Bukan Paman yang Dulu

1245 Words
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage. Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit. Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu mengepalkan tangan. Kali ini untuk menahan perasaan lega berlebihan yang mengalir dalam tubuhnya. Perasaan Ayu bercampur aduk tentang perpisahannya ini. Tentu saja dia sedih karena harus berpisah dari Kaito tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, tapi sekaligus lega karena tidak akan bertemu Kaede lagi. Ayu juga tidak bisa menghubungi Kaito untuk bertanya tentang kepastian kelanjutan hubungan mereka, karena ponselnya hancur. Ayu belum membeli gantinya karena di Jepang ini, dia tidak bisa dengan mudah membeli ponsel seperti di Indonesia. Ayu teringat bagaimana Karin dulu mengeluh, karena untuk membeli ponsel di Jepang ternyata memerlukan banyak prosedur, termasuk mengisi formulir dengan menyertakan rekening bank. Bahkan ada sistem kontrak yang mengikat setiap nomor ponsel. Sistem itu mengharuskan data diri Ayu untuk jelas. Padahal statusnya saat ini serba tidak jelas. Ayu belum mempunyai alamat tetap dan status namanya juga belum jelas—apakah namanya berubah kembali menjadi Tanaka atau masih Nakamura. Itu semua akan menyulitkan Ayu untuk mendapatkan ponsel baru dalam waktu dekat. Untuk mendaftar, pertama Ayu harus memperjelas status hubungannya dengan Kaito, dan Ayu sama sekali tidak tahu bagaimana melakukannya. Pemikiran ini membuatnya kembali ingin menangis. Ayu masih berharap Kaito mendengar penjelasannya, dan namanya tetap bertahan menjadi Ayumi Nakamura. Tapi Ayu tidak yakin Kaito akan memaafkannya jika Kaede menceritakan apa yang diketahuinya. Untuk sekali ini, Ayumi kembali berharap Kaito akan mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya terlebih dulu, alih-alih percaya dengan buta kepada ibunya. “Kau akan pergi ke mana pagi-pagi seperti ini?” Ayu tersentak, dengan otomatis menjauh ke sudut dapur saat mendengar suara Hide, sambil membesit air mata yang sempat hadir saat pikirannya kembali pada Kaito. Ayu masih belum bisa berada di dekat Hide, tanpa merasa seluruh tubuhnya menjadi merinding karena ketakutan. Hide melirik, sementara Ayu menunduk. Hide berkomentar karena melihat dandanan Ayu yang rapi. Memakai rok span selutut dan blouse putih ringan. Bahkan lengkap dengan stocking. Hide sendiri baru saja bangun, rambutnya berantakan, dan hanya memakai sweat pants dan kaus. Otot tangannya tampak membusung dibalik kaus yang ketat itu, terutama saat dia mengangkat gelas untuk minum. “Apa kau bisu dengan tiba-tiba?” Hide menggeram tidak sabar, karena Ayu tak juga menjawab setelah dibiarkan beberapa lama. “Aku akan keluar hari ini.” Ayu sekaligus meminta izin. “Ke mana?” tanya Hide. “Mencari pekerjaan.” Ayu tidak bisa melihat wajah Hide secara langsung, tapi bisa membayangkan bentuk wajah Hide saat mendengar dengusan napasnya. Alis Hide yang berwarna gelap dan tebal itu, saat ini pasti sedang menyatu karena mengernyit. Ayu menghafal raut wajah Hide, saat dirinya membahas tentang sesuatu hal yang tidak disukainya. “Pekerjaan macam apa?” “Hanya pekerjaan biasa. Di toko atau di kantor,” jawab Ayu. Kemarin, kurang lebih Ayu mengirimkan lamarannya pada semua lowongan pekerjaan yang sekiranya cocok dengan kualifikasi pendidikannya. Ayu tidak peduli yang mana, dia akan menerimanya. “Kau pikir akan mudah mendapatkan pekerjaan?” Hide terdengar meremehkan. Dia sudah kembali bergerak, kali ini duduk di meja makan, memandang sarapan yang disiapkan Ayu. Tanpa mengkritik maupun menilai panjang sumpit, Hide mulai makan. Ayu sudah bisa menduga itu—karena tentu paham sifat Hide, tapi melihatnya makan tanpa melontarkan kritikan, menghadirkan kelegaan tersendiri. Teror Kaede mempengaruhinya jauh lebih buruk dari dugaan Ayu sendiri. “Aku ingin bekerja.” Ayu kembali menyampaikan niatnya, mengabaikan kesinisan Hide tadi. Ayu sebenarnya sudah ingin membahas hal ini dengan Hide kemarin, hanya saja Ayu tidak tahu pamannya itu pulang jam berapa. Ayu tertidur saat menunggunya. “Terserah kau saja.” Hide menjawab seadanya, sambil menghirup sup miso. Ayu merasa tanggapan itu cukup, dan lega Hide tidak banyak menanggapi. Tapi Hide kembali membuka mulut, saat melihat Ayu akan bergerak keluar dari ruang makan. “Apa kau berencana untuk menjadi kelaparan hari ini? Pergi dengan perut kosong?’ Hide membaca dengan tepat, saat melihat niat Ayu untuk keluar dari dapur tanpa sarapan. Ayu memang sudah berniat untuk membeli sandwich di stasiun, karena tidak ingin membuang waktu untuk makan. Tapi saat mendengar geraman Hide tadi, Ayu akhirnya mengambil mangkuk dan menyendok nasi ke dalam mangkuk itu. “Duduk yang benar!” Hide kembali menegur, saat melihat Ayu mencoba makan sambil berdiri. Seperti kebiasaan yang dilakukannya di rumah Kaito. Tapi kali ini untuk menghindari Hide, bukan Kaede. Dengan pasrah, Ayu melangkah pelan. Membawa mangkuk nasi dan sup itu ke meja. Dan tentu mengambil jarak sejauh mungkin dari Hide. Meskipun itu sedikit sulit, karena bentuk dari meja makan itu bulat. Di mana pun, jaraknya tidak terlalu berbeda jauh. Ayu menunduk dan mulai makan. Karena tidak ingin terlambat, maka dia mengunyah dan meminum supnya dengan tergesa-gesa, meski masih sedikit panas. Ayu selesai lebih cepat dari pada Hide. Setelah meletakkan kedua mangkok di dalam wastafel, Ayu mematung di pintu dapur yang juga berada di dekat meja makan. Mengepalkan tangannya, kebingungan. “Itte kimasu.” (Aku berangkat, dan nanti akan pulang) Ayu akhirnya berpamitan. Itu adalah kebiasaan dan selalu dilakukan Ayu dulu, tapi tidak yakin apakah perlu melakukannya juga sekarang. Ayu melirik ke arah Hide, tapi tidak tampak pamannya itu mendengar ucapannya. Ayu akhirnya berlari keluar begitu saja, mengambil sepatu lama yang telah dia siapkan dan keluar dari rumah itu. Suara langkah kaki Ayu yang berlari di lantai kayu rumah itu, menggema. Dan pada saat yang bersamaan, Hide berhenti mengunyah. “Itterasshai (selamat jalan dan kembalilah).” Hide membalas salam Ayu dalam bisikan, tapi kemudian tangannya melemparkan mangkuk nasi yang masih separuh penuh itu ke atas meja. Menghamburkan butiran nasi ke segala arah. Terlihat bibir mangkuk yang membentur meja, menjadi rompang. Hide masih duduk selama beberapa saat, sementara kepalanya menunduk dalam sunyi. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelegaan. *** Ayu membangunkan diri dari lamunan, saat dirinya tanpa sadar terhanyut dalam kerumunan orang-orang yang akan turun dari kereta cepat yang dinaikinya. Ayu membaca nama stasiun yang menyala di dinding kereta. Masih ada dua stasiun lagi sebelum tujuannya sampai, Ayu tidak boleh terbawa arus kerumunan penumpang lain. Ayu sudah terbiasa berdesakan dalam kereta pagi hari seperti ini. Dulu saat sekolah, Ayu harus berdesakan setiap hari. Berangkat bersama ratusan pekerja kantoran dan anak sekolah lain. Meski setelah menjadi istri Kaito, Ayu selalu pergi memakai mobil ke mana pun, tapi berdesakan ini tidak lagi membuatnya mengeluh. Setelah bisa berpegangan dan mengambil tempat di dekat pintu, mata Ayu terlihat kembali kosong. Tentu saja memikirkan sikap Hide tadi. Separuh hati, Ayu berharap pamannya akan membalas salam itu seperti dulu. Ayu menginginkan balasan itu, karena berharap masih ada sedikit sisa dari Hide yang dulu dikenalnya. Tapi sekali lagi pamannya telah berubah. Dan ini semakin menggelisahkan Ayu. Hide yang sekarang, tidak bisa diprediksi. Ayu menggelengkan kepala, dia harus menyingkirkan pikiran itu, karena ini adalah hari yang penting untuk masa depannya. Ayu tidak ingin menemui kegagalan hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD