Terseret Masa Lalu

2036 Words
Waktu bergulir dengan sangat cepat, tidak terasa Azzura sudah memasuki tengah semester. Ulangan tengah semester (UTS) sebentar lagi akan dilaksanakan, Bahia dan yang lain sibuk mempersiapkan diri dengan belajar. Azzura tentu saja juga, gadis itu berusaha untuk fokus. Azka sudah meng-handheld semuanya, mengenai pernikahan mereka yang akan di selenggarakan dalam waktu dua bulan lagi. Terkadang Azzura merasa bersalah pada Azka, jika ia tidak fokus dalam mempersiapkan ujiannya, sulit dipungkiri bahwa akan menghadapi pernikahan dalam waktu dekat, jelas menyita banyak ruang fokus di kepala Azzura. Azzura sudah berusaha, tapi terkadang ia masih mencemaskan banyak hal hingga pikirannya bercabang dan tidak fokus. Padahal Azka selalu berusaha untuk tidak membuat Azzura banyak pikiran hingga tidak fokus. “Huft... “ Azzura menyandarkan tubuhnya di kursi taman kampus. Ia pernah membaca sebuah artikel bahwa mengganti suasana baru dapat kembali mengembalikan gairah belajarnya. Azzura mencoba hal ini. Namun ia gagal. Kesalahnya bukan terletak pada alam atau artikel itu sendiri, melainkan pada hati Azzura. “Fokus, fokus Zur... “ Azzura bergumam, kalimat itu ia ulang beberapa kali layaknya mantra. Lalu gadis itu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. “Bissmilah... “ Dua menit, lima menit, seperempat jam, satu jam, semua aman. Azzura mendapatkan kembali fokusnya, namun semua itu kembali buyar saat Lisa, si gadis penyuka batu datang menghampirinya. “Batu, batu apa yang baper ?” Azzura menggeleng. Gadis itu masih berusaha mengingat apa saja hal penting yang ada dalam buku setebal 500 halaman. “Batu aku mencintai mu, oppa, saranghae,” kata Lisa dengan nada suara layaknya gadis-gadis di drama Korea yang suka Bahia tonton. Azzura terkekeh. Setelah proses lamaran waktu itu, Lisa dan Azzura semakin dekat. Di kampus, Lisa sering mendatangi Azzura di kantin, di perpustakaan atau di taman. Lisa juga jadi lebih sering datang ke kosan untuk sekedar main atau menyampaikan sesuatu dari Azka. Sebagai pelantar keduanya. “Lagi belajar ya, Zur ?” tanya Lisa, kembali membuyarkan fokus Azzura. “Iya, senin ini udah mulai ulangan tengah semester. Kamu juga UTS kan?” “Hem. Iya,” jawab Lisa malas. “Makanya aku ke sini. Aku sumpek di kamar, ketemunya buku dan pulpen terus, riwue... kalo otak aku bisa bicara nih pasti dia bakal bilang gini, OMG jangan siksa aku, plis, aku mau hidup tanpa angka-angka yang gak bisa nyelesain masalah mereka sendiri. Aku gak mau nyari si X apalagi beta X.” Azzura terkekeh. “Untungnya nih, otak gak bisa ngomong, makanya dia diam aja. Gak mau kerja. Ngambek mungkin,” sambung Lisa. “Kamu gak capek belajar? “ “Capek sih. Tapi Imam Syaf'i berkata, jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan. ” “Huft ya Allah, mereka memang jodoh. Kayak cermin aja. Prinsipnya sama. Bener-bener pantulan cermin,” Lisa bergumam pelan. Telinga Azzura jelas menangkap suara itu. Meski Lisa mengatakannya dengan frekuensi rendah. Hal ini sukses membuat semburan merah pada wajah Azzura. Pipi Azzura juga jadi menghangat karena malu. “Zur, belajar sastra enak gak sih? “ “Hem. Ada suka dan dukanya juga Lis. Selalu ada hitam dan putih. Bahagia dan sedih. Sulit dan mudah.” “Tuhkan sama lagi,” jawab Lisa, terkejut. “Kalian satu server ya? Kok bisa kalimat kalian kayak copy paste di Google. Sama persis.” “Ha? “ “Rasanya jadi kayak de jevu tahu, Zur,” kata Lisa. “Kalo kalian nikah, terus kalian punya anak, kayaknya anak kalian bakal jadi next generation Mario Teguh deh. Ini mah fiks, tiap hari wejangannya kaya akan bumbu-bumbu bijaksana,” celoteh Lisa, panjang kali lebar. “Kamu ini ada-ada aja sih. Udah bahas tentang anak aja, nikah aja belum,” jawab Azzura dengan wajah semakin bersemu merah. “Kan tinggal enam puluh hari lagi, Zur. Itu bentar lagi Loh.. Ini aja udah tanggal lima.” Dag-dig-dug Mungkin itulah definisi yang tepat untuk melambangkan detak jantung Azzura. Lisa benar-benar membuat pikiran Azzura kembali melalang buana, memikirkan hari spesial itu tiba. “Nih, om Ustadz dan aku kemarin ke swalayan buat beli sesuatu. Terus aku ngerengek minta di beliin cokelat. Terus om Ustadz nyuruh aku buat beli dua, satunya buat Azzura.” Lisa meletakan cokelat di atas buku Azzura. “ Aku berasa anak kalian deh. Om Ustadz gak mau cuman satu anak yang makan cokelat, makanya kamu dibeliin juga.” Lisa mendramatis keadaan. Tangannya menopang dagu, bergaya se-cute mungkin. “Sungguh ibu peri yang baik hati. ” Tawa Azzura pecah saat membayangkan Azka dengan sayap kupu-kupu palsu yang miring di punggungnya lalu sebuah tongkat di tangan kanannya, jangan lupakan hiasan kepala yang melingkar dan selalu mengikuti arah gerak kepala Azka. Dan t*i lalat di pipi kanannya lalu Azka tersenyum lebar seraya berkata, ‘ibu peri sayang kalian.’ Astagfirullah—Azzura mulai ketularan gesreknya Lisa. “Terima kasih. Tolong sampaikan terima kasih ini ke Azka,” kata Azzura, tersipu malu. Hal ini jelas mengundang tawa Lisa. “ Ya Allah, Zur... kalo kamu liat diri kamu di cermin, pasti kamu bakal ketawa kayak aku. Pipi kamu merah banget pas nyebut nama om Azka, kamu juga tersipu malu gitu, padahal om Azka kan gak ada di sini. Kamu kayak anak-anak ABG yang lagi jatuh cinta. Lucu deh...” Azzura semakin malu deh. “Zur, gimana menurut kamu tentang pacaran? “ “Pacaran itu boleh, kalo sudah nikah.” “Apa orang yang pacaran itu artinya tidak terjaga? Maksudnya gak bisa jaga hati gitu. “ Azzura mengangguk. “ Kalo gitu. Kenapa ada orang yang tidak terjaga bisa mendapatkan orang yang terjaga ? Bukannya jodoh itu seperti cerminan diri ?” Azzura terdiam. Sorot matanya seketika menurun. Azzura termenung. Keheningan terjadi. Lisa juga ikut diam menanti jawaban Azzura. “Kenapa, Zur ?”tanya Lisa, memecah hening. Lisa menatap maniak mata Azzura. Sorot mata gadis itu mendadak serius. “Kamu kenapa diam, Zur. Apa karena.... jangan bilang kalo kamu malu karena gak pernah pacaran. Kamu seharusnya bangga, Zur. Kamu tuh terjaga. Orang terjaga untuk orang yang terjaga. Gitukan? “ Lisa tertawa renyah. “Mungkin karena itu kalian berjodoh, sama-sama belum pernah pacaran, sama-sama saling menjaga,” sambung Lisa lagi. Satu statement dari Lisa membuat hati Azzura rasanya mencolos dari tempatnya. “Apa jika aku manusia buruk di masa lalu, itu artinya aku tidak pantas mendapatkan orang baik di masa depan? “lirih Azzura. “Ha ? Maksud kamu apa Zur ? Aku gak ngerti. Kenapa kamu manusia buruk di masa lalu? Maksudnya apa? Gak ngerti nih, kebanyakan makan micin tadi pagi, makanya gak koneksi.” Lisa tersenyum lebar. “Manusia tidak dilihat bukan dari masa lalunya, namun dari masa sekarangnya. Ia mungkin manusia buruk di masa lalu, tapi hal itu tidak menjamin ia akan menjadi tetap buruk di masa depan. Roda kehidupan tetap berjalan, baik, buruk adalah pilihan. Setiap orang berhak memilih jalan itu. Hingga tidak pantas rasanya jika menilai orang dari masa lalunya.” Sungguh ini bukan masalah ringan bagi Azzura. Namun kini Azzura mulai bisa menerimanya. Perkataan Azka mengenai masa lalu waktu itu, nampaknya menjadi kekuatan terbesar Azzura untuk mulai berdamai dengan masa lalunya. Keheningan kembali terjadi. “ASSALAMUALIKUM..,” ucap Bahia dengan suara kencang, tepat di telingaku keduanya. Lisa kaget dan refleks langsung menjawab ‘waalaikumsalam'. Setelah sadar Azzura dan Lisa, kompak langsung menoleh ke belakangkan dan menemui pelaku yang membuat jantung mereka berdetak dengan kencang, karena kaget. Bahia berdiri dengan sembari tersenyumnya lebar. Senyum kuda orang sering menyebutnya. Gadis itu menenteng dua buku tebal dalam pelukannya, dan langsung bergabung duduk di tengah-tengah Azzura dan Lisa. “Kalian lagi bahas apa sih tadi ? Aku panggil-panggil nggak jawab, makanya tadi aku pake kekuatan suara super,” kata Bahia. “Sumpir suara kamu lebih menggelegar dari TOA, sampai-sampai bakat lata aku kembali datang.” Bahia tertawa, pelan. Entah itu pujian atau hinaan, jika itu Lisa yang mengatakan itu terdengar sangat lucu. “Bawa-bawa buku, lagi belajar ?” tanya Lisa. “Gak. Tadi rencananya mau kembaliin buku ke perpustakaan. Tapi gak jadi.” “Kenapa?” tanya Azzura. “Aku lapar. Mau ke kantin, tapi gak ada teman. Ke kantin yuk..,” ajak Bahia. “Ayo... “ jawab Lisa semangat. “Hem, aku lagi puasa,” sahut Azzura. “Oh gitu.” Lisa manggut-manggut. “Ya udah aku sama Bahia ke kantin dulu ya, kamu jangan ke mana-mana entar kami balik lagi ke sini. Oke.” “Aku titip buku ini juga ya, Zur. Gak enak ke kantin bawa-bawa buku.” Bahia menyodorkan dua buku yang sejak tadi dipeluknya. “Iya... “ Azzura meletakan buku Bahia di sebelahnya. Lisa langsung menggandeng lengan Bahia, agar keduanya berjalan beriringan. Azzura melihat sejenak punggung kedua sahabatnya yang mulai menjauh, tidak ingin berlama-lama membuang waktu, Azzura kembali meraih buku yang beberapa menit tadi sempat ia tutup. Begitu buku terbuka, mata Azzura dengan lincah langsung membaca tiap kata yang tertera di dalam buku itu, Azzura juga mengeluarkan pensil kecil untuk mengarisi bawahi apa-apa saja yang penting, untuk diingat. Membaca banyak kata pada buku dengan font kecil, ditambah lagi beberapa kata yang sulit dimengerti secara gamblang, sehingga membutuhkan kontribusi otak di dalamnya, sukses menguras kinerja otak dan mata Azzura. Tidak halnya ini membuat kepala Azzura berdenyut pusing dan matanya terasa kering. Salah Azzura memang, ia seharusnya tidak memporsirkan diri sedemikian rupa, hanya saja Azzura ingin mengejar ketertinggalannya sebagai bentuk penyesalan atas ketidak fokusannya, beberapa minggu belakang ini. Tangan Azzura, sesekali memijat matanya yang terasa lelah karena kelamaan membaca, namun hal itu tidak menghentikan Azzura. Azzura tetap memaksakan diri, membaca kata demi kata. “Jangan terlalu dipaksa. Belajar itu memang kewajiban, tapi menjaga kesehatan juga kewajiban. Itu titipan dari Allah SWT. “ Azzura menoleh dan baru menyadari ternyata kursi lain di taman sudah terisi. Kursi itu terletak di sebelah kursi Azzura dengan jarak satu meter. Pihak kampus memang banyak menyediakan kursi-kursi kayu di taman, untuk para mahasiswa bercengkrama atau belajar seperti Azzura. Keadaan taman yang rindang memang sangat enak untuk belajar. Dan sama halnya seperti Azzura, Aariz juga membawa buku di tangannya. Namun sekarang ia tidak tengah membaca, ia tengah menghirup udara segara taman sembari menutup mata. “ Kamu dari tadi di sana? “tanya Azzura. “Hem, tidak juga. Seperempat jam yang lalu,” jawab Aariz seperti biasa tanpa menoleh. “Hem...belajar juga? “ “Mungkin.” “Mungkin? “ Azzura membeo. “Belajar dan Bahagia juga penting.” Aariz menarik nafas dalam, lalu matanya perlahan terbuka. Tatapan matanya langsung tertuju pada jam tangannya. “Jam delapan,” gumam Aariz. Ia lantas bangkit. Membiarkan kebingungan Azzura tidak terjawabkan. Azzura sudah terbiasa dengan sikap Aariz, ia tidak ingin ambil pusing dan mulai menganggap hal itu biasa saja. “Mungkin catatanku bisa membantu sedikit,” kata Aariz. Azzura refleks menatap punggung Aariz yang sudah berjalan menjauh. Aariz berjalan menuju koridor fakultas teknik. Entah apa yang membawa Aariz ke sana. Azzura melihat kursi bekas Aariz duduk, di sana ada buku. Azzura segera menghampiri kursi itu. Dan mengambil buku yang Aariz tinggalkan. “Syukron,” gumam Azzura. Azzura baru hendak melangkah pergi, namun matanya menangkap sebuah foto yang terjatuh di rumput. Azzura segera mengambilnya. Di foto itu terlihat dua orang anak kecil yang tersenyum, tangan keduanya bertautan di atas bahu. Mereka tersenyum lebar ke arah kamera. “Aariz,” Azzura membaca tulisan yang tertera di belakang foto itu. Tersadar, Azzura segera berlari mengejar langkah Aariz. Itu mungkin foto berharga milik Aariz yang terjatuh. Azzura berlari ke koridor fakultas, mencari Aariz yang sekarang sudah tidak tampak di sana. Azzura mencari dan tidak menemukannya. Azzura memutuskan untuk kembali ke taman, mungkin saja Aariz akan kembali ke taman lagi untuk mencari fotonya. Baru saja Azzura hendak berbalik, seseorang tiba-tiba meraih pundak Azzura. Azzura terkejut bukan main, ia hampir saja berteriak, namun suaranya hilang begitu melihat wajah tersangka. Detik itu, rasanya jiwa Azzura benar-benar melayang pada masa lalu. “Hai, apa kamu mengenaliku? Senang rasanya kita bertemu lagi di sini. Coba kita liat, sekarang kamu jadi mahasiswi di sini. Wow. Dan aku dosen di sini. Wow, bukannya ini takdir baik? “ Pria itu tersenyum miring. “Tapi, tunggu dulu ....ckckckck.. Kamu jauh berbeda sekarang... “ Pria itu lalu tertawa pelan. “Sangat tertutup, siapa yang menyangka bahwa kamu dulu seorang.... “ Azzura ketakutan, ia hendak pergi. Namun pria itu malah menahan lengan Azzura. “Lep—“ “Ststst... jangan terlalu sering membuka mulut Azzura. Atau masa lalu juga akan terbuka.” Azzura memberontak tanpa suara. “Argh..” Pria itu meringgis kesakitan. Tangan Azzura terlepas. Aariz berada di sana, ia memelintir dengan tenang tangan pria itu. Pria itu meringgis kesakitan, beberapa mahasiswa yang lewat melemparkan tatapan aneh kepada mereka. “Lepaskan dia, Riz. Dia dosen di sini. Kamu bisa dapat masalah jika melakukan ini,” kata Azzura ketakutan. Aariz setuju tanpa banyak bertanya. “Berhati-hari lah, Zur,” kata Aariz, hendak pergi. Pria itu tertawa pelan, suara tawanya menghentikan langkah Aariz. “Memangnya apa lagi yang penting untuk di jaga? “ Pria itu tersenyum miring ke arah Azzura. “Kamu Azzura kan? Kita pernah bertemu waktu itu. Apa kamu lupa dengan saya? “ Azzura terdiam. Tubuhnya gemetar. Ia semakin terseret dalam ketakutan. “Ckckckc... sepertinya tidak mungkin kamu lupa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD