lisa hanya tersenyum simpul diabaikan oleh ayahnya.
“Pak, Lisa bikinin kopi ya buat Bapak?” tawar Lisa. Namun, tetap tidak ada tanggapan dari ayahnya itu.
“Ya udah tunggu sebentar, Lisa ke dapur dulu ya bikinin kopi buat bapak.” Lisa segera bangkit dari duduknya menuju dapur.
Lisa menitikkan air mata ketika mengaduk kopi untuk ayahnya. Tapi dengan cepat ia menghapus air mata itu dari wajahnya dan kembali menampilkan wajah ceria. Ia membawa nampan berisi kopi panas dan juga ubi rebus.
Lisa kembali menghampiri ayahnya yang masih menonton televisi.
“Nih kopinya udah jadi, Pak. Lisa juga bawain ubi rebus buat Bapak,” ucap Lisa sambil menyimpan nampan di meja berukuran sedang yang ada di hadapannya.
Tetap diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Itulah reaksi yang diterima Lisa dari ayahnya. Lisa merasa seperti berbicara dengan patung. Mereka berdua menonton televisi tanpa saling tegur sapa.
“Hmm ... ini diminum kopinya, Pak. Udah gak terlalu panas loh, nanti kalau udah dingin gak enak, Pak,” ucap Lisa sambil mengulurkan gelas yang berisi kopi di tangannya pada sang ayah.
Ayahnya bukan mengambil gelas yang diulurkan Lisa, tetapi menepisnya dengan kasar sehingga air kopi yang ternyata masih cukup panas mengenai kulit Lisa dan membuat gelasnya jatuh dan pecah membentur lantai.
“Aduh!” pekik Lisa karena merasakan kopi panas di tangannya. Ia langsung mengelap tumpahan kopi di tangannya menggunakan jilbab yang ia kenakan.
“Kamu ini bisa gak, gak ganggu saya?!” ucap ayah Lisa ketus.
“Pak ... “
“Siapa yang suruh kamu bikin kopi buat saya, hah?! Sudah saya bilang jangan buat apa pun untuk saya. Saya tidak mau berdekatan dengan kamu.” Ayah Lisa langsung mematikan TV dan bangkit meninggalkan Lisa tak peduli jika putrinya itu terkena kopi panas akibat ulahnya.
Air mata Lisa menetes. Namun, ia berusaha agar tidak terisak. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan ayahnya.
“Bapak, tunggu!” ucap Lisa sedikit keras.
Ayahnya langsung menghentikan langkahnya, tetapi beliau tidak berbalik menghadap Lisa. Lisa langsung berjalan mendekati ayahnya.
“Bilang sama Lisa, salah Lisa apa, Pak? Kenapa Bapak benci banget sama Lisa?”
“Kamu gak akan pernah tahu salah kamu.”
“Maka dari itu bilang sama Lisa, Pak. Lisa minta maaf kalau Lisa ada salah sama Bapak.” Lisa menyentuh lengan ayahnya namun ayahnya dengan kasar menepisnya. Lisa yang disentak seperti itu menjadi kaget.
“Segitu bencinya Bapak sama Lisa? Lisa harus gimana biar bapak nerima Lisa, biar bapak nganggep Lisa jadi anak bapak? Kasih tahu Lisa, Pak.”
To be continue