Kehidupan yang Seharusnya Lebih Tenang

1135 Words
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah. “Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar. Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping. Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu. Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata. Ayu merasa sangat sendiri, dan dunia terasa begitu menakutkan. Ini perasaan yang menerjangnya saat melihat bagaimana Kaito hanya diam, dan Kaede mengatakan hal keji tentang dirinya. Dan kini, Hide membuatnya merasakan hal yang sama. Ayu tidak mengerti kenapa semua orang memilih berlaku keji padanya. Pikiran liar Ayu bahkan bermuara pada kemungkinan jika ini semua adalah salahnya. Ayu tidak tahu kesalahan apa yang dibuatnya, tapi dengan adanya kesalahan, setidaknya sikap buruk semua orang kepadanya menjadi masuk akal. Terutama untuk Hide. Ayu ingin tahu kesalahan apa yang dibuatnya, sampai membuat Paman yang seharusnya selalu lembut itu menjadi begitu berbeda. Hanya dalam masa dua tahun pernikahannya, Hide seolah berganti jiwa dengan setan. Ayu akhirnya merangkak dan mengambil selimut, menutupi seluruh tubuhnya, lalu meringkuk di sudut kamar. Ayu tidak menggelar futon, dan berbaring begitu saja di atas tatami. Ayu merasa tubuhnya terlalu lemas untuk melakukan pekerjaan apa pun, bahkan jika itu hanya untuk menggelar futon. Ayu memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Dia harus tidur, karena besok adalah awal yang baru untuknya. Awal di mana kehidupannya menjadi lebih baik. Atau seharusnya seperti itu. *** SEBULAN KEMUDIAN “Jaa ne!” (Sampai jumpa!) Ayu membalas ucapan berpamitan salah satu temannya yang juga bekerja di toko swalayan itu dengan bungkukan tubuh. “Ayumi, kau tidak harus sesopan itu padaku.” Temannya yang bernama Sakura itu tampak tertawa geli. Usia mereka tidak jauh berbeda dan pekerjaan mereka sama. Tentu adalah berlebihan jika Ayu sampai membungkuk seperti itu. Ayu tersipu, lalu melambaikan tangannya pada Sakura, sebelum berbalik kembali ke dalam toko. Ayu sudah sangat terbiasa untuk membungkuk setiap kali ada yang menyapanya di dalam toko swalayan. Itu yang membuatnya dengan mudah membungkuk akhir-akhir ini. Setelah hampir satu bulan bekerja di toko itu, Ayu sudah berapa ribu kali membungkuk. Swalayan itu cukup ramai. Mereka menerima paling tidak ratusan konsumen setiap hari. Itu berarti sejumlah itu juga terkadang Ayu harus membungkuk setiap harinya. “Ayumi, tolong kau susun ini. Baru saja sampai. Ingat, lihat tanggal kadaluarsanya.” Pria setengah baya melambai kepada Ayu, sambil menunjuk kardus yang berisi tumpukan bento box. Tugas Ayu adalah menata barang-barang untuk display di dalam toko, dan yang paling sering berganti tentu saja adalah bento box. Ada dua kali pengiriman—setiap pagi dan sore. Dan sore ini, Ayu yang bertugas menyortirnya. Tugasnya tidak terlalu berat, hanya saja Ayu harus sangat teliti memperhatikan tanggal kadaluarsa. Bento box yang dijual di swalayan itu selalu dalam keadaan segar, dan biasanya hanya bertahan setengah hari sampai satu hari. Pada saat sore seperti ini, Ayu harus menyingkirkan bento box yang sudah kadaluarsa dan menggantinya dengan yang baru datang. Kini, dengan cepat, Ayu kini mulai memilah dan menata bento box sesuai dengan urutannya harga. “Aku menyukai caramu bekerja. Kau sangat cekatan. Hanya perlu sekali contoh dan kau sudah mengerti.” Pria tua yang bernama Kazuo itu memuji Ayu sambil mengangkat jempolnya. Dia adalah manajer di toko itu sekaligus pemiliknya. “Terima kasih,” kata Ayu, dan tentu saja membungkukkan badannya kembali. Kali ini bungkukkannya tidak salah sasaran. Kazuo mengangguk lalu menepuk punggung Ayu sebelum berjalan meninggalkannya. Membiarkan Ayu menyelesaikan pekerjaan. Ayu kembali meraih bento box, kali ini dengan wajah ceria. Tentu saja pujian itu membuatnya gembira. Pekerjaan di swalayan ini melelahkan—sama seperti pekerjaannya di restoran, tapi Ayu lebih menyukai pekerjaan di swalayan ini, karena orang-orang yang ada di sini sangat ramah padanya. Sakura, Kazuo, dan beberapa temannya di situ cukup ramah. Setiap jam istirahat, mereka mengerumuninya, dan selalu bertanya tentang banyak hal---terutama tentang Indonesia. Setelah tahu Ayu adalah blasteran dari Indonesia, mereka selalu bertanya tentang negara asalnya itu. Mulai dari makanan sampai kebiasaan hidup---padahal Ayu tidak ingat lagi seperti apa hidup di Indonesia. Tapi keramahan itu yang membuat Ayu betah. Bahkan Ayu mulai merasa lebih nyaman berada di toko ini, daripada berada di rumah Hide. Setelah malam kejadian yang membuat Ayu semakin ketakutan itu, sebisa mungkin Ayu menghindari Hide. Saat pagi, Ayu berusaha bangun sangat awal, dan menyiapkan sarapan sebelum Hide bangun. Ketika Hide bangun, Ayu sudah meninggalkan rumah untuk bekerja. Jam pulang Hide, bahkan lebih malam dari Ayu, jadi mereka juga tidak akan bertemu saat malam. Untuk makan malam, Ayu memasak saat pagi juga, lalu meletakkannya di dalam kulkas. Ayu menempelkan pesan untuk Hide di pintu kulkas, memintanya untuk menghangatkan makan malam dalam microwave—jika memang membutuhkan. Sejauh ini tidak ada keluhan maupun amarah. Tapi bisa jadi keluhan ataupun amarah itu tidak tersampaikan, karena mereka tidak bertemu. Dan itu keadaan yang sempurna untuk Ayu. Dia bahkan sedang tidak ingin memandang Hide saat ini. Ketakutannya telah menumpuk dan menjamur. Ayu tidak sabar menunggu bulan ketiga nanti, agar bisa segera meninggalkan rumah itu. Ayu menggelengkan kepala, untuk bangun dari lamunan, dan kembali berkonsentrasi memeriksa tanggal kadaluarsa. Dia harus mempertahankan pekerjaan ini jika ingin bebas. Terlalu sibuk berkonsentrasi, Ayu sama sekali tidak melihat sosok yang saat ini memandangnya dari jarak kurang lebih dua puluh meter. Ada dua orang berdiri di depan toko, memandang Ayu lewat dinding kaca bagian luar. Salah satu dari kedua pria itu adalah Hide, yang memandang Ayu dengan wajah mengernyit. “Apa yang akan kau lakukan sekarang? Ah… Aku salah bertanya. Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan? Kau tidak bisa diam saja berdiri di sini. Kalau kau ingin bicara padanya, sebaiknya masuk saja.” Teman Hide yang ada di sebelahnya, berbisik sambil memandang sekitar. Mereka sejak tadi berdiri diam di sana. Tentu saja khawatir jika ada orang yang memergoki dan menganggap mereka aneh. Hide menggelengkan kepala, lalu begitu saja berjalan meninggalkannya. Hide tidak ingin menyapa atau bicara, dia hanya ingin melihat bagaimana keadaan Ayu. Lalu sekarang Hide jengkel, karena Ayu terlihat baik-baik saja. Tadinya Hide berharap Ayu akan terlihat lelah, atau mungkin menderita dan pada akhirnya akan menyerah. Hide tentu tahu jika selama ini Ayu belum pernah bekerja satu kali pun. Karenanya, Hide berharap Ayu akan menyerah setelah beberapa hari bekerja. Tapi setelah satu bulan berselang, ternyata Ayu tidak menyerah. Bahkan terlihat baik-baik saja. Keceriaan Ayu itu membuat Hide jengkel. Kini dia harus berpikir bagaimana cara untuk membuat Ayu berhenti bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD