Jiwa

1695 Words
Azzura tidak akan mengambil jalan belokan, ia akan memenuhi janjinya pada Bahia dan bu Nirmala. Meski untuk hal itu Azzura harus berjalan terburu-buru, atau lebih tepatnya berlari dengan terburu-buru. “Neng, jalannya cepat banget.... “ Azzura terkejut, ia refleks mengangkat kepalanya, setengah berlari membuat Azzura benar-benar memperhatikan langkah kakinya agar tidak terjatuh dan hal ini membuat kepala Azzura cenderung tertuduk dan tidak memperhatikan jalan sekitar. Azzura tidak beruntung, niat hati menghindari gerombolan remaja yang terkenal ‘badung', Azzura justru bertemu gerombolan itu di pinggir jalan dan usaha Azzura mengambil jalan terjauh jadi sia-sia. Pada akhirnya ia tetap bertemu mereka. Azzura tidak bisa mundur. Ini sudah takdir dan Azzura rasa ia hanya perlu tetap tenang. Azzura beruntung, ia memiliki kebiasaan yang cukup aneh, jika bertemu dengan pria atau melewati segerombolan pria seperti ini, Azzura spontan menahan nafasnya. Hal itu membuat ekspresi wajah Azzura yang terkejut, takut, malu tertutupi dan berubah menjadi ekspresi super datar. “Neng, tumben jalan sendirian? Mau Aa temenin gak? “ Mereka cekikikan. Azzura tidak menoleh sedikit pun, dan terus melangkah melewati mereka dengan pandangan fokus ke depan. Tenang Zur—batin Azzura. “Neng.... “ Tas Azzura di tahan. “Argh... jangan sentuh aku.” Secepat kilat Azzura mencangkar lengan pria yang memegang tasnya. Semua orang terkejut. Darah merembes dari goresan luka itu, jari Azzura bahkan ikut terpecik darah itu. Suara tawa yang mengudara tiba-tiba membeku. Mereka semua terdiam, menatap Azzura dengan tatapan ngeri. “Dia monster....,” lirih salah satu dari mereka. “Dia ganguan jiwa, dia— “Kak.. “ “Kak.. “ Aariz melirik kearah Azzura. Azzura melamun. Tatapan matanya kosong seperti tengah menerawang jauh entah kemana. “Ayo sini, ngaji sama kakak saja,” kata Aariz. Bocah kecil yang memakai peci warna cokelat muda itu lantas menggeser posisnya mendekat kearah Aariz. Lalu duduk di hadapan Aariz dengan iqro yang ia langsung letakan pada meja Aariz. Suara nyaringnya mulai membunyikan huruf hijayah. "Sadaqollahuladzim.... “ Mata Aariz tanpa sengaja kembali terarah pada Azzura. Aariz pikir, gadis itu sudah tersadar dari lamunannya. Tapi tidak seperti itu. Azzura masih pada posisi tadi, matanya kosong dan jiwanya entah berada di mana. Azzura bahkan tidak menyadari, barisan anak yang duduk mengantri di hadapannya, menunggu giliran, sudah berlangsung meninggalkan mejanya dan beralih pada meja Aariz. Bagaimana bisa ada orang melamun selama itu—batin Aariz. Entah kenapa Aariz sedikit terusik dengan kegiatan melamun panjang yang Azzura lakukan. “Kak, Azzura kenapa sih? kok diam aja? “celoteh bocah berpeci putih s**u. “Gak tahu. Tadi aku panggil-panggil tapi gak nyahut. Makanya tadi aku ngaji sama kak Aariz,” sahut bocah berpeci cokelat muda. Aariz rasa ia harus menyadarkan Azzura dari kegiatan yang mungkin ‘mengasikan' hingga Azzura tahan berlama-lama seperti itu. “Zura.” Suara Aariz masih datar. “Zura....” Satu oktaf meninggi, Aariz tidak mungkin kan, menyentuh atau menepuk bahu Azzura ? jelas Aariz tidak akan melakukan hal itu. “Azzura......... “ Aariz menaikan lima oktaf dari suara nya tadi. Tapi gagal. Azzura masih dengan pikirannya. Aariz menghela nafas panjang, ia bingung sekaligus tidak habis pikir. Apa yang sedang ia pikirkan. “........JIWA !” Secara ajaib, kalimat terakhir yang Aariz ucapkan langsung menyadarkan Azzura. Sorot mata Azzura kembali terisi. Aariz pikir tugasnya sudah selesai. Ia kembali berjalan ke mejanya. “Aku tidak sakit jiwa.... “ Kalimat itu mengalun pelan di telinga Aariz. Begitu pelan nyaris tidak terdengar. Duka pilu juga terselip pada suara itu, seperti syair pilu di telinga Aariz. Aariz refleks menoleh pada objek yang di duga pemilik suara itu. Dia menangis —batin Aariz. *** “Jadi sebenarnya nama om Ustadz itu Azka Fatih. Beliau om aku yang paling muda. Adik mama yang paling bontot,” kata Lisa. Azzura dan Lisa tengah duduk di taman belakang rumah Lisa. Setelah selesai mengaji, Lisa memaksa Azzura untuk melihat album-album masa kecilnya. Lisa selalu mempunyai cara untuk membujuk orang agar setuju. Senyum dan keceriaannya menjadi senjata utama yang sulit untuk di tolak. “Om Ustadz tuh sebenernya asik dan seru banget, mungkin karena usia om yang gak jauh beda sama aku. Makanya masih gaul dan enak banget buat di ajak curhat. Kalo gak salah umur om Azka, hem ....dua puluh lima tahun kayaknya,” kata Lisa. “Tapi ya itu deh.....semenjak peristiwa itu... pokoknya om Ustadz jadi gak seru lagi.” Lisa membentuk duck face pada bibirnya. “Gak asik ...tiap ketemu pasti ceramah, iya sih aku tahu, om Ustadz cuman pengin aku jadi lebih baik. Emang dasar akunya aja yang bandel,” sambung dengan senyum super lebar. “Nah ini om Ustadz,” Lisa menunjuk seorang bocah laki-laki bertopi hitam yang dua kali lipat lebih besar dari kepalanya hingga menutupi setengah wajahnya. Di sebelahnya berdiri seorang bocah perempuan kecil tersenyum lebar. Senyum yang sama persis seperti senyum Lisa. “Dan ini, “ Azzura menunjuk bocah perempuan itu. “Kamu kan?” tanya Azzura. “Mirip ya? “ “Bukan kamu ya? senyumnya mirip...... aku pikir ini kamu.” Lisa tersenyum. “Wajah itu aku, tapi bukan aku.... “ “Maksudnya?” “Itu kembaran aku,” kata Lisa pelan. “Namanya Lili....hem.. Lili meninggal tujuh tahun yang lalu karena kecelakaan mobil karena aku.” “Kecelakaan? kamu? ” spontan Azzura. Lisa mengangguk. “Aku memang penyebabnya,” katanya pelan. Nyaris tidak terdengar, suaranya seperti tercekik saat mengatakan kalimat itu. “Dia meninggal karena aku, Zur.” “Lisa akan tetap dikenal sebagai anak kembar dan kamu juga bisa bertemu Lili. Lili itu gadis yang baik. Dia baik, pintar dan senyumnya, senyumnya lebih lebar dari senyumku. Semua orang yang bertemu dia pasti menyukainya,” kata Lisa seraya berusaha menarik senyum keluar dari bibirnya. “Andai aku gak lakuin itu.... semua gak akan jadi gini. Kalo saja, waktu bisa ku ulang, aku tidak akan pernah membuang syal itu dan semua gak akan terjadi, pasti—“ “Lisa....” Azzura menghentikan Lisa. Azzura tersenyum pada Lisa lalu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Lisa untuk tidak mencoba membuka lukanya sendiri. Azzura tidak ingin Lisa hidup dengan pengandaian-andaian yang tidak akan pernah ada. Tidak ada waktu yang bisa di ulang. Tidak ada kematian yang bisa dihindari. Semua sudah tercatat dan tersimpan dalam buku takdir. Manusia tidak bisa menggelak saat ajal datang bertamu. “Lisa... semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Aku, kamu, kita semua akan menemui kematian.” Lisa mengangguk pelan, sangat pelan. “Terima kasih sudah mau mendengar semua ini, Zur...,“katanya tulus. Azzura memeluk Lisa, mencoba memberikan kekuatan pada gadis itu. Mencoba memberitahu bahwa ia tidak sendirian, ia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya, pada senyumnya, pada tawanya. Azzura menemukan sosok lain dari Lisa. Lisa yang ceria, bersemangat dan penuh tawa nyatanya merupakan Lisa yang rapuh dan penuh duka. Lisa hanya berpura-pura tersenyum agar tidak ada satu orang pun yang bisa melihat air matanya. Lisa sangat pintar melakukan hal itu, hingga Azzura pun tidak mampu melihat air mata menetes di pipinya. Bahkan saat sekarang, Lisa masih bersusah payah menahan air matanya agar tidak membentuk sungai di pipinya. Suaranya boleh terbata-bata tercekik kenyataan namun senyum lebarnya masih tetap ada. Dalam diam, Lisa terisak di belakang panggung Azzura. “ Bersabarlah dengan sabar yang baik. Semua orang punya masalah. Bahkan air yang tenang sekali pun punya riak di dalamnya— “lirih Azzura pelan. Lisa mengangguk pelan. Azzura merasa perkataan itu bukan hanya untuk menguatkan Lisa tapi juga untuk meredam segala badai yang terjadi pada dirinya sendiri, ia juga harus menerima segalanya. Berusaha menerima bukan menghapus. **** “Ini siapa sih?” “Kok gini sih.... “ “Siapa sih ini, wajahnya gak terlalu jelas.” Giffari mengernyitkan bingung, ia melewati rombongan orang yang berkumpul di depan manding. “Itu ada apa sih? “tanya Delshad yang rupanya penasaran juga namun tidak berani mendekat gerombolan itu, alasannya sudah jelas karena gerombolan itu di d******i perempuan. Dan itu artinya Delshad tidak akan mendekat meski dalam radius 100 meter sekalipun. Giffari mengangkat bahunya, pertanda tidak tahu juga. “Kayaknya ada sesuatu deh.....,”gumam Giffari. “Ya udah kita liat aja nanti pas udah sepi,” usul Delshad yang langsung mendapat anggukan setengah setuju dan tidak setuju dari Giffari. Giffari setuju, karena ia malas berdesak-desak mencari informasi itu, tapi tidak setuju karena ia sebenarnya penasaran, apa yang sedang mereka bicarakan. “Eh, di mading ada apa sih ?” Giffari memperlambat langkahnya, mencuri dengar pembicaraan dua orang mahasiswa di ujung koridor. “Itu ada orang yang ke tangkap basah ngelepasi poster konser rock n roll. Parah banget sih. Pada hal itu konser amal, karena ulah orang itu, konser amalnya jadi sepi, “ sahut temannya. Giffari membisu. Lutut Giffari terasa lemas “Emang siapa orangnya ?” Pria itu mengangkat bahunya. “Gak tahu. Wajahnya gak jelas kelihatan. Tapi kayaknya dia anak fakultas kita. Fakultas sastra.“ “Lo yakin fakultas sastra.” “Yakin banget. Orang jaket angkatan kita kok... “ “Gif kita ke musholah kampus dulu, yuk. Setelah itu baru ke kelas,” ajak Delshad memecah kebisingan yang terjadi di dalam diri Giffari. Giffari tersadar. Ia langsung tergopoh-gopoh memutar langkahnya, berlari ke arah mading. Ketakutan yang melumpuhkan menyebar ke seluruh tubuh Giffari, membuat ia bahkan tidak bisa mengatur nafas dengan benar. Bayang-bayang mengenai ‘kulit aslinya' membuat Giffari takut dan cemas secara bersamaan. Ia tidak ingin masa lalu kembali menyapanya dengan peristiwa yang sama. Ia tidak ingin. “Gif, ente mau kepala? “ teriak Delshad terkejut melihat Giffari berlari menjauh. Delshad mencoba mengejar langkah Giffari dari belakang tapi ia kalah cepat. “Mau ke mading ya... eh, tapi masih ramai gitu, Giff.” Delshad menghentikan langkahnya. Giffari terlalu jauh untuk di kejar. “Giffari kenapa sih.... “gumam Delshad. “Mading ?” Giffari berpikir keras. Apa yang ia akan lakukan di mading. Marah dan menyobek foto itu, lalu membiarkan semua orang tahu bawa orang di dalam foto itu adalah dirinya. Aku pikir Azzura bisa di percaya. Hanya Azzura yang tahu hal ini—batin Giffari. Langkah kakinya memburu dengan sangat cepat. Kelas. Giffari rasa ia tidak perlu ke mading. Merobek dan marah adalah hal bodoh untuk dilakukan. “Bahia, di mana Azzura ?” Bahia terkejut. Giffari berdiri dengan wajah merah dan keringat yang menumpuk di dahinya. “Kenapa?” “ Di mana Azzura? “ tanya Giffari, menekan kalimatnya. Ia sangat tidak terdengar ingin basa-basi. “Hem.” Bahia berpikir. Antara mengingat-ingat di mana Azzura dan menduga-duga apa yang sebenar terjadi, kenapa Giffari terburu-buru seperti ini. “Huft... “ Giffari membuang nafas kasar, tidak tahan menunggu jawaban Bahia. Giffari berbalik, keluar kelas, melangkah ke sembarang arah mencari keberadaan Azzura. Hati Giffari gundah. Ia marah, kesal, kecewa dan entah perasaan apa lagi yang kini bersarang di hatinya. Ia marah tapi pada siapa? pada Azzura atau pada dirinya sendiri, ia kecewa pada Azzura atau pada dirinya sendiri yang terlalu egois. Giffari hanya mencoba memenuhi apa yang orang pikir penting, tapi apa salah jika ia ingin menjadi dirinya sehari saja menikmati dirinya tanpa penilaian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD