Faraz yang sudah tidak tahan melempar guling yang dipegang Lisa dan menindih tubuh Lisa. Lisa langsung memekik ketika tubuhnya berada di bawah kungkungan tubuh Faraz.
“L ... lo ... lo mau ap ... apa?”
Timbul seringaian dari bibir Faraz, “Mau ambil hak saya sebagai suami.”
===
“Ap ... apa?”
“Ini kan malam pertama kita. Jadi sudah sepantasnya kan kamu melayani saya sebagai istri dan saya mengambil hak saya suami,” ucap Faraz menggoda sambil mengelus salah satu pipi Lisa.
Lisa yang diperlakukan seperti itu mendadak pucat pasi. Tubuhnya menegang, bulu rambut di lehernya meremang dan keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di dahinya. Mulutnya yang biasa cerewet mendadak kaku, tak bisa berkata-kata. Faraz menyeringai senang menatap ekspresi ketakutan dari istrinya itu. Faraz semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Lisa dan menghilangkan jarak di antara mereka.
Namun, saat ujung hidung mereka bersentuhan, tiba-tiba Lisa membenturkan dahinya pada dahi Faraz dengan cukup keras sehingga keduanya memekik kesakitan.
“Aduh!” Faraz langsung bangkit dan menjauhkan dirinya dari Lisa. mereka berdua sama-sama mengusap dahinya yang kesakitan.
“Kamu apa-apaan sih, Lisa? Kamu ngapain ngejedotin dahi kamu ke dahi saya?” ucap Faraz kesal dan emosi.
“Ya lo ngapain deket-deket gue! Kan udah gue bilang gue gak mau seranjang sama lo!”
“Heh, ini kamar saya ya! Kalau kamu gak mau seranjang sama saya ya udah sana kamu yang tidur di bawah!” ucap Faraz sambil menunjuk karpet yang ada di bawah.
“Apa? Tidur di bawah?”
“Iya, tidur di bawah.” Faraz memberikan bantal dan selimutnya pada Lisa.
“Kalau kamu gak mau tidur sama saya, tidur di bawah. Jangan sekali-kali berani ke luar dari kamar ini ya! Saya gak mau abah dan ambu curiga.”
“Idih, gak gentle banget lo biarin istrinya tidur di bawah!”
“Ya itu salah kamu sendiri gak mau tidur sama saya. Lagian saya Cuma bercanda tadi. Saya juga gak nafsu ngapa-ngapain kamu!”
Lisa masih diam sambil menatap Faraz tak percaya.
“Udah, selamat tidur di bawah. Saya udah capek ngeladenin tamu dan kelakuan kamu yang aneh.” Faraz langsung membalikan tubuhnya memunggungi Lisa.
“Dasar cowok aneh!” gerutu Lisa. Lisa tak punya pilihan lain. Ia menyusun bantal dan selimutnya di karpet yang ada di samping bawah ranjang. Tak butuh waktu lama baginya untuk terlelap karena ia pun kelelahan menyalami tamu-tamu yang begitu banyak.
Lisa bisa dengan mudahnya terlelap, lain halnya dengan Faraz. Faraz yang berada di atas ranjang sama sekali belum bisa terlelap. Pikirannya masih tertuju pada banyak hal.
Manusia memang tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi esok, satu jam, satu menit bahkan satu detik ke depan. Pernikahan yang ia idamkan berubah total seketika. Padahal ia sudah merencanakan akan melaksanakan salat sunnah dua raka’at dengan dirinya sebagai imam dan Annisa sebagai makmum. Setelah itu Faraz akan meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun Annisa sambil berdoa agar terhidar dari sifat buruknya. Lalu mereka akan melalui malam yang indah dan romantis sebagai pengantin baru.
Sekarang, semua itu musnah tak bersisa. Tidak ada suasana romantis dan khusyuk yang ia rasakan. Lisa membuat semuanya berubah. Tadinya Faraz ingin bersikap baik pada Lisa. Namun sepertinya perempuan itu sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Faraz yang lelah jadi terpancing emosinya. Jadilah mereka belum melaksanakan salat sunnah pengantin, Faraz belum mendoakan Lisa, yang ada mereka malah bertengkar dan tidur terpisah.
Sekitar lima belas menit Faraz mereka ulang kejadian pernikahan ini dalam pikirannya. Kepergian Annisa, lamaran dadakannya pada Lisa hingga ijab qabul hari ini. Faraz mengubah posisinya menjadi telentang. Lalu ia melirik ke arah bawah ranjang tempat Lisa terlelap.
Cepet banget perempuan ini tidur pulas, batin Faraz.
Faraz mengubah posisinya menghadap Lisa. Ia memerhatikan Lisa yang sedang tertidur pulas. Wajahnnya sangat polos, natural dan kalem, sangat berbeda jauh ketika perempuan ini tersadar, pikir Faraz.
Cantik, tapi sayang cerewet dan keras kepala.
Faraz menghela napas panjang. Akhirnya setelah beberapa saat ia memerhatikan wajah istrinya, ia ikut tertidur pulas. Pasangan suami istri itu menghabiskan malam pertama mereka dengan tertidur pulas saling berhadapan tetapi berbeda tempat.
===
Faraz terbangun ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ia mengumpulkan kesadarannya lalu membaca doa bangun tidur di dalam hati. Ia menyibak selimutnya untuk berwudhu dan melaksanakan saat tahajud. Ia melihat Lisa yang masih pulas dalam tidurnya sambil mengeratkan selimut tanda ia kedinginan.
Faraz langsung mengambil selimutnya dan menyelimuti istrinya. Jadilah Lisa memakai selimut dobel. Faraz jadi sedikit menyesal karena menyuruh Lisa tidur di bahwa karena udara di sekitar rumahnya akan sangat dingin jika malam tiba, apalagi dini hari seperti saat ini.
Faraz bermunajat dalam keheningan dan dinginnya udara malam. Ia mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada Allah SWT, Sang Pencipta dan Sang Mahakuasa.
“Ya Allah, jika memang Lisa adalah perempuan yang Kau pilihkan untuk menjadi istriku. Maka hamba mohon, hapuslah perasaan hamba pada Annisa dan lapangkan hati hamba agar bisa menerima Lisa menjadi istri hamba sepenuhnya. Jadikanlah hamba sebagai suami dan imam rumah tangga yang sahlih dan baik. Suami yang bisa melindungi keluarganya dari siksa api neraka dan bisa membawa menuju surga-Mu ya Allah. Aamiin.”
===
Adzan subuh akan berkumandang sepuluh menit lagi. Faraz sudah bersiap akan berangkat ke masjid. Namun, sang istri masih tertidur pulas meringkuk di karpet bawah. Meski merasa sebal dengan perempuan yang berstatus istrinya itu, Faraz tetap memiliki rasa tanggung jawab sebagai suami. Saat ijab qabul kemarin, tanggung jawab Lisa sudah ada padanya. Dunia dan akhirat Lisa sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab Faraz sebagai seorang suami, pemimpin dalam rumah tangga. Jadi, meski tak tega melihat tidur pulsa Lisa, ia tetap membangunkannya untuk melaksanakan salat subuh.
“Hei, Lisa. Bangun, sebentar lagi subuh,” ucap Faraz sambil mengguncang bahu Lisa yang tertutup selimut.
Namun, istrinya itu tidak bergeming. Ia masih lelap dalam tidurnya. Setelah beberapa menit, barulah Lisa mengerjapkan matanya. Ia menatap poloss Faraz yang berjongkok di sampingnya. Lisa membuka matanya, menutup mulutnya yang menguap dan meregangkan otot tubuhnya. Setelah itu ia merubah posisinya menjadi duduk, bersebelahan dengan suaminya.
“Emang udah adzan ya?”
“Belum, sebentar lagi. Saya mau ke mesjid. Kamu salat di rumah aja. Habis saya pulang dari masjid kita perlu bicara.”
Lisa hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikat rambutnya yang sedikit berantakan karena ia gerai saat tidur semalam. Faraz bergegas pergi ke masjid, sedangkan Lisa merapikan bantal dan selimutnya lalu berwudhu untuk salat subuh.
===
Lisa sedang merapikan mukenanya ketika Faraz masuk ke dalam kamar. Faraz segera duduk di tepi ranjang sedangkan Lisa duduk di kursi meja rias yang ada di sebrangnya.
“Ada beberapa hal yang harus kita sepakati,” ucap Faraz membuka pembicaraan.
“Iya, memang ada.”
“Saya tahu pernikahan ini sama sekali tidak berdasarkan cinta. Tapi, pernikahan ini tetap sah di mata agama dan hukum, terutama di hadapan Allah. Saya tidak main-main dengan pernikahan ini. Jadi, status kita sebagai suami dan istri juga nyata adanya. Saya harap kita berdua bisa saling mengenal dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Saya akan berusaha melaksanakan tugas saya sebagai seorang suami dan saya harap kamu juga bisa melaksanakan tugas kamu sebagai seorang istri melayani kebutuhan saya sebagai suami.”
Apa? Melaksanakan tugas sebagai istri? Itu artinya gue harus layanin dia lahir batin kan? Kalo ngelayanin kebutuhan lahir sih oke, tapi kalo kebutuhan batin, itu artinya gue harus tidur sama dia kan? Batin Lisa bertanya-tanya.
Lisa menggelengkan kepalanya tanda menolak. “Gue belum bisa kalo ngelaksanain tugas sebagai istri ngelayanin semua kebutuhan lo. Gak, gue belum siap. Apalagi gue harus tidur sama lo. Plis, kita baru aja kenal, Faraz.”
Faraz menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maksud saya kebutuhan seprti pakaian, makan, minum dan kebutuhan lahir lainnya. Bukan yang itu. Masalah itu juga saya belum siap. Seperti yang kamu bilang tadi, kita baru aja kenal.”
Lisa mendesah lega. “Alhamdulillah, syukur kalo gitu.”
“Gimana kalo kita awali pernikahan kita ini dengan menjadi teman satu sama lain?”
“Teman?”
“Iya, teman. Jujur saya capek kalo harus terus menerus berantem sama kamu tiap hari.”
Lisa menganggukkan kepalanya tanda setuju. “Oke, gue setuju ... “
“Ah ya, dan tolong ubah panggilan lo-gue itu, Lisa. Saya rasa itu kurang pantas dan sopan, apalagi kalau di depan abah dan ambu. Berhubung saya lebih tua dari kamu, panggil Kak, Mas, Aa, Akang atau terserah kamu.”
Lisa membayangkan jika ia memanggil Faraz dengan sebutan Aa.
Aa Faraz, kenapa gue jadi geli sendiri ya dengernya? Batin Lisa.
Namun, ia sedang tidak mau membantah ucapan Faraz karena hal itu memang benar.
“Oh ya, kapan gu- ... ehmm, maksud aku, kapan aku bisa bantuin kamu di perkebunan sebagai imbalan karena aku mau nikah sama kamu?” tanya Lisa.
Lisa memang mengajukan syarat itu pada Faraz. Lisa mau menikah dengan Faraz asal ia diizinkan untuk ikut mengelola perkebunan Faraz dan Faraz mengizinkannya. Bukan bermaksud matre atau ingin menguasai perkebunan keluarga Faraz, Lisa hanya ingin memiliki kesibukan setelah ia resign dari kantornya.
“Nanti. Hmm, insya Allah seminggu lagi biar orang-orang gak curiga.”
“Hmm, oke.”
“Ya sudah, sebaiknya kamu ke dapur, bantu ambu masakin sarapan.”
===
Lisa membantu ambu memasak sarapan di dapur. Lisa sangat senang karena ia bisa merasakan rasanya bahagia memasak bersama seorang ibu. Ambu Lisa juga merasakan hal yang sama. Setelah berpuluh tahun menantikan kehadiran anak perempuan, akhirnya Lisa datang sebagai menantu di keluarga kecilnya. Mereka berdua memasak sambil sesekali membicarakan sesuatu yang mengundang tawa. Suasana dapur jadi ceria karena kehadiran Lisa.
“Oh ya, kamu pasti belum tahu kan makanan kesukaan Faraz?” tanya Ambu.
“Belum, Ambu. Emang makanan kesukaannya apa?”
“Makanan kesukaannya kebanyakan masakan sunda sih, tapi dia paling suka sayur asem, ayam goreng lengkuas sama sambel. Kalau ada itu pasti dia makannya lahap.”
“Terus kalo makanan kue gitu, Faraz sukanya apa Ambu?”
“Dia paling suka sama ongol-ongol sama dadar gulung. Nanti ambu ajarin cara bikinnya ya biar kamu bisa masakin buat Faraz.”
“Iya, Ambu.”
“Penting bagi istri menjaga perut suami. Kalau kamu bisa memanjakan suami lewat perutnya dijamin dia bakalan makin sayang dan cinta, Nak.”
“Iya, Ambu.”
“Ambu sarankan kamu belajar masak ya, Nak. Memang sih, bisa saja kamu memakai jasa asisten rumah tangga. Dulu juga ambu begitu, tetapi itu berubah setelah ambu tahu sepuluh nasihat Rasulullah SAW untuk putrinya Fatimah.”
“Nasihat yang pertama, Ya Fatimah, kepada wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu.”
“Nasihat yang kedua, Ya Fatimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah menjadikan dirinya dengen neraka tujuh buah tabir pemisah.” (10 Nasihat Nabi kepada Putrinya Fatimah Az-Zahra dari Abu Musa Al Assy’ari RA).
“Nah dengan begitu, ambu simpulkan, bagi siapa saja perempuan yang rela dan ikhlas berlelah menyiapkan makanan untuk anak-anaknya, itu akan menghapus kejelekan kita, meningkatkan derajat dan menghindarkan dari neraka.
“Iya, Ambu. Lisa akan belajar masak untuk Faraz.”
“Eh? Faraz? Kamu manggil suami kamu nama aslinya?” ucap Ambu sedikit kaget.
“Eh, oh itu, maksud Lisa, Lisa akan belajar masak buat Aa Faraz. Maaf Ambu, belum biasa.”
Ambu Faraz hanya tertawa melihat tingkah menantu semata wayangnya. “Iya, gak apa. Ambu paham kok. Pasti kalian masih harus beradaptasi satu sama lain.”
===
Sarapan kali ini terasa berbeda bagi Lisa. ia bisa merasakan kehangatan dalam keluarga Faraz dan kehadiran orang tua yang lengkap. Meski Lisa adalah pengganti Annisa, orang tua Faraz menerimanya dengan senang hati dan tangan terbuka. Abah Ramli menyuruh Lisa dan Faraz berlibur ke vila mereka yang ada di Puncak. Awalnya Faraz dan Lisa menolak, tetapi Abah Ramli dan ambu memaksa agar mereka bisa menikmati masa indah sebagai pengantin baru.
Lisa dan Faraz membereskan pakaian mereka ke dalam travel bag berukuran sedang hingga Faraz melihat ponsel Lisa yang berdering dan memunculkan sebuah nomor di layarnya. Faraz memutuskan mengangkat telepon itu. Faraz memberikan ponsel pada Lisa yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Siapa Revan?”