Tidak Penting

1740 Words
"Taaruf. Om Ustadz masih biodata kamu pake apa? Pake bunga? Atau cokelat? Di tempat yang gimana? Banyak lampu-lampu warna-warni atau kembang api di langit ??” Lisa bersemangat membayangkan adegan-adegan itu seperti di film. “Om Ustadz gak mungkin cuman ngasihin kertas sambil bilang, ‘Ini profil biodata aku.’ Itu gak romantis.” Lisa lalu tertawa sendiri. Kepala Azzura mengangguk, membenarkan tebakan tepat Lisa. “Ha? “ Tawa Lisa langsung sirna, ia menghela nafas panjang. “Ckckckckck.... Om mah, gitu. Idih gak romantis banget. Udahlah Zur, aku hasut kamu buat nolak om Ustadz.” Azzura tersenyum. Tidak ada yang salah dengan cara kemarinkan? Bagi Azzura itu terasa spesial, bukan karena caranya tapi karena orangnya. Azka. “ Setelah satu minggu, insyallah aku udah yakin mengenai jawabnya Lis.” “Serius?” Mata Lisa membulat sempurna. “ Azzura mengangguk mantap. Tidak ada alasan bagi Azzura untuk menolak pria sebaik Azka. Setelah seminggu, terus melaksanakan salat istiqoroh, meminta pentujuk pada sang maha kuasa untuk mengambil keputusan. Azzura menyakini hatinya, ia harus mengambil langkah raksasa untuk mulai berdamai dengan masa lalunya. Dan menikah adalah langkah awalnya. “Kamu datang besok kan? “tanya Azzura. Lisa mengangguk-ngangguk, tapi bukan mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Azzura. Gadis itu mengangguk, mengingat bahwa Om Ustadz pernah meminta Lisa dan mamanya untuk ikut mereka. Katanya acara keluarga. “Jadi kamu nerima Om Ustadz? “ “Insyallah... “ “Hem. Oke. Kalo gitu aku bakal datang, tapi sebagai pihak perempuan. Aku gak mau di pihak om Ustadz, gak asik.” “Kok gitu? “ “Iya, aku mau di pihak kamu aja. Pasti aku sangat berguna buat bantu-bantu acara lamaran kan? Boleh ya? Boleh ya? “ Lisa memasang jurus andalannya. Azzura mengangguk. “Yeyeye....mari kita siapkan segalanya.” kata Lisa. “FIGHTING!!! “ teriak gadis itu heboh. “Aku benar-benar bersemangat.. Huft, coba dengar, jantungku baru dapat mesin baru. Ia berdetak sangat cepat. Omg, i very excited ...omo... omo.” Begitulah Lisa, gadis penuh tawa namun rapuh. **** Sore telah datang menyapa. Terdengar suara gesekan antara sapu lidih dan tanah. Azzura pelaku pembuat suara itu, gadis itu tengah menyapu daun-daun kering yang berjatuhan. Di temani Bahia yang duduk mengerjakan tugas di pondok-pondokan. “Zur, minum dulu. Kamu gak lelah dari tadi...” Bahia mengalihkan matanya pada layar laptop menatap Azzura yang terlihat sangat sibuk. “Entar, Iah. Lagi nanggung, tinggal dikit lagi....” “Emang ada yang mau datang ya? “ “Ha? “ “Huft, mata aku lelah banget.“ Bahia mengucek pelan matanya, gadis itu membuka kacamata anti radiasi. “Eh, Assalamualaikum...” sapa Giffari. Bahia dan Azzura kompak menjawab salam bersama. “Mau murojaah ya Gif ? Murojaah aja di sini. Udara sore ini sejuk banget. Adem. Enak buat murojaah. Aku sama Azzura bentar lagi selesai.” Giffari mengangguk. Ia duduk di ujung kanan pondokan, sedangkan Bahia duduk di sebelah ujung kiri. Ketiganya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahia berkutat dengan laptop, Azzura dengan daun-daun kering sedangkan Giffari dengan Al-Qur’annya. “Assalamualaikum. Lagi ngumpul ya?” sapa Delshad yang baru saja pulang dari kampus, di sebelahnya terlihat Aariz. “Waalaikumsalam,” sahut Bahia dan Giffari. Kewajiban Azzura menjawab salam sudah terwakili, Azzura hanya menoleh saja dengan tangan yang masih setia pada gagang sapu lidih. “Baru pulang ya? “tanya Giffari berbasa-basi. “Pulang bareng? “ “Gak, tadi ketemu di ujung jalan,” jawab Aariz. “Duduk dulu yuk, Riz,” ajak Delshad. Aariz setuju, mereka lalu mengobrol ringan. Bahia sesekali ikut obrolan keduanya, sedangkan Azzur tetap fokus pada taman dan bunganya. “AZZURA........ “ teriakan itu menarik perhatian semua orang. Bahia, Delshad, Aariz dan Giffari menoleh duluan, lalu di susul Azzura yang paling akhir. Terlihat seorang gadis berambut sebahu tengah melambai heboh ke arah Azzura. Gadis itu tidak lain adalah Lisa. Bahia tersenyum dan langsung menghampiri Lisa. Mengajak gadis itu berjalan menuju Azzura. “Assalamualaikum semua... “ sapa Lisa heboh seperti biasanya. “Waalaikumsalam.” Azzura menjawab duluan lalu di susul Delshad, Giffari dan Aariz dengan suara pelan. “Lagi pada ngumpul, ya? Wah, pas banget, aku bawa banyak makanan untuk semua orang.” Lisa mengeluarkan lima kotak martabak manis. “Kamu bawa sebanyak ini? “ Bahia menatap takjub lima kotak martabak di hadapannya. Lisa mengangguk semangat. “Inikah hari bahagia. Kita bakal makan martabak ini bersama.” “Tapi sayang kalo entar gak habis. Bisa mubazir. Orang di sini cuman sedikit, dan martabak sebanyak ini terlalu berlebihan,” potong Delshad. Lisa refleks menatap Delshad. Delshad gelabakan dan cepat-cepat menurunkan pandangan matanya, menghindari tatapan Lisa. “Eh, btw, aku belum kenalan sama kalian. Nama aku Lisa, temannya Azzura.” Lisa hendak menjulurkan tangannya pada Delshad, namun ia urungkan karena teringat perkataan Azzura. Lisa lantas melipat tangannya di depan d**a. Persekian detik, Delshad diam, lalu perlahan senyum muncul di wajahnya. “Delshad.” “Dan kalian? “ “Ana Giffari dan ini Aariz.” Giffari tahu, bahwa Aariz selalu malas memperkenalkan dirinya pada orang lain. “Senang kenal kalian. Btw kalian kuliah di kampus yang sama kayak Azzura kan? “ “Iya, Lis,” jawab Giffari mewakili, kedua temannya. “Kamu kuliah di sana jugakan? Jurusan apa? “ tanya Delshad. “Teknik mesin. Semester tiga.” Mata Delshad spontan melebar. Lisa tertawa melihat respon Delshad. “Tenang, aku bukan senior galak yang gila hormat kok. Meski aku senior di kampus, kalian gak perlu panggil aku dengan ambel-ambel ‘Kak’ panggil Lisa aja. I like my name.” Delshad mengangguk. “Eh, rupanya ada tamu... “ Suara bu Nirmala terdengar. Ibu Nirmala berjalan mendekat pada mereka. “Bu.” Lisa langsung meraih tangan bu Nirmala dan menyaliminya. “Bu, ini Lisa. Gadis yang kemarin Zura ceritain, mau nginep di sini malam ini.” “Oh iya, ibu ingat.” Bu Nirmala tersenyum. “Semoga kamu nyaman ya di sini. Azzura udah ceritakan kalo di sini, setiap malam dan pagi di putar murotal Al-Qur’an, semoga itu gak nganggu kamu ya.” “Gak kok, Bu. Di rumah Mama juga sering putar murotal Al-Qur’an.” “Kamu muslim? “ tanya Bu Nirmala, tampak terkejut. Lisa tertegun. Sekilas ia memperhatikan penampilannya sendiri, lalu menangguk pelan seraya menarik senyum di bibirnya. “Iya, Bu... heheheh, alhamdulillah.” “Ya Allah, maaf ya, Nak. Ibu gak maksud Ibu pikir... “ “Gak papa, Bu.” Lisa tersenyum tulus. Bukan salah siap pun jika orang mengiranya bukan seorang muslimah, karena nyatanya ia sendiri yang tidak mau memakai identitasnya itu. “Bu, Lisa bawa martabak manis kesukaan Ibu. Kita makan bersama yuk, Bu,” kata Azzura memecah kecanggungan yang ada. Bu Nirmala tersenyum, lalu duduk bergabung dengan yang lain di pondokan. Azzura bergabung setelah mencuci tangan dan kakinya. Mereka menikamati martabak manis dengan canda dan obrolan ringan. Tiba-tiba ponsel Azzura berdering. Azzura memisahkan diri untuk mengangkat ponselnya, di ponselnya tertera panggilan masuk dari Kakaknya. “Assalamualaikum, Kak.. “ “...” “Rasanya tidak ada alasan untuk Azzura menolak lamaran Azka. Insyaallah Azzura yakin Kak.” “....” “Iya Kak.” Azzura sudah mengatakan semuanya pada kakak, ayah dan ibunya mengenai taaruf ini. Ayah dan Kakak sangat antusias menyambut hal itu meski ibu Azzura tetap tidak peduli bahkan menolak untuk datang. Ibu dan Ayah tidak akan datang, sebagai gantinya, kakak dan kakak ipar Azzura yang datang sebagai wali bagi Azzura, besok. Azzura juga sudah bercerita pada bu Nirmala, beliau banyak memberikan wejangan dan nasihat membuat Azzura bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. Azzura sudah menderita pada semua orang, kecuali Bahia dan yang lainnya. Azzura terlalu bingung untuk menyampaikan kabar gembira ini. Di pondokan tersisi Delshad, Bahia, Aariz, Giffari dan Lisa, yang masih asik membicara ringan. Sedangkan bu Nirmala undur diri untuk pergi ke dalam rumah. “Eh, ini masih ada dua kotak lagi, mau di apain ya? “Lisa berpikir keras. “Hem, gimana entar malam kita bawa ke pengajian aja, anak-anak pasti suka martabak,” usul Bahia. “Ana setuju, “ sahut Giffari. Delshad dan Aariz mengangguk, ikut setuju. “Sipp, unlimited like buat Bahia.” Lisa mengangkat tinggi dua jempol tangannya. “Eh, Azzura ke mana ya? Lama banget teleponannya,” celetuk Bahia. Lisa tersenyum. “ Biasalah calon pengantin, palingan lago bahas tentang konsep resepsi.” “Ha? Pengantin? “ Lisa mengangguk. “ Gadis flower belum kasih tahu ya? Kalo gitu, aku bakal kasih tahu. Besok om Ustadz bakal ke sini buat ngelamar Azzura. Nah, makanya aku nginep di sini. Aku mau bantu-bantu Azzura buat proses lamaran besok.” “Om Ustadz ? Om kamu? Azka? “ tanya Bahia, beruntun. “Iya.” “Om ? “ Giffari membeo. Panggilan ‘Om' di dalam pikiran Giffari adalah pria paru baya yang sudah tua, sedikit genit dan lebih pantas menjadi ayah Azzura ketimbang suami. “Azzura nikah sama om-om? “ Delshad dengan polosnya melemparkan pertanyaan yang sedang terlintas di benak Giffari. Bahia dan Lisa, kompak tertawa. Delshad dan Giffari mulai merasa bahwa mereka mungkin terlalu berlebihan memaknai panggilan ‘Om' “Ada apa? “tanya Azzura yang baru saja kembali. “Ini karena kamu, Zur.” Bahia menjawab. “Aku? “ “Iya. Kenapa kamu gak kasih tahu aku kalo kamu besok mau lamaran? Kamu juga gak cerita perihal taaruf kamu dengan Om Ustadz.” Lisa tersenyum, malu. Rasanya ia masih belum berani membahas ini secara umum seperti ini. “Maaf... “ “Hem. Baiklah maaf di terima. “Bahia tersenyum. “Selamat ya, semoga disertakan ke jenjang pernikahan. Aamiin. “ “Aamiin.” kompak Delshad dan Giffari sedangkan Aariz hanya diam saja. Aariz tampak acuh, ia tidak bergabung dalam perjalanan itu. Aariz hanya diam sembari menghabisi satu potong martabak di tangannya. “Selamat ya, Zur. Akhirnya kamu ketemu pangeran berkuda kamu,” kata Giffari. “Selamat ya, Zur.” Delshad ikut memberi selamat pada Azzura. “Besok acara lamarannya kan, Zur? “ tanya Delshad memastikan. “Aku siap kalo di butuhkan buat bantu-bantu.” “Iya, ana juga siap,” timpal Giffari. Azzura tersenyum. Matanya tanpa sengaja teralihkan pada Aariz. Aariz tampak acuh. Ia seolah tidak peduli tentang apa pun yang berhubungan dengan Azzura. Ia malah sibuk mengunyah martabak di tangannya. Seolah hal itu lebih penting dari kabar lamaran Azzura. Setidaknya, mereka sudah seperti keluarga bukan? Kenapa Aariz seolah tidak mengenal Azzura? Apa sebesar itu rasa bencinya ?—batin Azzura bersuara. “Riz, kamu besok gak ada kuliah kan?” tanya Giffari tiba-tiba. Aariz berpikir sejenak. “Kenapa? “ “Kamu mau ikut jadi pihak penyambut tamu gak? “ “Hem...Iya,” jawab Aariz seadanya. Pria itu lalu menghabisi satu gigitan martabak di tangannya. Ia lalu kembali diam. “Eh, btw, kata om Ustadz, dia udah kenal kamu dari sebelum aku kenalan kamu ke om Ustadz, iyakah ?” “Iya. Aku kenal beliau di pengajian masjid di dekat kampus. Beliau selalu menjadi pembawa materi.” “Oh gitu, Jadi ceritanya, cinta bersemi di masjid..” goda Bahia dan Lisa. Giffari dan Delshad ikut menyemaraki dengan tertawa. Wajah Azzura memerah, karena malu. “Kalian berisik sekali,” kata Aariz tajam, menghentikan tawa semua orang. Aariz lalu bangkit dari duduk. “Aku rasa tidak ada yang penting di sini. Aku akan kembali ke kamar. Aku pamit. Terima kasih untuk martabaknya, Lisa.” “Iya.. “jawab Lisa tidak lupa membalas senyum yang sempat bertengker sepersikian detik di wajah Aariz. ‘Rasanya tidak ada yang penting di sini' entah kenapa kalimat itu mengiang-ngiang di kepala Azzura. Seolah ada makna baru yang berusaha Azzura temukan, dari pada kenyataan bahwa Aariz membencinya. Hingga mendengar tentang Azzura adalah sesuatu yang amat tidak ia sukai. “Tidak penting !” desis Aariz., pelan nanum mampu menusuk relung hati Azzura
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD