Pikiran yang Tidak Sadar

1123 Words
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran. Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana dan memulai hidup barunya. Tiga atau empat bulan memang waktu yang lama, tapi Ayu harus menerima, karena memang hanya itu yang bisa dilakukannya. Menjalani dua pekerjaan sekaligus tentu tidak akan mudah, karena berarti Ayu harus berangkat pagi dan pulang larut, tapi sekali lagi, ini adalah pilihan terbaik untuk bisa pergi dengan cepat dari rumah ini. Ayu melewati kamar Hide, lalu mencondongkan tubuh mendekati pintu shoji, mencoba untuk mendengar apakah pamannya itu sudah pulang atau belum. Kamar gelap gulita itu tidak menunjukkan gerakan. Ayu tidak bisa menebak apakah Hide sudah pulang atau belum. Ayu tentu saja berharap Hide belum pulang, jadi keterlambatannya ini tidak akan mengundang masalah. Seharusnya Ayu menyiapkan makan malam, tapi tentu sekarang sudah sangat terlambat. Setelah berdiri beberapa lama di depan kamar itu, Ayu akhirnya memutuskan jika tidak ada siapa pun di dalam sana. Tidak terdengar gerakan maupun suara dengkuran halus dari kamar itu, jadi kemungkinan besar Hide belum pulang. Kemungkinan dia akan pulang larut seperti kemarin. Ayu mengembuskan napas lega. Paling tidak, keterlambatannya tidak berubah menjadi kesalahan. Dia tidak melakukan kesalahan jika Hide belum pulang, karena berarti dia tidak perlu menyiapkan makan malam. Ayu berjalan dengan lebih santai, menuju kamarnya, melewati taman di pusat rumah itu—yang berisi kolam ikan. Tapi saat melewati ruang tengah, langkahnya terhenti. Sudut matanya menangkap benda di keremangan. Ayu berbelok, dan menghidupkan lampu dengan menarik tali yang tergantung. Kini matanya dengan mudah memandang sekitar, dan terfokus pada benda berwarna hitam. Itu adalah pesawat telepon. Tentu saja Ayu sudah tidak ingat kapan terakhir kali dia memakai telepon itu, yang jelas sudah sangat lama. Kehadiran ponsel menggerus fungsi dari telepon itu, dan Ayu melupakannya dengan mudah, meski dulu pernah memakainya untuk mengobrol selama berjam-jam dengan Rie—salah satu teman sekolahnya dulu. Meski tidak terlalu berguna, tapi Ayu tahu benar jika Hide masih memfungsikan telepon itu. Ayu pernah bertanya kenapa dia tidak mencabut langganan telepon itu, dan Hide mengatakan lebih menyukai telepon yang sederhana itu daripada ponsel, dan masih memakainya—meski ia sendiri sudah memiliki ponsel. Pemikiran yang diejek oleh Ayu dulu, tapi sekarang Ayu bersyukur, karena keanehan Hide memberinya kesempatan. Ayu bersimpuh di hadapan meja kecil yang menjadi tempat telepon itu berada, lalu menimbang apakah dia harus melakukan niatnya atau tidak. Ayu ingin menghubungi Kaito, dan memperoleh kejelasan tentang hubungan mereka. Ayu tidak bisa membiarkan Kaito berpikir jika dirinya adalah istri murahan. Sebisa mungkin Ayu ingin menjelaskan pada Kaito sendiri apa yang terjadi. Ayu sungguh berharap Kaito tidak mendengar kata-kata ibunya kali ini, terutama yang berkaitan tentang dirinya dan Hide. Dan telepon itu adalah kesempatan Ayu yang belum memiliki ponsel, untuk menjelaskan pada Kaito secepatnya. Sebelum Kaede semakin parah meracuninya. Ayu mengangkat gagang telepon, dan menelan ludah. Tenggorokanya kering karena tegang. Ayu melirik ke arah jam dinding, tengah malam lewat. Kaito kemungkinan sudah di rumah. Ayu tahu persis jika letak pesawat telepon yang ada di rumah keluarga Nakamura, sedikit jauh dari kamar Kaede, dan lebih dekat dengan kamar Kaito. Ayu berharap Kaito mendengar dering itu dan mengangkatnya terlebih dulu, sebelum Kaede atau yang lainnya. Rencana nekat, tapi bagi Ayu rencana itu masih terdengar bagus dibanding tidak melakukan apapun sama sekali. Lagi pula saat ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan terulang. Ayu tidak tahu kapan akan mendapat kesempatan memakai telepon itu tanpa diketahui Hide. Dan lagi, besok dia akan sibuk bekerja. Akan sangat sulit memperoleh kesempatan menelepon Kaito setelah itu. Ayu akhirnya menempelkan gagang telepon di telinga, lalu perlahan menyentuh angka dua dan memutarnya. Pesawat telepon itu memang bermodel kuno, jadi Ayu harus memutar nomor yang ada di permukaannya untuk membuat panggilan. Jantung Ayu berdegup, memacu kencang saat terdengar nada tersambung. Meski sudah yakin Hide tidak ada di rumah, tapi Ayu masih memandang sekitar untuk memastikan. Belum lagi Ayu juga tegang karena tidak tahu siapa yang akan menjawab panggilan di rumah Nakamura. “Moshi-Moshi?” Setelah nada panggil itu berbunyi sekitar sepuluh kali, akhirnya terdengar jawaban dari seberang. Dan Ayu ingin melompat gembira, karena ternyata memang Kaito yang menjawab. Ayu tentu saja mengenali suaranya, meski terdengar berat karena mengantuk. “Kaito… AH!” Tangan terulur dan merebut gagang telepon dari Ayu, membuatnya melonjak dan memekik terkejut. Lalu tangan itu dengan kasar mencabut seluruh pesawat telepon beserta kabelnya dari dinding, dan melemparkannya ke arah kolam ikan yang ada di taman. Suara benturan sekaligus air yang menciprat ke segala arah, terdengar sepersekian detik berikutnya. Ayu sesaat memandang ke arah kolam dan juga pesawat telepon—yang sudah jelas rusak dan tidak mungkin digunakan, lalu beralih pada Hide yang berdiri dengan wajah murka, memandangnya. Ayu langsung melompat menjauh dengan ketakutan, sambil mendekap tubuhnya sendiri. Ayu merangkak ke sudut ruang tengah, sejauh mungkin dari Hide, lalu berdiri dengan tegang. “Kau menghubungi siapa?!” Suara Hide menggelegar murka. Ayu menghindari pandangannya, dan menunduk menatap tatami di bawah kakinya. Tangannya tanpa henti kembali saling meremas karena takut. “Kau masih menghubungi suami pengecut itu?! Sudah aku katakan jangan berhubungan lagi dengan keluarga b******k itu! Apa yang kau rindukan dari mereka?!” bentak Hide. Ayu semakin merunduk. Bentakan tidak akan membuatnya bicara. Yang ada Ayu semakin ketakutan. Ayu bisa menghirup aroma sake dari tubuh Hide, dan ini jelas membuat Ayu ingin meninggalkan ruangan saat itu juga. Hide mabuk. Tapi sayangnya, sosok Hide telah menutup jalan keluar dari ruang tengah itu, dan kini Hide berjalan dengan terhuyung mendekati Ayu. “Apa kau merindukan hinaan dari mulut keji mertuamu itu?! Aku bisa memberikannya. Jika kau memang merindukan hinaan keji itu, aku bisa menggantikannya mencacimu setiap hari. Itu yang kau inginkan?!” hardik Hide. Ayu menggeleng, sambil bergeser menjauh. “Oh, apa kau merindukan pelukan pria lemah itu? Aku juga bisa memberikannya, setiap hari pun tidak masalah! Aku akan memelukmu!” Hide semakin mendekati Ayu, dengan tangan terulur. “Jangan!” Ayu berusaha menghindar, tapi Hide berhasil menangkapnya, dan mendorong Ayu sampai punggungnya menabrak dinding. “Ini bukan yang kau inginkan? Aku akan memberikannya saat ini juga!” Hide menarik tengkuk Ayu, lalu melumat bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD