“Kenapa kamu melakukan ini, Zur ?” Giffari menemukan Azzura. Gadis itu baru keluar dari musholah dengan wajah sedikit basah sisa air wudu.
“Bukankah kamu sudah berjanji untuk merahasiakan ini,” sembur Giffari sama sekali tidak peduli pada dahi Azzura yang berkerut karena bingung.
“Apa hal ini terlalu berat untuk di rahasiakan? Aku percaya padamu. Aku tidak sedikit pun menaruh curiga. Aku tidak menduga kamu akan melakukan hal ini. Mempermalukan sesama muslim. Bukankah kita saudara se-agama. Atau hanya aku yang berpikir seperti itu?”
Azzura makin tidak paham.
“Di majalah dinding, foto, konser rock n roll. Kamu sengaja menempelnya di sana. ” Giffari menekan kalimatnya.
“Di mading ? Aku tidak tahu ada apa di sana.” Azzura mengatakan sejujurnya. “Apa pun itu, aku tidak melakukan apa pun,” kata Azzura pelan.
Giffari memutar bola matanya tidak percaya. “Lalu siapa lagi. Hanya kamu yang tahu dan ada di sana waktu itu! “
“Aku tidak tahu.... “ Azzura terdiam. “Tapi kenapa kamu melakukan hal itu ? kamu tidak menjawab saat kutanya.”
“Tidak perlu tahu.”
“Aku pernah melihat mu dengan pakaian yang jauh berbeda. Celana jins robek.. jaket kulit mengkilap dan...”
Giffari terkejut mendengar pengakuan Azzura.
“Giffari dan segala penampilan rapinya seolah tidak ada,” lanjut Azzura.
“Apa kamu melihat aku di pinggir jalan, waktu itu? ”
Azzura terdiam. Pertanyaan Giffari menjelaskan semua. Setengah hati Azzura yang masih tidak percaya seolah terbukam. “Tidak pergi ke toko buku? Bukan penampilan rapi? Poster rock n roll ?” Azzura merangkum semua kebingungannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? “
Giffari menunduk. “Apa kamu akan mengerti jika aku jelaskan?
“Semua orang menyukai penampilan ‘anak baik-baik', meski baik, saat penampilan tidak terlihat seperti orang baik maka semua orang akan mengatakan kamu bukan orang yang baik. Penampilan memang bukan segalanya tapi penampilan menjadi harga mati yang selalu menjadi sorotan pertama. Ustadz akan mudah di kenali saat peci ada di kepalanya, saat jaket kulit mengkilap dengan citra buruk melekat, semua orang akan ragu tentang siapa dia.”
“Aku suka musik rock n roll, bahkan suka semua yang berhubungan dengan itu. Pakaian, gaya dan musiknya. Tapi hanya itu. Apa karena menyukai sesuatu itu lantas menjadi orang yang berbeda ? Aku hanya suka. Itu saja. Aku tetap Giffari.”
“Apa karena itu kamu mengambil poster itu , agar tidak ada yang datang ke konser ? Dan kamu bebas ke sana sebagai Giffari penikmat musik itu ? Tanpa takut ada yang mengenali kamu? “
Giffari mengangguk, membenarkan pertanyaan Azzura.
“Aku hanya manusia biasa. Hidup di lingkungan pondok bertahun-tahun, tidak menjamin jalan hidup ku selalu lurus. Aku tidak terlalu suka musik nassid dan jenis musik lainnya di lingkungan pondok. Kedua orangtuaku dulu seorang musisi rock n roll, mereka menemui jalan hijrah mereka saat di atas panggung. Kedua orangtuaku, mereka mungkin telah menanggalkan semua itu, tapi darah yang mengalir padaku belum sepenuhnya hilang. Ibu yang dulu sering menyetel musik bergenre keras itu, sewaktu aku kecil, tanpa sadar telah menumbuhkan rasa sukaku pada musik itu. Aku hanya ingin menjadi penikmat tanpa peduli pada hiruk pikuk keburukan yang mengikutinya, akibat ulah-ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Musik rock n roll mengingatkan aku pada kedua orangtuaku.
“Dulu aku pikir.... aku tidak masalah jika orang tahu aku penikmatan musik itu. Tapi semua itu kandas. Dan kejadian itu, memberikan pukulan telak padaku. Aku di bukam. Orang lebih percaya apa yang di lihat bukan pada kenyataannya.
“Tapi citra buruk musik itu kian menjadi. Saat seks bebas, miras dan hal lainnya di sangkut pautkan dengan keberadaan musik rock n roll. Musik itu makin mendapat label buruk di mata dunia. Aku suka musik rock n roll. Dan itu artinya aku pasti juga suka alkohol, kehidupan malam yang liar, pergaulan bebas, dan hal buruk lainnya, begitulah kata mereka. Tapi itu tidak benar. Aku tidak pernah melupakan hidup yang berpendoman pada syariat islam. Tidak sama sekali. Aku tetap ingat bahwa aku adalah seorang hamba. Hamba yang diciptakan untuk beribadah hanya pada-Nya. Aku tidak menjadikan rock n roll sebagai kiblat hidupku. “
Azzura hanya diam, namun batinnya dipenuhi bising yang tidak mampu Azzura terjemahankan. Rasanya semua berantakan.
“Masa lalu dan penilaian buruk. Semua itu. Momok menakutkan.” Raut wajah Giffari meredup.
“Masa lalu kelam ....“ suara Azzura tercekik saat kalimat itu keluar dari mulutnya. Ia teringat akan dirinya sendiri.
“Giffari,” panggil Aariz. Ia berjalan mendekat pada keduanya. Aariz nampak acuh dengan kehadiran Azzura di sana. “Ini. Foto kamu kan? “tanya Aariz, pelan tapi terdengar tajam. Ia memperlihat semua foto orang yang mengambil poster rock n roll di mading.
Mata Giffari membulat sempurna. Aariz bisa mengenalinya meski wajah pada foto itu tidak terlihat.
“Mungkin orang yang tidak terlalu mengenal Lo, gak akan kenal. Tapi gue tahu ino Lo,” kata Aariz seolah mampu apa yang sekarang tengah Giffari pikirkan. Aariz menanggalkan kata ‘aku-kamu' itu terdengar terlalu lembut untuk suasana tidak ramah ini.
Giffari membisu.
“Ini konser amal, dan karena perbuatan Lo, konser itu sepi penonton.” Aariz menatap tajam Giffari.
“Maaf... “ Hanya itu yang Giffari katakan.
Aariz membuang nafas kasar, matanya tidak sengaja beralih pada Azzura yang masih setia di sana.
“Dan orang yang menutupi hal yang buruk juga sama buruknya! “ desis Aariz.
***
Kehidupan punya jalannya. Punya kisah dan punya cerita. Kebisingan memenuhi ruang di bilik otak kanan dan kiri Azzura. Azzura tidak tahu bahwa setiap orang punya cerita. Ia selama ini berpikir hanya ia yang sedang memegang buku dari masa lalu, mencoba membakar dan membuangnya sejauh mungkin. Tapi ia salah.
Azzura menatap gemercik air di dalam kolam. GemercIa riuh suara air mengingatkan Azzura pada Lisa dan Giffari. Air Beriak tanda tak dalam, Air Tenang menghanyutkan— batin Azzura saat melewati kolam itu.
Azzura tersenyum, pepatah itu kembali mengingatkannya pada Lisa dan Giffari. Dua orang baru yang membawa buku dari masa lalu ke hadapannya. Keduanya memiliki masalah yang berat, namun suara mereka tidak terdengar. Mereka sangat tenang. Tanpa perlu membisingkan dukanya ke sana-kemari. Mereka sangat tenang, begitu tenang. Mengingatkan Azzura bahwa mereka memiliki masalah yang dalam, hingga suaranya terendam di dasar, seperti air yang tenang saat melewati kedalaman dasar yang dalam.
Lisa dan Giffari, dua orang yang sama-sama membawa luka di hadapan Azzura. Membawa topeng bahagia agar topeng duka tidak muncul ke permukaan. Lisa dan Giffari, dua orang yang menyembunyikan kesedihan mereka dengan wajah bahagia dan tawa yang nyaring.
Azzura kembali memusatkan perhatiannya pada kolam ikan, terlihat ikan berwarna emas bermandikan air yang bergerombol di bawah kucuran air dari pipa. Ikan itu bergerak ke sana ke mari, laksana sedang menari dengan bahagia. Matahari dengan setia datang dalam pertunjukan itu, menampakkan dirinya dengan malu-malu. Pantulan sinar matahari seolah lighting gratis yang menambah keseruan ini, meski hanya menampakan sedikit dirinya. Pertunjukan itu berjalan dengan sukses. Azzura menikmati setiap helaan suara demi suara yang mulai menyanyikan lagu alam. Suara deru air pompa mesin menjadi soundtrack menenangkan. Azzura mulai teralihkan akan semua kebisingan yang selama ini ia biarkan saja dalam otaknya.
Azzura terhibur. Senyum mengembang dari wajah Azzura. Azzura jadi betah berlama-lama di tempat ini. Menikmati hamparan rumput hijau, pohon-pohon rindang yang berkilau karena semburan sinar matahari .
Azzura duduk di bawah pohon rindang, berlama-lama sebelum akhirnya matahari seolah baru menemukan keberadaannya. Sinar matahari menembus malu-malu dedaunan di atas kepala Azzura. Membuat Azzura mau tidak mau harus mencari tempat teduh agar terlindung dari sinar matahari yang sudah tidak malu lagi menampakkan dirinya.
Azzura melirik jam tangan yang terlilit di tangannya. Pukul satu siang. Azzura bangkit dari bangku taman kampus. Sudah cukup dengan ketenangan yang ia cari. Ketenangan dari kebisingan yang ada. Kini ia butuh rohaninya kembali terisi, memulihkan dengan baik, asupan itu.
Hari ini, merupakan jadwal kajian di musholah dekat kampusnya. Azzura sengaja tidak pulang setelah jam mata kuliah terakhir berakhir. Azzura ingin ke kajian itu, langsung dari kampus. Bisa dikatakan sekarang, Azzura adalah anggota ‘tidak resmi’ yang selalu datang pada jadwal pengajian rutin itu. Kehadiran Azzura yang terus-menerus, membuat Azzura mulai mendapatkan tempat di sana bahkan memiliki beberapa teman sebayanya, meski teman Azzura tidak seaktif dirinya.
Azzura datang saat kajian hampir di mulai, Azzura mengambil wudu terlebih dahulu, sebelum bergabung dan duduk di barisan khusus akhwat. Kali ini, teman yang biasa duduk di sebelah Azzura tidak datang. Ia punya urusan penting, katanya. Jadi Azzura memilih duduk di pinggir, di dekat jendela masjid. Menikmati hembusan angin dari luar sembari mendengar dengan khidmat kajian.
Kajian kali ini membahas mengenai ‘hal sepele tapi tidak boleh disepelekan'. Masih dengan suara yang sama dan narasumber yang sama, waktu itu. Waktu pertama kali Azzura mengikuti kajian. Sepertinya ia menerima tawaran untuk menjadi pengisi tetap kajian. Dan Lagi, cara berpikir, penyampaian dan contoh-contoh sederhana yang mudah di pahami menjadi daya tarik tersendiri untuk semua oramg dan Azzura.
“Apa sih, sesuatu yang sepele tapi tidak boleh disepelekan ? Yap. Minum.... “
“Minum sambil berdiri itu kadang, terasa lebih gampang? Iya kan? Apalagi kalo kita berada di tempat umum, gak ada kursi dan ditambah keadaan kerongkongan yang udah kering banget habis jalan di bawah terik matahari. Ada air putih di tangan lagi, ya udah deh minum aja... masa bodoh mengenai reskio jangka panjangnya, yang penting kerongkongan kita nyaman untuk saat itu....
“Iya gak semua? “ tanyanya dengan suara rama.
Ramai-ramai, ada orang yang menjawab, ada yang menjawab pelan, ada yang menjawab dengan senyum-senyum saja. Azzura hanya mengangguk kecil, sekali-kali Azzura terlupakan hal itu.
“Itulah tugas kita sebagai sesama muslim. Saya juga kadang beranggapan, ‘halah, cuman gini doang. Lebay ih. Gak akan berpengaruh apa pun sama tubuh ini kan cuman sepele doang. Apa salahnya dengan minum sambil berdiri, Inikah keren?
“Anggota tubuh, dan semua yang ada pada diri kita adalah milik Allah. Kita wajib menjaganya sebagai amanah. Kita juga harus care terhadap sesuatu yang bahkan sepele sekali pun. Kita harus peduli pada kesehatan kita sendiri, karena semua ini kelak akan di mintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Nah mari kita mulai sekarang dengan hal terkecil mengenai adab minum.”
“Dalam sebuah hadis dikatakan.
Jangan kalian minum sambil berdiri, Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan.” (HR. Muslim). Tuh udah ada hadisnya, masih mau minum sambil berdiri? Masih gak terlalu kuat buat di jadiin alasan untuk gak lagi minum sambil berdiri?
“Tenang... Selain hadis itu, sudah banyak di lakukan penelitian yang menentang minum dengan berdiri, alasannya karena dengan minum berdiri, air yang masuk mendapatkan tekanan hingga tidak bisa menyerap apa pun dengan baik. Selain itu, saat kita minum sambil berdiri filter pemyaring akan tertutup, sehingga air yang masuk langsung menuju kantung kemih tanpa penyaringan terlebih dahulu, ini bisa jadi berbahaya buat ginjal dan kantung kemih dalam jangka panjang. Selain itu semua, masih banyak lagi masalah-masalah kesehatan yang bisa di timbulkan dari hal yang sering kita anggap ini sepele. “
“Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT yang maha sempurna dengan risalah yang di bahwa oleh nabi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Jauh sebelum teknologi, dan sains ini di temukan, islam sudah lebih duluan mengajarkan semua adab-adab dan kebiasaan ini, agar tercipta generasi yang sehat dan tangguh.”
“Sahabat, para tabiin dan orang-orang terdahulu mengamalkan hadis ini tanpa banyak bertanya, itu yang di katakan kepercayaan. Mereka sadar, bahwa mereka hanyalah manusia biasa, manusia yang tidak tahu apa pun, mereka tahu ada banyak tabir yang tidak bisa mereka buka dengan keterbatasan mereka. Jika mereka berpikir sama seperti kita di jaman sekarang, yang apa-apa harus meluluh tentang logika, sanis dan ilmiah. Bukankah hadis ini akan di anggap tidak relevan, tidak logis dan di buang? Tapi mereka tidak melakukan itu, semua ini karena kepercayaan yang mereka pegang teguh. Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita agar selalu dalam keridhoannya. Aamiin....”
“Aamiin....,” ucap Azzura lirih.
Kajian selesai tepat saat adzan ashar berkumandang. Azzura melaksanakan salat ashar di masjid, berjamaah dengan kajian. Azzura memilih pulang saat matahari mulai meredup, melepas semua sisa-sisa sinar siang hari yang masih ada. Ia membuka mushafnya, membaca dengan suara sangat pelan, sangat pelan hingga tidak akan ada yang mendengarnya, itu yang Azzura inginkan.
Selesai mengaji Azzura teringat sepenggal ayat yang baru ia baca.
فا صبر صبر جميل
“Maka bersabarlah engkau dengan sabar yang baik.”
Azzura tersenyum, setiap kali ia merasa sedih, Azzura akan menemukan banyak ayat-ayat Al-Quran yang akan menghiburnya. Membuat ia kembali bangkit. Al-Qur’an bagi Azzura bukan sekedar kitab suci, melainkan sahabat, teman dan pengingat yang baik. Tidak heran, kemana pun Azzura pergi, mushaf adalah benda pertama yang ia bawa.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Azzura keluar dari masjid, begitu hari mulai menguning. Suasana sore sudah terasa sempurna, tidak lagi sebising tadi. Burung-burung sudah kembali ke sarangnya, menemui anak mereka di atas pohon-pohon, berpelukan hendak menyambut malam yang akan menyapa. Azzura juga harus pulang. Begitu melangkah ke teras masjid, mengambil sepatunya. Ponsel Azzura berdering di dalam tas. Tertera pesan SMS dari Bahia di ponselnya.
Assalamualaikum, Zur...
Zura kamu lagi di mana ? Kenapa belum pulang? Ada tugas tambahan ya? Atau ada sesuatu?
Azzura terlupa memberitahu Bahia bahwa hari ini ia ada jadwal kajian rutin. Sebenarnya Azzura sudah memberitahu bu Nirmala, mungkin bu Nirmala lupa memberitahu Bahia.
Waalaikumsalam, Iah....
Aku sebentar lagi pulang. Tadi ada jadwal kajian. Maaf, lupa kasih kabar. “
Azzura meraih sepatunya bertepatan dengan itu ponsel Azzura kembali bergetar. Bahia kembali mengirim pesan.
“it’s okey..... btw, aku buat makanan jenis baru. Kata bu Nirmala sih enak, tapi gak tahu menurut kamu. Pokoknya kamu harus coba. Pas pulang, temui aku di dapur umum ya... aku ada di sana, membereskan kekacauan yang aku perbuat, dengan masuk ke dapur. Set toh, Zur.. “
Azzura terkekeh. Dua minggu belakang ini, Bahia kembali membuka hobi lamanya. Memasak. Bahia bilang semenjak sakit, waktunya selalu dihabis untuk pengobatan. Ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan jenis resep baru apa yang bisa ia buat, resep makanan baru yang benar-benar baru, dan tidak pernah diciptakan orang lain selain dia. Bahia sering melakukan eksperimen mengenai keinginannya ini. Memasukam nasi ke dalam pisang, menambah kismis di atas sayur sup, mengantikan garam dengan keju. Dan banyak hal lain, yang lumayan aneh. Ya, begitulah, seseorang yang menginginkan inovasi baru, harus berani menjadikan hal tabu menjadi wow. Bahia bilang ia harus berpikir out the box. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan orang lain. Sate combro, es cream rasa cabe, camilan batang keju. Tidak hanya itu. Bahia bahkan menyusun proposal mengenai memperdayakan biji rambutan. Gadis itu bilang biji rambutan berteksur seperti kacang mete, jika di sangrai maka mungkin akan menghasilkan makan baru.
“Baiklah, kali ini makanan apa lagi ya Bahia ciptakan? “Azzura tersenyum membayangkan wajah Bahia yang begitu bersemangat menunggu penilaiannya.
“Gak mau ke rumah ana dulu. Bentar lagi magrib Loh. Ente bisa kejebak macet di jalan.”
Azzura refleks menoleh, ia sedikit tersentak karena lagi-lagi bertemu pria itu di teras masjid.
“Tidak perlu, Bang. Kebetulan rumah kakak saya di dekat sini. Saya memang niat mau mampir ke sana, makanya pulangnya lama.”
Azzura berharap mereka tidak melihatnya. Azzura buru-buru menarik tatapannya, berbalik dan bergegas pergi dari teras masjid.
Azzura mencoba meraba perasaan apa yang singah di hatinya ini. Azzura tidak tahu mengerti, setiap bertemu pria yang sangat Azzura sukai berkat kecakapannya menyampaikan materi, jantung Azzura selalu tidak karuan, Azzura juga merasa ingin segera lari jika berada di dekatnya. Azzura tidak mengerti. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Sebenarnya ini rasa suka, kagum atau cinta? Tapi mereka tidak pernah saling sapa, bahkan sampai sekarang Azzura tidak ingin tahu nama pria itu. Azzura takut, jika tanpa sadar hati kecilnya bersuara lirih menyebut namanya sebagai doa, memintanya dalam sujud dan keheningan malam. Azzura terlalu takut melakukan itu. Dia pria baik, dan setiap wanita pasti ingin mendapatkan pria baik dalam hidupnya. Dia pria dengan masa lalu yang baik, Azzura tidak ingin egois dengan menawarkan diri pada Allah untuk menjodohkannya dengan pria sholeh itu. Pria baik untuk wanita baik-baik. Mereka menjaga dan terjaga.
Bergelut dengan semua itu, Azzura tetap melangkah. Ia berjalan cepat menuju kosan, namun langkahnya terhenti, saat ujung matanya menangkap dua sosok yang ia kenal, di ujung jalan. Keduanya terlihat tidak sedang baik, keduanya seperti tengah adu argumen. Udara memang tidak membawa suara apa pun di telingah Azzura. Tapi Azzura yakin, sesuatu tengah terjadi.
Garis wajah Aariz terlihat tidak biasa, matanya tajam menyala. Bahia menunduk, bahunya sedikit bergetar. Bahia menangis. Lalu Aariz mengeram kesal, membuang wajah kesembarangan arah, wajahnya terlihat putus asa. Azzura tertangkap basah, Aariz menyadari sorot jauh mata Azzura. Aariz semakin kesal akan keterlibatan Azzura meski hanya sebatas kulit luar. Azzura bahkan tidak mendekat pada mereka. Azzura hanya tidak sadar, telah menjadi penonton ilegal. Dan Aariz benci itu. Semua ini. Kesalahan pahaman ini membuat Aariz makin tidak nyaman. Ia melemparkan tatapan tajam. Azzura kikuk, ia segera menunduk.