Langkah Baru

1449 Words
Hari yang di tunggu tiba. Azzura sudah sibuk sejak tadi pagi, menyiapkan segalanya. Bahia membantu Azzura di bagian dapur, Lisa membantu Azzura menghias rumah. Lalu Giffari dan Delshad membantu merapikan rumput dan taman di depan rumah. Sedangkan Aariz tidak tampak di sana. Azzura semakin yakin akan hipotesisnya. “Bahia, bisa tolong minta satu cangkir teh hangat dan beberapa camilan,” kata Giffari, ia datang menghampiri Bahia yang tengah sibuk dengan membuat beberapa makanan. “Biar aku buatkan, Bahia tampak sibuk....,” kata Azzura, beralih mengambil dua cangkir gelas. Bahia tidak setuju. Ia langsung mengambil alih gelas dari tangan Azzura. “Tidak perlu. Kamu siap-siap saja. Biar aku yang buatin.” “Tidak masalah, Iah.” “Zura... “ “Oke,” jawab Azzura pasrah. “Kalo gitu, selagi kamu membuat teh, biar aku yamg aduk sup nya, deal. Ini pernyataan bukan permintaan.” Bahia akhirnya membiarkan Azzura masih di dapur. Gadis itu lalu mengambil gula dan teh. “Iah, tolong tambahkan jahe di tehnya ya. Kata orang jahe bagus untuk orang yang sedang sakit.” “Sakit? Memangnya siapa yang sakit? Kamu sakit?” tanya Bahia. Giffari menggeleng. “Aariz. Dia mengiggil dari tadi malam. ” “Ya Allah..., kenapa kamu baru kasih tahu sekarang? ” tanya Bahia. “Aariz melarang ana buat kasih tahu yang lain. Katanya, besok hari yang sibuk semua orang akan sibuk. Dia juga ingin membantu. Aariz bilang insyallah besok pagi, meninggilnya juag hilang. Tapi tadi anak cek suhu tubuhnya panas banget. Tapi dia menginggil, makanya anak ke sini, buat minta teh dan cemilan.” “Ya Allah..... “lirih Bahia. Ya Allah, ampuni hamba yang sudah berburuk sangka—batin Azzura. Hati Azzura kini diselimuti rasa bersalah yang memucak, terlebih saat Giffari bilang bahwa ternyata Aariz sangat ingin membantu Azzura. “Apa Aariz sudah minum obat? “tanya Azzura. Giffari berpikir sejenak, lalu dengan mantap menggeleng. “Belum.” “Argh...kecoa! “teriak Lisa di ruang tamu. Giffari spontan langsung berlari menghampiri Lisa. “Biar aku antar teh dan cemilan ini pada Aariz.” Bahia meraih nampan yang sudah berisi. “Bahia, biar aku aja yang bawa nampannya, sekalian aku bawa obat juga,” kata Azzura. Bahia setuju. Dapur itu masih membutuhkan dirinya. “Titip salam buat Aariz. Selesai masak insyallah, aku ke sana.” Azzura mengangguk. Dan lantas mengambil alih nampan itu. Beberapa kali Azzura mengetuk hingga ketukan kesekian kalinya, membuahkan hasil. Daun pintu itu perlahan terbuka, Azzura refleks mundur dua langkah dari daun pintu. “Assalamualaikum, Riz..,” sapa Azzura. Wajah Aariz terlihat pucat. “Waalaikumsalam.” Pandangan Aariz tanpa sengaja menatap nampan yang Azzura bawa. Keningnya berlipat saat melihat bungkusan berwarna biru dengan isi di dalamnya yang kadang terihat seperti permen. “Ada apa? “ tanya Aariz. “Kamu sakit kan? Kenapa tidak beritahu semua orang ? “ “Buat apa? “ “Ya, ya, buat saling membantu.” Azzura gugup bukan main. Aariz hanya diam saja. “Ini obat dan makanan,” kata Azzura. Aariz mengangguk lalu meraih nampan itu. Azzura berbalik. “Terima kasih.” Azzura mengangguk. “Semoga acaranya berhasil hari ini, Zur.” Azzura refleks menoleh, seperti biasa Aariz tidak pernah menunggu respon orang yang tengah di ajakanya bicara. Aariz sudah berbalik dan masuk ke dalam. “Aamiin... “ Azzura tersenyum, menatap punggung Azka yang semakin masuk ke dalam kosan. Semoga ini bisa menjadi awal yang baik—batin Azzura. **** Azka tersenyum. Ia berdoa semoga ini jalan terbaiknya. Hatinya mantap melangkah. “Ya Allah, jika ini cinta, maka jadikan cinta ini di atas cinta-Mu. Jadikan cinta ini mendekatkan bukan menjauhi Mu, jadikanlah cinta ini sebagai arah menuju ke ridhio Mu bukan buta tanpa arah. Berikan kami petunjuk Mu agar langkah ini tidak melangkah pada apa yang Engkau benci. Jadikan cinta ini anugerah bukan azab, jadikan cinta ini pahala bukan dosa. Bantu hamba yang lemah hatinya, yang rapuh langkahnya, sungguh hamba berlindung pada Mu, ya Rabb. Setelah Azzura menyampaikan pada Azka bahwa ia menerima lamarannya. Azka merasa sangat bahagia. Ia sebenarnya sudah lama menganggumi Azzura, tepatnya saat tanpa sengaja ia melihat Azzura di hari pertama kajian. Kala itu, Azzura duduk di teras masjid, menikamati penampakan langit sore. Azzura tidak kala indah dari langit sore yang mulai menguning. Azka tidak tahu mengapa hatinya, secara diam-diam menghembuskan perasaan itu. Mungkin cinta pada pandangan pertama. Azka tidak tahu hal itu. Ia cepat-cepat mengubur perasaan terlarang itu. Cinta memang tidak pernah salah, cinta itu fitrah hanya saja jika cinta di campur nafsu maka cinta itu akan ternoda. Biarkan cintanya dalam diam saja, hingga setan pun tidak akan tahu mengenai perasaan yang belum halal ini. Dan doa Azka berbuah manis. Tidak di sangka dengan baik Allah mengatur segalanya untuk Azka. Allah jadikan Lisa sebagai pelantara antara dirinya dan Azzura. Hingga Azka akhirnya mantap mengajukan taaruf pada Azzura. “Sudah siap? Dari tadi senyam-senyum aja nih.....” goda Halimah—Mama Lisa yang tidak lain adalah kakak Azka. Azka tersenyum. “Kak, Lisa mana? “ “Di rumah Azzura. Dia gak mau di pihak pria, katanya gak asik. Gak bisa dekor rumah. Dia mau jadi seksi sibuk.” “Ya Allah, tuh anak ada-ada aja deh.” Azka terkekeh seraya menggeleng tidak habis pikir. “Kamu udah siap kan? Setelah bada ashar, kita berangkat ya.... Lisa bilang, mereka udah siap sejak tadi.” “Iya Kak, Azka juga udah ambil wudu tadi. Jadi bisa langsung salat. Kita salat berjamaah ya, Kak.” “Iya. Kakak panggil Papa dulu. Kita salat di kamar Mama aja, Kakak kangen sama Mama. Mama pasti bahagia, kalo tahu anak kecilnya sebentar lagi bakal jadi pria dewasa yang punya tanggungan.” “Dia sudah dewasa sekarang.” Halimah mengelus pucuk kepala Azka, lalu mencubit pelan pipi Azka yang sekarang tidak lagi se-chubby dulu. Tumpukan lemak di pipi Azka sudah berganti menjadi tulang kokoh yang membentuk rahang tegas dan tirus. Sangat tampan. “Sebentar lagi, Kakak gak akan bisa memperlakukan kamu kayak gini lagi. Kamu pasti malu, kalo udah punya istri.” Azka tersenyum, lalu di peluknya manja kakak perempuannya itu. “Selamanya Azka akan tetap jadi adik kecil, Kakak. Azka bakal terus manja sama Kakak, karena itu hak Azka.” “Uluh-uluh, pria dewasa sangat pintar dalam bermain kata rupanya.” “Dasar manja.” Halima melepas pelukan Azka lalu menepuk-nepuk pelan pipi Azka. Azka sedikit meringgis, lalu tertawa. “Biarin, manja sama kakak sendiri, gratis kok gak bayar.” Halimah tertawa. “Kalo dipikir-pikir kayaknya sifat nyeleneh Lisa itu nurun dari Om nya ini. Udah dewasa juga tali manjanya minta ampun.” “Hahahah....ini disebut prestasi atau kejahatan, Kak? “ “Kakak jadi nyesel biarin Lisa dulu main sama kamu, jadi nularkan sifat nyelenehnya.” “Hahahha....Kak bisa aja deh. Jadi tambah sayang.” Inilah sisi lain Azka yang jarang diketahui orang lain. Meski di luar terlihat dewasa, bijaksana, Azka tetaplah Azka. Predikat anak bungsu sama dengan manja, tersemat padanya. “Udah sekarang kamu, siap-siap. Kakak panggil Papa dulu.” Halimah lalu menghilang di balik tembok, mencari Papa yang sedang duduk di taman. Azka tersenyum. Ia lalu bergegas berjalan menuju kamar Mama dan Papa, lalu membentangkan sajadah untuk mereka salat. Saat azan ashar berkumandang mereka segera melaksanakan salat bersama. Hati Azka berdegub kencang saat ia akan pergi ke rumah Azzura. “Bissmilah.....” **** Beberapa menit, mata Azzura selalu terarah pada jam dinding. Ia gelisah, tegang dan entah perasaan apa yang memenuhi ruangan hatinya. Lisa bermata bahwa Aariz akan segera tiba ke sana. Lima menit lagi mungkin, jika jalan tidak macet. Semua orang sudah berkumpul di ruang tengah, Kakak dan Kakak ipar Azzura juga sudah bersiap. Mereka semua menunggu ke datangan Azka berserta rombongan. “Santai aja, Zur.....” Bahia menyentuh telapak tangan Azzura, guna menghilangkan rasa gugup Azzura. Azzura tersenyum dan menautkan tamgannya pada Bahia. “Bahia, apa aku pantas untuk Azka ? Dia pria baik sedangkan aku—“ lirih Azzura pelan. Dahi Bahia berkerut. Ia tidak mengerti maksud dari kata pantas yang Azzura katakan. “Ada apa, Zur ?” “Karena aku—“ “Zura, om Ustadz datang.” Lisa berbisik. Azzura refleks mengencangkan genggam tanganya pada tanggan Bahia. Bahia mencoba menenangkan Azzura. Tangan Azzura gemetar. Bahia pikir itu biasa saja, jauh dari semua itu, Azzura tengah melawan dirinya sendiri. Menepis semua pikiran buruk, untuk tetap bertahan. “Assalamualaikum.” Itu suara Azka. Azzura menenangkan dirinya. “Waalaikumsalam,” sahut semua orang. Giffari dan Delshad menyambut Azka berserta rombongan, mengantar semua rombongan untuk duduk di kursi sederhana milik bu Nirmala. Bahia hendak bangkit dari kursi, namun Azzura menahannya. “Tetaplah di sini, “lirih Azzura. Bahia kembali duduk. Lisa ikut bergabung duduk di sebelah Bahia. Di kursi itu ada empat orang, bu Nirmala, Azzura, Bahia dan Lisa. Sedangkan Azka dan keluarganya duduk di kursi sebelah kanan. Azka berada tepat di seberang Bahia. Ayah dan Kakak Azka, berada di seberang bu Nirmala dan Azzura. Tamu yang lain, duduk di karpet yang di sediakan, mereka saling menyapa ringan atau bercekrama. Sampai tiba waktu lamaran pun dimulai. Azzura hanya diam. Gadis itu benar-benar gugup. Beruntung Lisa ada di sana, membuat Azzura sesekali bisa melupakan ketegangannya, meski setelahnya ia kembali tegang, terutama saat semua orang bertanya mengenai Azzura. Pernikahan keduanya ditetapkan pada rabbiul awal, tepatnya saat Azzura libur kuliah, semester pertama. Azzura setuju. Semua orang mengucapkan syukur bersamaan. Semua sudah ditetapkan. Apa sekarang Azzura bisa bermimpi ? Azzura tersenyum. Ia mulai yakin untuk bermimpi. Bissmillah.... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD