Dini hati

1814 Words
“Gimana perkembangannya, Shad?” “Perkembangan apa Gif ?” Delshad balik bertanya. Sejak tadi matanya fokus menekuri laptop, sesekali ia mulai menoleh pada Giffari. Mungkin ia berusaha menghormati keberadaan Giffari di sana, meski ia juga tidak bisa sepenuhnya menghiraukan keberadaan Giffari di sana. Ia harus cepat. Tugas deadline nya tinggal satu jam lagi. “Hem, itu tentang....” Giffari mengantung kalimatnya, berharap mendapat respons kekepoan dari Delshad. Tapi Delshad tidak sepeka itu, jarinya malah semakin lincah menari di atas keyboard. “Emang deadline-nya kapan sih? Biar ana tebak, pasti dua minggu lagi, tiga hari lagi atau dua hari lagi, iya kan?” kata Giffari percaya diri. Delshad menggeleng. “ Satu jam LAGI.” “Astagfirullah, masyaallah,” Giffari mengelus dadanya, ia nampak sangat terkejut. Giffari jelas terkejut, satahunya Delshad adalah manusia yang anti ketidakteraturan, tidak sesuai rencana, dan mengandalkan keberuntungan seperti ini. “Tumben ente kayak gini, biasanya ente buat tugas H-15 ? Ente sehat, Shad ? “ Delshad menghela nafas, lalu semakin dalam menekuri layar laptopnya. Membiarkan pertanyaan Giffari menggantung. Keheningan pun terjadi. “SELESAI....” Delshad kembali menghela nafas, kali ini terdengar lebih ringgan. Tangannya yang sejak tadi menari di atas keyboard, berhenti dengan lemas, di atas meja. Delshad lalu menyandarkan punggungnya di kursi kayu itu perpustakaan. “Kamu tahu, Gif. Semua ini karena si remaja gadis itu,” kata Delshad. Nada suaranya terdengar sumbang, seperti tengah mencoba menahan rasa kesal. Giffari menoleh. “Remaja gadis? Remaja yang waktu itu kamu ceritain beli goreng pakai motor mahasiswi itu gak izin sama kakaknya ? Yang kakaknya kamu suk—“ Giffari menghentikan kalimatnya. Wajah Delshad terlihat tidak suka dengan topik yang ia bahas. “Ini semua ulah dia. Astagfirullah, ana bawaannya jadi kesel gini.” Delshad memejamkan matanya. “Emang dia ngapain ente sih? “ “Karena dia bilang, tugas ana tuh ngebosenin. Argumen yang ana buat gak bagus dan alasan paling utama karena dia bosen makanya dia hapus tugas ana biar seru katanya.” Giffari hampir saja tertawa, entah kenapa alasan terakhir membuat urat geli Giffari bereaksi. Receh memang, tapi ya, entah kenapa. Beruntung Giffari segera menguasi dirinya. “Untung aja ana masih simpen draft dari tugasnya. Makanya masih bisa ke kejar buat baru.” “Masyaallah tuh anak, antum kasih tahu aja ke umi nya biar bisa di nasehatain,” saran Giffari. Delshad menoleh. Hatinya tiba-tiba mendadak tidak enak. “Dia yatim , Giff. ibunya meninggal 10 tahun yang lalu karena insiden pembunuhan dan ayahnya, entahlah sampai detik ini belum ada kabarnya.” “Ya Allah... “ Giffari tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya membulat dua kali lebih besar. “Hem, ana rasa, ana yang terlalu berlebihan. Gak seharusnya ana semarah ini.” Suara Delshad menurun. “Akhir-akhir ini, ana jadi sulit nguasain diri. Ana meledak-ledak kayak goni terus. Ana juga sampai ngebentak dia. Seharusnya ana bisa bersikap lebih dewasa. Gimana pun dia cuman remaja yang masih labil.” Mata Delshad menerawang jauh, mengingat kejadian dua jam yang lalu di basment aktivis. Kelakuan gadis itu memang salah, namun sikap Delshad juga tidak bisa dibenarkan, terutama dia anak yatim yang seharusnya diperlakukan dengan baik. Bukannya orang yang menyayangi anak yatim kedudukannya sangat dekat dengan nabi Muhammad SAW, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Giffari menepuk pelan pundak Delshad. “ La tahzan,” kata Giffari sembari tersenyum. Delshad mencoba mengulas senyumnya. “ Makasih ya, Giff.” “Iya, santai aja. Eh, besok ada pengajian di masjid sebelah. Mau ikut gak? “ “Insyallah.” “Oke sip. Nanti ana ajak Aariz juga.” “Oh iya, gimana keadaan Aariz ? Ana tadi gak sempat liat kondisi dia, udah baikan? “Alhamdulillah, dia udah agak mendingan. Cuman hari ini dia masih gak kuliah.” “Alhamdulillah kalo gitu. Oh iya, tadi kamu nanya perkembangan apa? “ “Oh iya, ana hampir lupa. Ana tadi mau nanya perkembangan antum, udah punya keputusan? Lanjut atau antum udah bisa ngatur waktu antum ?” “Hem. Kayaknya ana tetap lanjut Gif. Dua-duanya, insyallah di jalan yang baik. Keduanya gak bisa menjadi kambing hitam satu sama lain. Insyallah, ana bakal berusaha untuk tetap seimbang.” “Akhirat di hati, dunia di genggaman,” kata keduanya bersamaan. Itu tujuan keduanya. Keduanya lalu tertawa bersama. “Aamiin...” “Syukron ya Giff. Ente udah mau dengar keluh kesah ana.” “Syukron too, Shad. Ini gunanya sahabat. Kalo kata Lucius Annaeus Seneca. One of the most beautiful qualities of true friendship is to understand and to be understood.” Delshad terkekeh. Sungguh logat Timur Tengah yang Giffari adopsi sangat kontras dengan kata bahasa Inggris itu. “Dengar antum ngomong berasa kayak makan roti selai kurma, Giff .” “Ente bisa aja... ini kategori pujian atau hinaan nih. Ana juga heran, kenapa ya logat ana nyangkut banget.“ “Gak papa lagi, biar specially.” Delshad tertawa. “Ana ikut organisasi himpunan mahasiswa Inggris. Alhamdulilah, sedikit-dikit ana bisa memperhalus bahasa Inggris ana.” “Wah bagus tuh Giff. Entar antum bisa tiga bahasa doang. Sangat bagus, very good, jayydin.” “Bisa aja antuk. Eh, antum mau ikut juga gak? “ “Hem. Kayaknya gak bisa deh, Giff. Takut gak keteteran. Terlalu banyak organisasi.” “Oh, iya juga sih. Antum udah ikut aktivis. Hem, kayaknya ana mau ngajak Aariz aja deh. Dia juga belum ikut organisasi apa pun.” “Belum satu pun ? Bukannya waktu itu seingat ana, Aariz daftar himpunan mahasiswa masjid? “ “Iya, dia emang sempat gabung beberapa hari. Tapi katanya dia ternyata gak bisa bagi waktu, makanya dia keluar. Di organisasi ini gak terlalu banyak makan waktu, cuman beberapa kali pertemuan dalam seminggu. “ “Oh gitu. Ide bagus tuh ajak Aariz biar antum ada temennya alright? “ “Ya, of course, akhi.” “Berasa mahasiswa internasional ya, bahasanya campur-campur. Gado-gado mah lewat.” “Lewat mana dah? Ana jadi pengen makan gado-gado. Sehabis antum kuliah mampir ke kedai gado-gado, yuk.” “Hem insyallah. Kamu ada mata kuliah juga sekarang ?” “Gak sih. Ana cuman mau baca buku di perpus aja. Udah lama ana gak baca.” “Oke. Berarti ketemuan di perpus aja ya ?” “Iya.” “Kalo gitu, ana mau ke kelas, ya Giff. Bentar lagi kelas di mulai.” Delshad membereskan semua barangnya, lalu bangkit sembari menenteng tas punggung berukuran sedang di punggung. “Delshad. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” Giffari yang menyahut duluan, karena Delshad malah diam membiru. Delshad terkejut lantaran gadis berjilbab lebar dan gamis panjang berwarna peach berada di depannya, tepatnya di sebelah rak buku. Setelah sadar dari terkejutannya, Delshad baru bersuara menjawab salam gadis itu, namun suaranya nyaris tertelan sendiri. “Hem. Mau ke kelas? “tanya gadis itu. Delshad yang sejak tadi mengheningkan cipta refleks mengangkat kepalanya karena pertanyaan yang Affifah—gadis itu lontarkan. Entah kenapa jantung Delshad berdegup dengan sangat cepat. Salah satu alasan kenapa Delshad selalu menghindari Affifah. Delshad ingin jantung tetap sehat, ia tidak ingin menderita penyakit jantung sejak dini. Ia masih muda, dan masih ingin tetap kuliah. “Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga, Shad. Dari tadi kami carian kamu.” Azzura muncul, memecah hening. Azzura muncul dari balik rak buku. Gadis itu nampak baru saja mengembalikan beberapa buku. “Ada Giffari juga? Lagi baca Giff? “ sapa Azzura Giffari tersenyum lalu berjalan mendekati Delshad. Affifah melempar senyum tipis sekilas pada Giffari sebagai bentuk keramahan, lalu kembali menunduk. “Lagi ada masalah Zur ?”tanya Giffari, peduli. Azzura menggeleng. “Aku sama Affifah tadi gak sengaja ketemu di depan fakultas. Dia nanyai Delshad. Aku pikir kalian ada di musholah fakultas makanya aku anterin Afiffah. Gak tahunya kalian ada di sini.” “Oh gitu.” Giffari menoleh pada Delshad yang sejak tadi benar-benar mematung. Giffari baru ingat mengenai gadis bernama ‘Afiffah'. Sepertinya Delshad benar-benar menaruh hati pada gadis itu. Ia terlihat grogi sekali. “Hem. Ada apa cari saya? “ Akhirnya Delshad bersuara. Affifah terlihat ragu mengatakan kalimatnya. Delshad menunggu dalam diam. Sesekali ia melirik jam tangannya, tinggal beberapa menit lagi, jam kuliah di mulai. “Kalo kamu sekarang lagi buru-buru, gak papa kok. Mungkin lain kali aja.” “Hem.” Delshad jadi bingung. “Kakak, kakak Affifah.... “ teriakan itu mengundang semua mata tertuju pada gadis remaja memakai seragam abu-abu ber-rok panjang dan jilbab putih segi empat serta terlihat di punggungnya tas berukuran sedang berwarna pink. Bukan hanya Affifah yang menoleh melainkan, semua mata di perpus menyoroti gadis remaja itu, seolah berkata dalam diam, ‘harap tenang’. Slogan paling kramat di perpustakaan. Jika ada yang melanggar maka harus siap-siap di keluarkan dari pepus baik secara terhormat atau langsung di usir oleh satpam. “Oops. Maaf.... “ kata gadis itu, tidak terdengar seperti penyesalan. Namanya Arumi. Adik Affifah dan hater nomor satu Delshad. Gadis remaja yang sekarang duduk di tingkat akhir SMA ini bahkan tidak segan-segan mengkritik Delsahad secara langsung. Bahkan pernah saat Delshad sedang menyampaikan pidato di atas mimbar. “Huft... “ refleks Delshad menghela nafas panjang, jika mengingat semua itu. Diam-diam Afifah memperhatikan hal itu. Rasa bersalahnya pada Delshad semakin menumpuk. Lagi-lagi ini karena Aarum —adiknya. “Kak, Aarum tunggu di luar ya... “ kata Aarum dengan isyarat bibir. Lalu Aarum menghilang dari ambang pintu perpustakaan. Aarum tidak suka membaca, jelas baginya perpus hal membosankan, ia lebih baik menunggu di luar. “Maaf. Karena kesalahan Aarum. Kamu jadi harus mengerjakan tugas kamu lagi.” Setelah mengumpulkan keberaniannya, Affifah akhirnya berhasil mengatakan tujuannya mencari Delshad. “Tidak masalah kok. Saya sudah membuatnya lagi. “ “Oh, ya Allah... syukurlah... “ Affifah menghela nafas lega. Lalu gadis itu menggandeng tangan Azzura. “Terima kasih ya Zur, udha bantuin aku.” “Kalo gitu, saya pamit ya, Giff, Shad,” pamit Affifah, lalu keduanya menghilang dari pandangan. Hati Delshad sedikit kecewa. Tapi sudahlah... itu tidak terlalu penting. Urusan hati terkadang seaneh ini. “Giff, ana langsung pergi ke kelas ya, Assalamualaikum.” “Iya, Waalaikumsalam.” Delshad berjalan cepat menuju kelas. Lima menit lagi waktu yang tersisa. “STOOP! “ “Aarumi. Ada apa lagi sih? Saya harus ke kelas sekarang. “ “Kalo kata Arrum stop, ya stop, gitu aja susah sih !” “Astagfirullah, nih anak... terus kenapa saya harus stop ?” “Hem. Jangan panggil saya anak kecil paman.” “Paman? “ Apa dia setua itu hingga di panggil paman? “Idiih baper banget sih. Itu quote kartun. Ketahuan nih, gak pernah kecil ya kan, iyakan? “ “Astagfirullah... “ Delshad mengelus-ngelus dadamya. Mencoba bertahan untuk tidak marah. “Kenapa shock ya liat kecantikan saya? Saya tahu, tapi ingat ya, jaga mata, gak boleh liatin saya. Itu dosa tahu!” “Terserah kamu aja deh. Saya mau ke kelas sekarang.” “Et, gak bisa. “Aarum membentangkan tangannya, lebar. Menutup semua akses jalan Delshad. “Terus kamu maunya apa sih ? “ Akhirnya Delshad kembali mengajukan pertanyaan ini. Delshad sudah siap dengan resikonya. Aarumi pasti akan meminta hal aneh, sama seperti tadi ia menghapus file tugasnya. Arrumi tersenyum lebar. Senyum yang mengerikan bagi Delshad. “Saya cuman mau kasih ini. “ Arrumi menyodorkan sebatang cokelat. Persekian detik Delshad tidak percaya, ia mengerjap-ngerjap mata menatap cokelat itu. Lalu setengah sadar, ia menerima pemberian Aarumi sembari terus berpikir membuang pikiran buruk mengira ini jebakan atau prank Aarumi. Tidak ada.... Delshad aman. “Oke, terima kasih Aarumi.” “Ha? Kamu tahu nama saya juga? Saya pikir kamu cuman tahu nama Kakak saya ?” Delshad tersentak. Apa yang sedang Arrumi katakan? “Masak bodoh deh, yang penting saya udah minta maaf dan kasih cokelat. Berarti kasus ini selesai, “ kata Aarumi. “Sudah saya duga, pasti kamu ngelakuin ini bukan karena tulus dari hati.” “Emang mesti banget ya pake hati? Entar kalo saya baper Bung mau tanggung jawab? “ “Ha? “ “Jangan lupa tinggalkan saya satu potong cokelat ya, Bung... setidaknya saya bisa ngerasin uang saku saya satu bulan. Cokelat itu mahal loh, Bung. “ Teriak Aarumi yang sekarang berjalan menuju taman. Delshad menggeleng, geli. “Dasar teeniger...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD