PSK

2192 Words
Azzura berjalan gontai kembali ke kosan, melupakan janjinya pada Bahia dan Lisa, untuk menunggu keduanya di taman kampus. Pikiran Azzura kacau, ia tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Ia seperti seonggok tubuh yang berjalan tanpa ruh dan tanpa semangat. Semua pikiran Azzura berterbangan entah kemana, ke masa lalu, masa depan atau masa kini. Semua nampak bagai kaset rusak yang menyeret Azzura dalam luka terdalam. Azzura seperti berada di ambang pintu kebingungan, setelah berhasil menepis semua keraguan, Azzura baru saja hendak melangkah ke masa depan, namun kembali seseorang dari masa lalu memaksa Azzura kembali menegok masa kelam itu. Membuat Azzura sekali lagi, lagi dan lagi merasa tidak pantas untuk masa depan. Azzura ingin menangis, namun air matanya bahkan enggan untuk keluar, semua mengumpul di dadanya, terasa sesak dan sakit. Azzura ingin menangisi segalanya. Air matanya sendiri terlalu malas untuk keluar, mereka bosan. Bosan dengan permasalahan Azzura yang begitu-begitu saja. Dan selalu terus mendesak mereka meninggalkan tempat ternyaman—penampung air mata. Barangkali dengan tidak keluar, mereka ingin menghukum Azzura. Agar Azzura ingat dan tidak menjadi lemah dan selalu menangisi hal yang sama. Berkali-kali dan terus menerus. Salahkan jika Azzura menangisi semua ke tidak berdayaannya ? Ia pikir, semua sudah membaik, berdamai dengan diri sendiri, merupakan langkah raksasa yang ia pikir menuntaskan segalanya. Namun ia salah. Itu bukan langkah raksasa, melainkan hanya langkah awal menuju dunia rekayasa. Azzura kembali mendapatkan rintangan yang membuat langkahnya goyang, membuat ia sekali lagi, menjadi ragu. Azzura bak pelari ilegal yang mengharapkan garis finish mulus untuk diraih. Saat garis itu mulai nampak di depan mata, seorang menyadari bahwa Azzura pelari ilegal dan mendepaknya ke sisi tepi jalan. Menyingkirnya. Sampai kapan semua ini? Haruskan Azzura terus seperti ini? Kini ia ingin menjadi pelari ilegal, yang berlari dengan nomor punggung, ia tidak masalah bukan menjadi pemenang, ia hanya ingin tidak tergelincir lagi ke tepi jalan. Namun sekali lagi waktu tidak pernah menunggunya untuk siap, dan waktu juga tidak memberi Azzura cara untuk siap. Ia harus bisa mengatasi semua ini. Sendiri. Lagi. Azzura hanya sendiri. Azzura tahu ada Allah yang lebih dekat dari urat nadinya. Allah selalu membantu hambanya, dan Asyura yakin itu. Tapis sekarang Azzura bingung. Mesti dari mana ia mengangkat tangan dan berdoa meminta pertolongan. Semua terasa sulit bagi Azzura, bahkan untuk sekedar menguraikannya menjadi cerita. Lidahnya keluh untuk menceritakan kisah berantakan ini. “La tahzan... Bersabarlah dengan sabar yang baik.” “Zur... “ Langkah Azzura terhenti, namun hal itu tidak serta merta membuat Azzura merespon perkataan Aariz. Gadis itu memang berhenti berjalan. Ia hanya merasa ingin berhenti. Tidak lebih. Setelah itu, Azzura kembali berjalan, begitu saja. Tidak menoleh atau apa pun. Aariz tertegun. Membiarkan Azzura pergi begitu saja. Aariz tidak akan mengikuti Azzura. Bukan karena ia tidak peduli atau benci, namun jauh dari itu semua Aariz punya prinsip. Dan prinsipnya melarang hal itu. Aariz berbalik. Keduanya berjalan saling membelakangi. Aariz tetap pada jalannya dan Azzura dengan jalannya. Jalan yang Azzura harus lewati. Ia harus menerima kenyataan bahwa orang dari masa lalunya itu kembali hadir. Membawa dan menyimpan semua rahasia kelam Azzura. Aib Azzura. Azzura jelas ingat siapa pria yang kini sudah menjadi dosen di fakutlas teknik itu. Ia salah satu bagian dari masa kelam itu. Bagaimana Azzura bisa lupa, senyum itu, tatapan itu. Ya Allah.... Azzura benci semua itu. Ingatan itu begitu menjijikkan. Azzura jijik pada dirinya sendiri ! Aariz kembali ke taman, ia mencari sesuatu yang terjatuh. Sebuah foto. Dan foto itu sangat berharga bagi Aariz. Ia harus segera menemukannya. “Jatuh di mana foto itu... “Aariz berdecak kesal. Bagaimana bisa, ia seceroboh ini. Sesuatu yang berharga seharusnya ia simpan bukan di letakan di tempat yang bahkan tidak bisa menjaga foto itu. Aariz menyesal membawa foto itu ke kampus. Foto itu memang selamanya akan selalu menjadi kenangan. Dan kini foto itu menghilang. Kenangan itu benar-benar akan hilang? “Ck! “ Aariz menghembus nafas kasar. Ia benar-benar ceroboh. “Aariz. Kamu dari tadi di sini ? Lihat Azzura gak?” tanya Bahia. Di sebelah Bahia ada Lisa yang tersenyum ramah pada Aariz. Aariz tidak menjawab. Ia masih sibuk mencari foto itu. “Cari sesuatu ya? “ tanya Lisa. “Iya.” Aariz mengangguk. “Mau di bantu? “ Lisa menawarkan diri. “Tidak perlu. Sepertinya bukan terjatuh di sini.” “Hem. Memang apa yang kamu cari ?” tanya Lisa lagi. Aariz terdiam sejenak. “Apa sekarang sedang ujian? Apa ini pertanyaan wajib? “ “Apa sih, Riz. Lisa kan cuman tanya,” omel Bahia. Aariz terkadang suka dalam mode dingin. Pada siapa saja dia tidak pandang bulu. Bahkan pada Bahia sekalipun, namun Bahia sudah tahu hal itu, jadi dia tidak akan ambil hati mengenai hal ini. “Hahhahahaha....” Seperti biasa tingkat kecerdasan Lisa di atas rata-rata. Perkataan Aariz tidak membuatnya tersinggung atau marah, justru itu terdengar lucu di telinga Lisa. “Ternyata selera humor kamu bagus juga, Riz,” kata Lisa di sela tawanya. Aariz menghela nafas panjang. “Hem. Kalian tadi cari Azzura? “ Bahia mengangguk. “Kamu liat dia di sini kan tadi? “ “Hem.” Aariz mengangguk. “Sepertinya dia pulang, tidak enak badan mungkin.” “Gadis flower sakit? “ Lisa terkejut. “Perasaan tadi dia baik-baik aja,” gumam Lisa. “Bahia, sebaiknya jaga Azzura. Dia butuh seseorang di sampingnya,” kata Aariz, pelan. Bahia hanya mengangguk saja. “Eh, Aariz. Aku dengar kamu dulu anak fakultas teknik kan, terus kamu langsung pindah ke fakultas sastra. Emang kenapa? “ tanya Lisa. Aariz kembali terdiam. “Aku dengar karena... “ Lisa menoleh pada Bahia. Bahia binggung di tatap sedemikian rupa oleh Lisa. “Bahia.” “Eh, kok aku Lis,” tepis Bahia. “Memang iya kan? Aku dengar kalian disebut-sebut sebagai couple ter-uwu di fakultas sastra. Banyak para ukhti dan akhi yang patah hati loh...” “Couple ? Astagfirullah.” Bahia tidak habis pikir. Aariz sudah terbiasa dengan topik ini. Terlebih lagi semua orang selalu salah paham mengenai ia dan Bahia. Aariz mungkin sudah terbiasa, namun ia tahu Bahia masih belum terbiasa dengan topik ini. Aariz harus pergi untuk menyudahi ketidaknyamanan ini. *** “Tidak! Tidak, jangan..... “ Azzura bergerak gelisah dalam tidurnya, ke kanan-ke kiri. Ia jelas sedang bermimpi buruk. Batasnya sangat berantakan, keringat dingin memenuhi wajahnya. “TIDAK!! “ Azzura tersadar, dengan nafas memburu. Bertepatan dengan itu pintu kamar Azzura terbuka. Terlihat Bahia di ambang pintu. “Azzura, kamu baik-baik ajakan? Atau kamu sakit? “ tanya Bahia cemas. Azzura tersadar, ia segera meraih gelas yang ia letakan di atas meja belajar mininya, sebelum tertidur tadi. “Kata Aariz kamu sakit.” Bahia sudah berada di sebelah Azzura. “Kamu kelihatan cemas...ada sesuatu? “tanya Bahia. Azzura memilih diam. Bahia mengerti hal itu, bahwa Azzura tidak ingin membahas sesuatu sekarang. “Mau aku buatkan teh? “ “Tidak perlu, Iah... Aku tidak ingin merepot—“ “Aku gak repot sama sekali. Kalian aku juga pengen minum teh, biar sekalian aku yang buatin,” potong Bahia cepat. “Oke.” Azzura mengangguk. “Terima kasih.” “Yap, kalo gitu aku ke dapur dulu ya....” Bahia lalu menghilang dari pandangan Azzura. Azzura menyenderkan tubuhnya di dinding kamar. Ia teringat mimpi tadi. Itu bukanlah mimpi melainkan ingatan masa lalu yang bahkan datang ke mimpi Azzura. Tidak meninggalkannya barang sejenak saja. Bahia hendak membuat teh di dapur rumah, namun ternyata gas di sana kosong. Bahia lalu beralih ke dapur umum. Ia memasak air, lalu menyiapkan di gelas yang ia tambahkan gula dan kantong teh di dalamnya. “Lagi buat teh? “ tanya Aariz, pria itu membawa gelas di tangannya. “Iya.” “Dua? “ “Iya, buat Azzura juga.” Aariz tidak merespon jawaban Bahia. Ia sibuk menuangkan air dingin dari dalam kulkas ke gelasnya. “Keadaannya sudah membaik? “ “Ha? Keadaan Azzura? Dia tidak terlihat sakit. Hanya saja aku merasa Azzura terlihat sangat cemas.” “Cemas? “ “Iya. Kamu tahu kenapa? “ Aariz menggeleng. Namun kepalanya malah memutar peristiwa tadi pagi di koridor kampus Fakultas teknik. “Hem. Kalo gitu aku duluan ya.” Bahia lalu membawa baki di tangannya. “Bahia. Tolong jaga kesehatan mu,” kata Aariz. Bahia mengangguk. “Dan tolong bantu Azzura melewati ini juga. “ “Maksud kamu? “ Bahia mengurungkan niatnya untuk melangkah. Aariz bingung. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. “Di kampus ada orang jahat yang menganggunnya. Mungkin karena itu dia cemas. Sebaiknya, jangan tinggalkan dia sendirian, apalagi di kampus. “ “Oh jadi karena itu... Ya Allah, pantas Azzura cemas.” Bahia menerawang jauh.“Bahkan ia sampai ketakutan dalam mimpinya,” gumam Bahia. “Apa orang itu begitu bahaya? “tanya Bahia lagi. “Mungkin.” “Kalo gitu, aku bakal jagain Azzura.” Dan benar saja, Bahia terus mengikuti Azzura ke mana pun ia berada. Selama satu minggu lebih, selama ulangan tengah semester berlangsung. Kebetulan saat UTS, Semua jadwal Azzura dan Bahia sama. Azzura merasa aman dengan keberadaan Bahia di sampingnya. Ia merasa aman, karena dosen itu mungkin tidak berani mendekatinnya saat ada Bahia di sana. “Ya Alllah, Zur...”Bahia panik. Gadis itu sibuk mengobrak-abrik isi tasnya sendiri. “ Astagfirullah. Tugas makalahnya ketinggalan di atas meja. Duh, gimana dong. Hari ini di kumpul terakhir. Kalo hari ini gak di kumpul, otomatis aku gagal matkul ini, Zur. “ “Memang jam berapa terakhir di kumpul ?” “ Setengah sepuluh.” “Masih ada waktu. Buruan kamu pulang dulu. Pesen gojek aja biar cepat. Ingat kamu gak boleh panik, atau itu malah memperburuk keadaan. Kamu harus tenang. Semuanya, insyallah, baik-baik aja.” “Tapi kamu ? Sendirian di sini. Gimana kalo dosen jahat itu datang lagi ?” “Jangan cemasin aku. Sekarang kamu buruan ambil makalahnya. Aku bakal tunggu di musholah. Insyallah di situ aman.” Bahia mengangguk, bergegas pulang. Azzura juga bergegas ke musholah. Ponsel Azzura bergetar. Ia meroga ponselnya di dalam tas. Di ponselnya tertera pesan masuk dari nomor Lisa. [ Happy ending. Ternyata si kebo bukan patah hati, dia kayaknya rujuk deh sama si putih. Aku liat mereka main bareng tadi ] Azzura tertawa. Sunggup keabsultan Lisa selalu berhasil mencuri tawanya. [Masyallah, Tabarakallah ya... salam sama si kebo. Bilangin jangan lupa makan dan jangan lupa bahagia. Kapan-kapan aku ke sana deh, udah lama gak liat si Kebo.] Tulisan Azzura. Azzura tertawa kecil, menyadari bahwa ternyata dia sebelas-dua belas soal keabsurtan. [Sipp... lagi di kampus tante?] Azzura kembali tertawa lantaran embel-embel yang Lisa berikan untuknya. Tante? [ Iya. Kamu gak ke kampus? ] [ Ke kampus tadi bentar. Terus pulang. Dosennya gak ada. UTS nya via online. Tante udah selesai UTS semua?] [Alhamdulillah, udah, Lis.] [ Main ke sini dong Tante. Aku sendirian. Mama lagi arisan.] [Iya, insyallah abis zuhur aku ke sana] [Di tunggu ya, Tante. Mau di siapin apa nih?* kode Lisa hanya bisa masak mie.. Ssttststts. Dan janganlah kalian mempersulit orang lain ] Aku terkekeh. [Udah lama gak makan mie goreng.] [Wah kebetulan banget nih Tante. Aku paling jago masak mie goreng. Tante tahu sendirikan.] [Iya ingat. Kan satu minggu film kita makan mie.] [Hahhaahhah... Tante masih ingat aja. Ya udah aku siap-siap beli mie dulu ya, Tan....see you. Assalamualaikum.] [Waalaikumsalam. See.] Azzura menyimpan ponselnya. “Hal! “ “Astagfirullah... “ Azzura terkejut. Dosen itu tiba-tiba sudah ada di hadapan Azzura, ia tersenyum miring pada Azzura. “Ckckck... kaget ya? Atau rindu? “ Azzura ketakutan, langkahnya bergerak mundur, menjauh. “Kamu kenapa sih, Zur ? Saya ini bukan monster loh. Bukannya dulu kita begitu dekat. Semua tentang kamu, saya tahu. SEMUANYA. Saya masih ingat jelas, kalo kamu? “ Pria itu melangkah mendekat. Selangkah Azzura melangkah mundur, selangkah juga ia maju. “Pak, t-tolong jangan ganggu saya... “Azzura memberanikan diri. Ia berjalan maju, hendak pergi dari sana. “Mau kemana? “ Pria itu secepat kilat menahan lengan Azzura. Azzura takut, namun ia tidak lemah. Sekali hentakaan tangan pria itu lepas dari lengannya. “Jangan berani menyentuh saya!” “Kenapa? Bukannya dulu hal itu biasa. Apa bedanya sekarang? Dan kenapa kamu terlihat sangat takut? Apa karena ini tempat terbuka? “ Pria itu tertawa mengejek. “Tenanglah, aku tidak bodoh, untuk merusak reputasi ku di sini. Kamu lupa kalo aku dosen di sini sekarang.” Pria itu tersenyum miring. “Bagaimana jika kita melakukannya di hotel. Di dekat sini ada hotel yang sangat bagus. Ayolah... “ Pria itu hendak meraih kembali lengan Azzura. Beruntung Azzura segera melihat pergerakan tangannya dan langsung mengelak. “Oh ayolah... Tidak perlu berpura-pura di depanku. Lagi pula, apa kamu tidak panas memakai jubah dan kain sepanjang itu. Ayolah .. Di sana kamu bisa membuka semuanya. “ Mata Azzura menyalak tajam. “Sudah cukup!” “Kita sama-sama tahu mengenai reputasi buruk di masa lalu. Jika Bapak terlalu banyak bersuara, itu artinya aib Bapak juga akan bersuara. Saya bukan gadis lemah yang bisa Bapak perdaya dengan ketakutan! “ “Apa! Kamu mengancam saya?!” “Saya tidak punya waktu! “ “Ckckckck... seekor cicak kini rupanya sudah menjadi buaya.” Pria itu kembali menghadang jalan Azzura. Hal itu sedikit mulai menarik atensi mahasiswa yang lalu lalang di sana. “Azzura. Kamu mungkin tahu tentang masa lalu saya, tapi siapa yang mau percaya pada gadis kotor seperti kamu? Kamu bahkan tidak memiliki bukti apa pun tentang saya? Sedangkan saya... sekali klik, maka semua hijab kamu akan tersingkap kepermukaan, dan kamu akan kembali di kenal dengan gelar istimewa itu lagi... “ bisik pria itu. “PSK termuda.” Kata-kata itu bagai godam yang langsung menghantam kepala Azzura. Dunia seolah menjauh dari Azzura. Langkahnya seketika seperti terdorong jauh dari tanah. Gelar itu, masa lalu itu, kebodohan itu, rasa penyesalan, malu, semua langsung menyerang Azzura bertubi-tubi, tiada ampun, bahkan untuk bernafas, tidak ada ruang yang tersisa. Azzura ketakutan. “Buk” Sebuah pukulan tiba-tiba mendarat di wajah dosen itu. Dosen itu terjerumus ke tanah. Sorot mata semua orang langsung tertuju kepada mereka bertiga. Aariz, Azzura dan dosen. “Maaf pak, saya tidak sengaja..” ucap Aariz tenang. Ia bahkan mengulurkan tanganya untuk membantu dosen itu berdiri. Semua orang yang tadi nampak curiga, perlahan mulai merasa bahwa benar itu ketidak sengajaan. “Namun lain kali saya akan memukul dengan sengaja, “bisik Aariz pelan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD