11. Ajakan Menikah

1941 Words
Setelah kejadian malam itu, Lisa lebih banyak melamun dan diam. Hal itu membuat Meli merasa sedikit aneh. Lisa yang sedang membantu Meli di dapur kembali melamun di tengah kegiatannya menyiangi bayam yang akan dimasak untuk makan siang. "Sa?" "Eh, iya Teh, kenapa?" ucap Lisa tersadar dari lamunannya. "Teteh perhatiin kok kamu banyak ngelamunnya sih sejak teteh pulang dari rumah orang tua teteh. Kenapa? Ada masalah? Cerita lah sama teteh," ucap Meli sambil memotong tempe dan tahu yang akan digoreng. "Beneran gak ada apa-apa kok, Teh." Lisa kembali menyiangi bayam hingga selesai dan mencucinya hingga bersih. "Ini bayamnya, Teh. Biar Lisa aja yang lanjut goreng tahu tempenya." Lisa memberikan baskom berisi bayam yang telah bersih pada Meli. Meli yang menerimanya terkejut ketika melihat tangan Lisa yang melepuh seperti tersiram air panas. "Loh tangan kamu ini kenapa? Kok merah melepuh gini?" tanya Meli sambil memegang dan meneliti tangan Lisa. "Eh, gak apa-apa kok, Teh. Kemarin gak sengaja kesiram air panas waktu mau bikin teh," ucap Lisa berdusta. Ia langsung menarik tangannya dan menutupinya lagi dengan lengan baju yang digulungnya saat mencuci bayam. Tadinya ia berniat menyembunyikan luka itu, tetapi gagal karena ia lupa kembali mengulurkan lengan bajunya. "Ck, lain kali hati—hati, Sa. Udah diobatin kan?" "Iya, Teh. Udah dikasih salep kok. Emang akunya aja yang ceroboh." Lisa dan Meli lanjut memasak untuk makan siang. === Ba'da dzuhur, Lisa pamit pada Meli untuk pergi ke rumah Annisa karena ia sudah janji akan ke rumahnya hari ini. Lisa menggunakan motor Dimas menuju rumah Annisa. Ia mengikuti petunjuk arah yang Annisa berikan sebelumnya via chat. Setelah sempat bertanya pada beberapa orang yang melintas karena kebingungan, Lisa akhirnya tiba di rumah Annisa. "Assala ... " Belum selesai salam yang Lisa ucapkan, Lisa mendengar susara orang ribut dari dalam rumah Annisa. Lisa makin terkejut ketika disambut barang-barang yang tiba-tiba melayang dari dalam rumah ke arahnya. Untung saja ia memiliki refleks yang bagus sehingga bisa menghindar. "Pokoknya kamu kudu bayar hutang-hutang kamu. Ulah bisana ngan janji-janji wae (jangan biasanya janji-janji saja)," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang melempar barang tadi. Lisa segera menyingkir ke samping teras rumah Annisa, bersembunyi agar Nisa dan bapaknya tidak merasa malu dilihat olehnya ketika sedang ditagih utang. "Muhun, hampura, Kang. Saya teu acan bisa bayar hutangna (Saya belum bisa bayar hutangnya)," ucap ayah Annisa lirih sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, meminta maaf. Annisa yang berada di belakang ayahnya hanya bisa menangis tersedu. "Kamu bayar lah, minta sama calon besan kamu tuh, si Abah Ramli, pan dia kaya." Ayah Annisa hanya diam tak menjawab. "Pokoknya, kalo sampai batas waktu yang ditentukan kamu gak bisa bayar lagi, lihat aja apa yang bakal saya lakuin sama keluarga kamu. Ngerti?" "Ngerti, Kang." Ketiga orang tadi segera meninggalkan rumah Annisa sambil menendang barang-barang yang mereka lempar tadi. Lisa memutuskan untuk kembali ke rumah karena menurutnya suasana rumah Annisa yang seperti itu tidak memungkinkan untuknya berkunjung. === Lisa mengajak Annisa bertemu keesokan harinya. Lisa menjenguk ibu Annisa yang sedang sakit terlebih dahulu baru setelahnya dua perempuan cantik itu berbicara sambil berjalan-jalan di halaman Annisa yang dipenuhi tanaman bunga. "Gimana persiapan pernikahan kamu sama anak Abah Ramli, Nis?" "Oh, Faraz? Alhamdulillah semuanya lancar." "Oh, syukur alhamdulillah kalo gitu." Lisa tersenyum simpul mendengar jawaban Annisa. "Kalian memang saling mencintai ya?" tanya Lisa. Sekarang, ganti Annisa yang tersenyum simpul. "Sebelum menikah, cinta itu tidak penting, Lisa." "Kok begitu?" tanya Lisa heran dan terkejut. Melalui jawaban yang diberikan Annisa, Lisa menyimpulkan bahwa Annisa tidak mencintai Faraz. Namun, ia tidak berani mengatakan kesimpulannya itu secara langsung, takut menyakiti hati perempuan itu. "Iya. Awalnya kami berdua hanya sahabat dari kecil. Aku juga kaget ketika ia melamarku melalui bapak. Tapi, aku gak langsung mengiyakan. Aku istikharah dulu selama beberapa hari dan mempertimbangkan beberapa hal. Akhirnya aku menerimanya. Meski belum ada cinta di hatiku, tapi aku yakin cinta itu akan hadir seiring berjalannya waktu. Lagian sebagai muslimah, sebaiknya kita tidak boleh menolak jika ada lelaki yang shalih datang melamar kita." Lisa termenung memikirkan perkataan Annisa. Ia membayangkan dirinya jika menjadi Annisa. Apa bisa ia menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai? Apakah ia sanggup hidup seatap bersama lelaki itu untuk bertahun-tahun lamanya? Lisa sungguh tidak bisa membayangkan jika itu dialami olehnya. Ia benar—benar kagum dengan Annisa. Tapi, di sisi lain, Faraz memang memenuhi kriteria sebagai suami idaman, mana ada yang bisa menolak. Meski kesal dan tidak suka dengan Faraz, Lisa akui kalau lelaki itu tampan, ramah, bertanggungjawab, pintar dan yang pasti kaya karena ia pewaris tunggal seluruh perkebunan abahnya. "Kok kamu baru ke sini sekarang? Padahal kemarin aku tungguin loh, Sa." Pertanyaan Annisa membuyarkan lamunan Lisa. "Eh iya. Hmm ... sebenarnya aku kemarin udah ke sini, Cuma ... " "Oh ya? Kapan? Kok aku gak tahu?" "Hmmm ... itu maaf Nisa, pas ada orang ke rumah nagih utang sama bapak kamu." Raut wajah Annisa langsung berubah drastis. Ia langsung menunduk malu dan mengalihkan wajahnya dari Lisa. "Kamu bisa cerita kalau kamu ada masalah, Nis. Siapa tahu aku bisa bantu. Kita kan sudah menganggap satu sama lain kayak saudara," ucap Lisa sambil merangkul bahu Nisa. Annisa langsung menitikkan air matanya. "Bapak memang terlilit hutang sama rentenir, Lisa." "Astaghfirullah," ucap Lisa terkejut. "Beliau terpaksa berhutang untuk membiayai pengobatan ibu. Uang tabungan gajiku selama kerja di kota juga sudah habis untuk membayarnya sebagian dan itu masih kurang. Aku gak tahu lagi harus cari uang ke mana," ucap Annisa terdengar putus asa. Lisa menatap iba pada Annisa. Kasihan sekali perempuan ini. Setiap orang memang akan mempunyai ujian yang berbeda. Lisa yang diuji dengan sikap buruk ayahnya, sedangkan Annisa diuji dengan sakit ibunya dan permasalahan ekonomi. Setiap manusia sudah ditakar ujiannya oleh Allah. Lisa pun memeluk Annisa dengan sayang untuk mengurangi kesedihannya. === "Apa, Pak?!" pekik Faraz tak percaya. "Iya, Nak. Bapak juga gak tahu dia pergi kemana. Ya Allah, Annisa, Neng kamu di mana, Nak?" ucap ayah Annisa bingung. Jelang tiga hari pernikahan Annisa dan Faraz, Annisa menghilang. Sang ayah menemukan koper dan baju-bajunya hilang. Ponsel Annisa pun tidak aktif. Faraz yang mendengarnya pun terkejut bukan main. Rumahnya sudah disiapkan untuk mengadakan hajatan. Seharusnya memang acara diadakan di rumah Annisa sebagai pihak perempuan. Tetapi, lokasi halaman rumahnya yang sempit tak memungkinkan untuk diadakan pesta. Maka di rumah Faraz lah pesta akan diadakan. "Kita cari dulu, Pak. Pasti ada petunjuk. Bapak jangan bilang siapa pun dulu ya, cukup kita berdua aja dulu yang tahu. Kita berdua cari Annisa, Pak." Mereka berdua segera berpisah untuk menemukan Annisa. === Faraz mendatangi rumah Annisa ba'da Isya. Ia sudah mencari ke seluruh penjuru desa tetapi tidak berhasil. Annisa belum ditemukan. Begitu juga sang ayah. Tetapi, ayah Annisa memberikan surat yang ditinggalkan oleh Annisa di kamarnya. "Nak, tadi bapak nemu ini di kamar Annisa, keselip di bawah bantalnya," ucap lelaki paruh baya bermata sayu itu sambil memberikan sepucuk surat yang di luar amplopnya tertulis "Untuk Faraz". Faraz meneriima surat itu. "Isinya apa, Pak?" Ayah Annisa menggelengkan kepalanya. "Bapak gak tahu, Nak. Bapak gak berani buka karena disitu tertulis buat kamu. Coba kamu yang buka dan baca apa isinya." Faraz membuka surat itu dengan tergesa. Ia tak sabar untuk mengetahui isi surat itu. Assalamu'alaikum Aras. Maaf ya, ketika kamu baca surat ini, aku pasti udah pergi dari desa. Maaf Faraz, aku gak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita. Maaf telah melukai perasaanmu, keluargaku dan terutama keluarga kamu. Tolong sampaikan maafku pada ambu dan abah ya. Kamu boleh benci sama aku, Ras. Aku tahu pasti kamu sangat marah dan kesal dengan keputusan sepihakku ini. Tetapi, aku punya alasan kuat dibalik keputusanku ini. Maaf, hubungan silaturahmi kita harus ternoda karena kepergianku. Sekali lagi, maaf. Oh ya, boleh aku minta satu permintaan sama kamu, Ras? Kamu tidak perlu membatalkan pernikahan kita. Nikahilah Lisa, bibinya Diva. Kamu pasti tahu, kan? Jadikan Lisa istri kamu, Ras. Dia perempuan yang baik, Ras. Aku harap kamu bisa mengabulkan permintaanku ini. Maaf ya, sekali lagi maaf. Aku sudah lancang meninggalkanmu dan memintamu menikahi perempuan lain. Tapi sekali lagi, aku punya alasan, Ras. Alasan yang tidak bisa aku ungkapkan sama kamu. Biarlah waktu yang berbicara. Sampaikan salam dan permintaan maafku pada keluargamu dan bapak ibuku ya? Jangan cari aku. Insya Allah aku baik-baik saja. Wassalamu'alaikum. Tangan Faraz langsung terkulai lemas membaca surat dari Annisa. "Apa isinya, Nak?" "Ini, Pak. Bapak bisa baca sendiri," ucap Faraz sambil menyerahkan kembali surat itu. Bapaknya tak kuasa menitikkan air mata membaca surat yang ditulis oleh anak gadisnya. "Maaf, Nak. Maafin Nisa, maafin bapak juga." "Sudah, Pak. Ini bukan salah bapak. Saya pamit pulang dulu ya, Pak." Faraz bergegas meninggalkan rumah Annisa. Ia butuh sendiri untuk menenangkan diri dan berppikir jernih untuk mengambil langkah selanjutnya. === Faraz merasa sangat sedih. Ia kehilangan Annisa menjelang hari pernikahan mereka. Padahal Faraz sudah menantikan moment-moment sakral dan mendebarkan itu. Ia sudah latihan mengucap ijab qabul dan membaca buku-buku yang berisi membangun pernikahan menurut sudut pandang Islam. Ia juga belajar tentang kewajiban dan hak sebagai seorang suami. Namun, begitu mengetahui kepergian Annisa, semua itu pupus sudah. Kedua keluarga sudah mengetahui kepergian Annisa tadi pagi. Abah dan ambu sangat kecewa, bahkan ambu sampai menangis. Faraz tak tega melihat sang ibu sedih karena pernikahannya terancam batal. Ayah Annisa juga berulang kali meminta maaf atas kepergian anaknya. Untung saja abahnya orang yang bisa mengontrol emosi. Faraz masih asyik menatap rintik hujan yang membasahi halaman rumahnya. Ia duduk di kursi teras sambil bersedekap. Pandangannya kosong. "Aras." "Eh, iya Ambu. Ada apa?" Ambu dan Abah menghampiri Faraz. "Terus rencana kamu apa?" "Faraz akan tetep nikah, Ambu?" "Hah? Sama siapa? Annisanya kan pergi, Nak." "Ada, Ambu. Faraz udah nemu pengganti Annisa." "Apa? Kamu yakin, Nak. Jangan buat keputusan gegabah. Ini tentang pernikahan, Ras. Ambu gak mau kamu menyesal nantinya. Ingat, pernikahan itu mitsaqan ghaliza, perjanjian agung, perjanjian kokoh. Allah hanya menyebutkannya dalam Al Qur'an ssebanyak tiga kali. Pertama, Allah membuat perjanjian dengan Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab:7). Kedua, Allah mengangkat Bukit Thur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An-Nisa:54). Ketiga, Allah menyatakan hubungan pernikahan. Pernikahan itu disetarakan seperti perjanjian Allah dengan para Nabi. Tanggung jawabnya berat, Nak. Kamu gak boleh nganggep remeh hal itu, Nak." "Iya, Faraz paham, Ambu." Ambu dan Abah Faraz saling bertatapan. "Ya sudah, kamu sudah dewasa, Ras. Kami juga sudah mengingatkan dan membekalimu dengan ilmu agama. Lakukanlah apa yang menurutmu benar, kamu sudah dewasa dan berhak menentukan pilihan hidupmu sendiri. Lakukan hal yang akan membuatmu bahagia. Sebagai orang tua, kami juga akan bahagia jika kamu bahagia. Kenalkan kami dengan perempuan yang akan menggantikan Annisa menikah denganmu. Abah yakin kamu tidak akan asal sembarangan memilih istri," ucap Abah Ramli bijak. === Tekad Faraz sudah bulat. Ia tidak mau membatalkan pernikahannya dan membuat malu kedua orang tua yang sangat disayanginya. Tidak, Faraz tidak akan setega itu. Biarlah Faraz yang menderita asalkan kedua orang tuanya bahagia dan tidak mendapat malu karena ulahnya. Biarlah impiannya menikah dengan gadis pujaan hati yang dicintai diam-diam pupus, hancur. Faraz tak bisa membayangkan pernikahannya nanti dengan perempuan yang sama sekali tidak ia cintai. Ia berulang kali bertanya dalam hatinya, bisakah ia menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya? Sungguh, Faraz tidak pernah membayangkannya sedikit pun. Namun, ia sudah meminta petunjuk Allah dalam salat-salatnya. Tok ... tok ... tok Faraz mengetuk pintu rumah di hadapannya. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Terdengar suara anak kecil menjawab dari dalam rumah. "Eh, Om Kasep. Masuk Om, Om mau ngapain ke rumah aku?" tanya Diva polos. "Bibi kamu ada gak?" "Ada, bentar ya Diva panggilin." "Oke, Om tunggu di luar aja ya. Makasih Neng geulis." Diva langsung berlari menuju kamar Lisa sambil berteriak. "Biii! Bibiii! Ada Om Kasep nyariin tuh nunggu di teras." Faraz berdiri di teras rumah Lisa membelakangi pintu. Ia langsung berbalik ketika Lisa bertanya padanya. "Ada apa lo ke sini?" Faraz sedikit tertegun menatap penampilan baru Lisa. Perempuan di hadapannnya ini memakai jilbab, baju lengan panjang dan celana kulot yang membuatnya semakin cantik dan ayu. Faraz dengan cepat beristighfar lalu mengalihkan pandangannya. "Ada yang harus kita bicarakan, tapi jangan di sini. Bisa di halaman depan aja?" Lisa mengangguk lalu mengekori Faraz dari belakang. "Lo mau ngomong apa?" "Nikah sama saya, Lisa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD