Sebuah teka dan teki

1832 Words
“Masyallah, pagi-pagi udah sibuk aja nih.... masak apa sih? “Bahia muncul dari balik pintu dapur umum, gadis itu sudah rapi dengan gamis berwarna biru dongker dan jilbab cream yang mempermanis penampilan gadis bertubuh mungil itu. “Masak pisang goreng, Iah. Kayaknya bu Nirmala lagi pengen pisang goreng. Sekali buat dibawa ke kampus juga, ada temanku yang katanya penggemar berat pisang, ” sahut Azzura, dengan mata berfokus pada kuali. Tangan kanannya memegang spatula dan sebelah tangannya memang piring, meletakan hasil pisang yang sudah berubah warna. “Teman? Lalisa?”tebak Bahia. Azzura mengangguk, kecil. “Dia sering bercerita tentang segala jenis pisang.” “Pisang itu emang enak dan goreng pisang itu terlihat enak... “ “Mau? “tanya Azzura. Bahia tidak menjawab, ia mau namun ragu. Bahia menimbang-nimbang, sekiranya ia akan mengambil tawaran itu.... “Hem....” Bahia bergumam. Azzura tersenyum. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam rak lemari, tempat bumbu kering dan sejenisnya di simpan. “Kita taruh pisangnya di tisue ini dulu, katanya tisu ini bisa mengurangi kadar minyak pada pisang.” Bahia tersenyum sumringah. “Deabak,” seru Bahia. “Ayo di cobain pisangnya... “ Azzura menyodorkan piring berisi pisang pada Bahia. Bahia dengan semangat mencomot satu pisang dan menarik kursi. “Wah, enak...,”katanya. Setelah itu Bahia fokus melahap pisang di tangannya. “Hari ini, berangkat pagi ?” tanya Azzura. Bahia mengangguk. “Aku ambil kelas dosen yang selalu datang tepat waktu dan tidak mentolerin ketelatan satu detik pun. “ “Kelas?” “Pak Muhid. Kajian puisi.... “ jawab Bahia, sembari melahap potongan terakhir pisang gorengnya. Gadis itu lalu bangkit, mengibas-ngibaskan tangannya yang sedikit terkena minyak dari pisang goreng. “Catatan mu mengenai kajian puisi sangat membantu, materinya dijelaskan dengan sangat simpel dan mudah di pahami. Aku rasa semester depan aku akan pindah ke kelas mu. “ Azzura dan Bahia memang berada pada kelas yang sama. Namun mengenai mata kuliah pilihan, Azzura dan Bahia memiliki pilihan yang berbeda, hingga tidak jarang jadwal kuliah mereka tidak sama. Mereka akan bertemu pada mata kuliah wajib yang hanya di ampuh oleh satu dosen. “Jadi... aku harus pergi sekarang. Assalamualaikum...” Azzura tersenyum dan mengangguk, “Waalaikumsalam, hati-hati ya...” “BTW, makasih sarapan paginya,” Bahia berjalan keluar bertepatan dengan Delshad yang hendak masuk ke dalam dapur umum. “Kuliah pagi ?” tanya Delshad, sedikit canggung. Meski lumayan dekat dengan Azzura dan Bahia, tetap saja—sama seperti pada perempuan lain, Delshad tetap tidak bisa merasa nyaman. Delshad masih kesulitan berinteraksi dengan wanita. Ia selalu canggung dan perasaan aneh menggelantung di hatinya. Memaksa Delshad untuk menarik diri dan menjauh lalu membentuk tembok besar yang kaku dan curam. Semua itu terjadi seperti rantai yang sulit Delshad mengerti. Ia kesulitan bukan berarti anti pada wanita. “Iya, Shad, “sahut Bahia, seraya melewati Delshad. Delshad masuk dan Bahia pergi. Azzura sudah mematikan kompornya. “Mau masak? “tanya Azzura, sembari mengangkat pisang goreng terakhir di pengorengan. “He—ehm.. cuman mau buat teh aja,” sahut Delshad sembari mengangkat gelas khusus miliknya yang ia bawa dari kamar. “Teh dan pisang goreng perpaduan yang baik. Mau pisang goreng ?”tanya Azzura lagi. “Makanan berminyak di pagi hari,” Delshad bergumam, lalu mengangguk pelan. Azzura mengambil beberapa potong pisang goreng dan memindahkannya ke dalam piring yang lebih kecil. “Terima kasih, Azzura.” Azzura mengangguk kecil, lalu berpamitan pergi ke dalam. Delshad menatap pisang goreng yang ia letakkan di sebelah tangannya yang sedang sibuk membuat teh. Delshad menghela nafas. Ia tidak suka menolak dan tidak suka gorengan di pagi hari. Ini tidak sehat— batin Delshad. Pria itu lalu buru-buru kembali ke dalam kosannya, sembari menenteng sepiring kecil pisang dan teh hangat. Delshad terlalu terburu-buru hingga melupakan ponsel yang sempat ia letakan di atas meja kompor, saat ia menerima piring dari Azzura. Azzura kembali ke dapur, ia pikir sepertinya teh hangat sangat enak di nikmati setelah makan pisang. Sembari menunggu bu Nirmala yang masih sibuk membereskan lemarinya yang kata beliau terlalu berdebu, dengan istilah ‘setebal kapas'. Azzura berinisiatif untuk membuat teh sebagai teman pelengkap pisang gorengnya. “Ponsel, Delshad ?“ gumam Azzura begitu matanya menangkap ponsel yang tergolek sendirian di atas meja. Ia meraih ponsel itu dan menimbang-nimbangnya, setelah melakukan hal itu, Azzura yakin ponsel itu milik Delshad. “Sebaiknya aku berikan saja. Kasihan dia mungkin kebingungan mencari ponselnya.” Azzura berjalan menuju kosan Delshad. Hanya butuh dua menit dan sepuluh langkah saja untuk sampai ke sana. Pintu kosan Delshad tidak tertutup rapat, ada sedikit celah yang mengangga di sana. Tangan Azzura hendak mengudara, memberikan gesekan bunyi pada pintu itu, namun belum tangannya menyentuh daun pintu itu, suara Delshad mengintrupsi dari dalam, menghentikan niat awal Azzura memberi tahu keberadaannya di depan pintu Delshad. “Kenapa! Ini tidak sehat! Aku suka tapi aku benci ! Ini masih terlalu pagi untuk makan sesuatu yang berminyak,” kata Delshad, raut wajahnya memerah dan rahanganya mengeras. Azzura melihat dari celah pintu Delshad, Delshad memasukan beberapa potong pisang ke dalam plastik. “Mungkin lain kali. Maaf,” kata Delshad pelan, wajahnya mendadak pilu. Delshad lalu berbicara lagi dengan suara yang sangat pelan, hingga Azzura tidak mampu menangkap radar suara Delshad. Delshad seperti tengah berbicara pada pisang goreng yang sudah ia masukan ke dalam plastik. Azzura mengernyitkan bingung, apa yang salah, wajah Delshad terlihat marah dan sedih dalam waktu bersamaan, intonasi suaranya naik dan sekarang turun. Azzura tersadar, ia terlalu jauh ingin tahu. Ini privasi Delshad, apa pun yang terjadi itu bukan rana Azzura untuk ikut campur. Azzura segera mengetuk pintu kosan Delshad. Membuang semua hipotesis yang beterbangan, rasa bingung, dan perasaan aneh lainnya dari benaknya. Satu kali ketukan di daun pintu itu, tidak lama, Delshad membuka pintunya. “Ponsel kamu ke tinggal di dapur,” A kata Azzura ringan. “Ya Allah, aku sampai lupa.. “Delshad menerima ponsel yang Azzura serahkan. “ Terima kasih Azzura.” Azzura mengangguk, ia berbalik hendak kembali ke rumah. Belum sepenuhnya membalik, Azzura lagi-lagi terkejut melihat aktivitas yang Delshad lakukan melalui celah pintu Delshad yang sedikit membuka. “Kenapa Delshad melakban mulutnya sendiri ?” Kali ini apa ini rana Azzura untuk ikut campur? **** Delshad sakit. Giffari menawarkan diri untuk merawat dan menjaga Delshad. Aariz juga menawarkan hal yang sama, namun Giffari meminta Aariz untuk tetap mengajar ngaji di musholah. “Kasihan anak-anak kalo gak ada yang ngajar,” kata Giffari. “Insyallah, ana bisa merawat Delshad sendiri. Ente ngajar aja.....” Aariz berpikir, ia takut Giffari kewalahan menjaga Delshad. Kondisi Delshad terlihat sangat mengkhawatirkan, meski begitu Delshad bersikeras untuk tidak di rawat di rumah sakit. Ia beralibi bahwa ini hanya demam biasa, dan besok juga sembuh. “Ana bisa kok....kamu pergi ngajar aja,” kata Giffari, berusaha menyakinkan Aariz. “Kamu juga Giff, pergilah mengajar. Ana, gak kenapa-napa kok. Ana cuman panas dan pusing sedikit. Kamu pergi aja, ngajar ngaji. Kasihan Aariz kalo ngajar sendirian,” Delshad menyela pembicaraan keduanya. “Muka ente pucat gitu. Bahaya kalo di tinggal sendirian di kosan,” sahut Giffari. Aariz menghela nafas panjang. “Bener kata Giffari. Aku gak masalah ngajar sendirian. Kalo gitu aku pergi dulu ya. Syafakaallah, Shad.” “Syukron, Riz, Giff.” “Ente sekarang istirahat gin.. Nanti ana buatin teh hangat biar badan ente agak enakan.” Delshad mengangguk kecil dan menuruti perintah Giffari untuk beristirahat. Giffari dan Aariz melangkah keluar kosan bersama, setelah membantu Delshad berbaring di kasur. Giffari melanjutkan langkahnya ke dapur umum sedangkan Aariz yang melanjutkan langkahnya ke arah pagar rumah dan berjalan menuju masjid. Di masjid tampak ramai. Terlihat dari sendal-sendal jepit yang berserakan di halaman depan masjid. Hari ini malam sangat cerah, hingga tidak heran semakin banyak anak yang datang mengaji. Aariz segera mempercepat langkahnya masuk masjid. Bu Nirmala, Bahia dan Azzura pasti kewalahan mengajar semua anak, santri putri dan putra. “Assalamualaikum... “ Suara Aariz memecah kebisingan anak-anak. “Waalaikumsalam... “ Semua orang di mushola langsung menoleh, kecuali Azzura yang tampak kewalahan mengajar anak-anak. Aariz berjalan mengambil meja, tidak butuh waktu lama sebagian anak laki-laki yang belum mengaji langsung duduk berbaris di hadapan Aariz. “Loh, kamu di sini,” kata bu Nirmala, sedikit terkejut dengan kedatangan Aariz. Begitu pun Azzura yang baru menyadari kehadiran Aariz. “Bagaimana keadaan Delshad ?” tanya bu Nirmala. “Ada Giffari yang menjaga Delshad, Bu. Delshad sedang beristirahat tadi,” jawab Aariz. “Biar saya yang ambil alih mengajar ngaji santri putra, Bu.” Bu Nirmala mengangguk, mengerti. “Kalo gitu, biar Ibu dan Bahia mengajar santri putri. Kamu dan Azzura mengajar santri putra,” Bu Nirmala bangkit dan berjalan ke sisi pembatasan khusus santri putri. Dalam diam Azzura menatap kepergian bu Nirmala. “Tidak masalah, jika ingin ikut bu Nirmala ke tirai pembatas,” kata Aariz. Tidak ada yang salah dari perkataan Aariz, suaranya terdengar pelan namun entah kenapa terdengar tidak nyaman di telinga Azzura. Telinga Azzura terusik, dan spontan menoleh pada pemilik suara. Sang pemilik suara tidak bertanggung jawab. Seperti biasa setelah mengatakan kalimatnya, Aariz tidak pernah menunggu respon lawan bicaranya. Aariz menunduk, matanya fokus pada santri putra di hadapan yang sedang membaca iqro dengan suara nyaring. Sama sekali tidak menunggu responden Azzura sedikit pun. Azzura menghela nafas, ia memilih untuk tidak memberi tanggapan atas pernyataan Aariz. Mood Azzura tidak terlalu baik malam ini. Kejadian sebelum sampai ke masjid memakan ruang besar di dalam kepala Azzura. Menguras semua fokusnya dan mentalnya. Azzura mencoba untuk fokus dan kembali tenggelam dalam kegiatan mengaji, Ia harus menyelesaikan barisan anak yang duduk bersila di hadapannya menunggu giliran. Baru sebentar fokus itu datang, tiba-tiba ia menghilang lagi. Azzura membuang nafas pendek, berkali-kali. Azzura berharap potong-potongan ingatan itu bisa segera berterbangan dari kepalanya. Namun semakin di coba, lagi-lagi semakin banyak potongan itu, menyita ruang fikiran Azzura. Tanpa sadar Azzura terhanyut dalam potongan kejadian itu. Azzura di kejar deadline tugas. Tugas Azzura telah selesai namun hilang dan besok harus di kumpul. Azzura menyuruh Bu Nirmala dan Bahia, pergi duluan. Azzura harus menyelesaikan tugasnya dulu. Beruntung Azzura masih menyimpan salinan kasar dari tugasnya. Azzura butuh waktu untuk kembali menyalinnya. Bahia dan bu Nirmala menolak untuk pergi duluan ke masjid. Dan bersikeras menunggu Azzura dengan alibi—sama seperti ibu lainnya, bu Nirmala terlalu mengkhawatirkan Azzura. “Kita berangkat bareng aja. Ibu agak gak nyaman sama gerombolan remaja laki-laki yang akhir-akhir ini suka ngumpul di dekat belokan itu. Mereka terkenal badung, dulu biasanya suka ngumpul di pinggir jalan. Tapi gak tahu kenapa sekarang, mereka sering ngumpul di jalan itu. Ibu suka perhatian gerak-gerik mereka setiap kita lewat, mereka liatian kalian terus.” Seperti inikah rasa bahagia dikhawatirkan seorang ibu— batin Azzura. “Iya, Zur, kita berangkat bareng aja. Kamu kan tahu kalo setelah magrib di sini tuh sepi banget. Gak safety ...” Bahia menambahkan. “Kalo gitu, Azzura bakal lewat pinggir jalan. Biar Ibu dan Bahia gak khawatir. Gimana ?” tawar Azzura. Bahia sudah hendak mengeluarkan kalimat penolakan, Azzura tahu itu. Azzura bergerak cepat. “Kasihan anak-anak kalo nunggu lama... tugas ini lumayan memakan waktu,” kata Azzura. Bahia dan bu Nirmala mulai menimbang perkataan Azzura. “Kalo begitu... bener ya Zur, kamu lewat jalan besar ?” tanya Bahia. Azzura mengangguk, semangat. “Ya udah, Ibu sama Bahia duluan ya, Nak... Assalamualaikum.” “Iya, Bu... Waalaikumsalam, “ jawab Azzura, gadis itu kini fokus menatap layar lebar di hadapannya. Dua puluh menit, Azzura telah selesai menyalin berkas miliknya di dalam file tugas. Segera Azzura menyimpan semua buku dan berkas di lemari dan bersiap pergi ke mushola. Azzura melirik jam di dindingnya. “Hem....apa harus lewat jalan belokan biar cepat ?” gumam Azzura, menimbang. “Baiklah.” Azzura meraih tasnya. “Bismillahi, tawakkaltu ’alallah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD