Wanita yang Tertutup Selimut
“Dasar wanita sial! Kau memutus generasi penerus keluarga ini dengan kemandulanmu itu!"
Ayumi mengusap air matanya, tidak berani menampakkan diri. Terus bersembunyi dibalik dinding, sementara mertuanya lewat di lorong. Dari wajahnya, bisa terlihat kalau ia amat murka.
Amarahnya kali ini awet. Sejak tadi sebelum suaminya berangkat pagi---sampai sore. Ayumi tadi hanya mengusulkan agar suaminya ikut ke dokter memeriksa kesuburan juga, karena Ayumi sudah melakukannya beberapa kali, tapi hasilnya normal. Usulan yang diterima setara bencana, mertuanya marah, dan suaminya juga menolak, lalu meninggalkannya.
"Kau dimana? Kau tak lebih dari wanita mandul dan sakit-sakitan!" Teriakan terdengar lagi, dan Ayumi tersentak. Khawatir kalau mertuanya itu akan benar-benar menyakitinya. Ia belum pernah marah selama ini.
Ayumi mengendap mendekati pintu, secepat mungkin, tetap tanpa suara, mendekati pintu depan.
"Kau hanya memanfaatkan nama kami untuk menjadi terhormat. Tapi kau sendiri tidak berguna!” Teriakan itu diiringi suara sesuatu yang pecah.
Ayumi yang tadinya masih ragu, semakin yakin akan adanya bahaya. Ia menggeser pintu sampai membuka, lalu menutupnya sepelan mungkin. Ia berlari secepat mungkin setelah itu. Melintasi halaman. Ayumi berpakaian lengkap, memakai mantel dan sepatu, tapi hanya membawa dompet dan ponsel. Dua benda itu ada padanya karena memang Ayumi tadi berencana pergi berbelanja sore.
Hanya celaan mertuanya yang sekali lagi menusuk telinga membuat Ayu tidak tahan. Ia mencoba memberi jalan keluar, karena sudah jelas dirinya tidak mandul. Jalan keluar yang rupanya mengundang bencana.
"Taksi!" Ayumi mengangkat tangan dan taksi itu berhenti. Ayumi masuk dan menyebut alamat yang diingatnya saat ada keadaan darurat. Rumah pamannya, hanya itu tempat yang bisa dituju Ayumi. Satu-satunya keluarga yang ada di negara matahari terbit itu,
***
“Tolong turunkan saya di rumah yang itu.” Ayumi menunjuk rumah berpagar abu-abu dengan gerbang kayu dengan ornamen shinto yang antik.
“Arigatou gozaimasu.” (Terima kasih)
Ayumi turun dan disambut gelap yang dingin. Musim gugur dan malam. Angin yang menerpa tubuhnya semakin membuat Ayumi merasa letih. Pikirannya yang lelah akibat celaan, kini dibarengi lelah fisik.
Ayumi menekan bel rumah yang menjadi tempatnya tumbuh dengan tangan gemetar.
“Ya!” Terdengar sahutan, dan pintu gebang itu terbuka.
“Ayumi!” Sambutan ceria membahana, dari Karina, bibi Ayumi.
Karina menjadi bibinya bukan hanya karena menikah dengan Hideki---adik dari ayahnya, tapi Karina adalah adik kandung ibu Ayumi juga. Jarak usianya tidak jauh dari Ayumi tapi. Ibu Ayumi menikah muda, sedang jarak usia Karina dan ibunya juga jauh. Karina hanya enam tahun lebih tua dari Ayumi yang saat ini dua puluh.
“Ya, kemari.”
Dengan suara penuh prihatin, Karina menggeser pintu depan yang terbuat dari shoji ke samping lebih lebar, lalu memeluk Ayumi. Pelukan hangat yang memang dibutuhkan Ayumi. Ia memang sudah lama menceritakan pelik rumah tangganya pada Karina. Meski hanya lewat pesan, Karina tahu benar bagaimana derita Ayumi.
Karina membiarkan Ayumi menangis dalam pelukannya beberapa lama. Membiarkannya menumpahkan sesak, sebelum membawanya ke ruang tamu.
“Aku lega kau disini. Aku tidak akan bertanya kenapa atau memintamu menceritakannya.” kata Karina, sambil mengelus bahu Ayumi. Meski tidak bertanya pun, penyebabnya tidak akan jauh dari mertua jahat.
Karina sudah beberapa kali meminta Ayumi pergi, hanya Ayumi belum mampu. Ia terlalu menyayangi suaminya. Kaito bukan suami kejam tidak berperasaan. Ia memperlakukkan Ayumi dengan baik, lembut dan perhatian. Yang menjadi masalah adalah ibunya.
“Aku tidak bisa meninggalkan Kaito, Bibi,” bisik Ayumi, sambil menghapus air matanya.
“Dia tidak membelamu lagi hari ini bukan? Kau masih ingin mempertahankannya?!" Karina mendesis jengkel.
Ayumi sedikit tersentak, karena itu benar. Ayumi teringat sakit hatinya yang lain. Kaitto tidak pernah membelanya. Kaitto biasanya menghindar saat ibunya mulai mengamuk, dan meminta Ayumi mengalah, tidak melawan ibunya.
"Sudahlah. Kau disini dulu intinya. Pamanmu belum pulang, dia memang biasa pulang larut. Kita bicarakan lagi nanti." Karina bangkit sambil menepuk pelan bahu Ayumi sebelum keluar dari ruang tamu itu.
Ayumi menggangguk lalu mengamati sekitar agar tidak ingin menangis lagi. Rumah itu menjadi tempat tinggal Ayumi selama sepuluh tahun. Dari umur delapan, sampai delapan belas, sampai ia menikah dengan Kaitto. Sekarang meski pamannya sudah menikah dengan Karina selama dua tahun, tatanannya nyaris tidak berubah.
Ayumi masih melihat aneka lukisan Jepang kuno, topeng oni berwarna merah, juga katana yang menggantung. Pamannya memang berselera klasik. Ia pria Jepang tulen yang sangat menjaga budaya nenek moyangnya.
“Ini. Aku harap akan membuatmu lebih tenang.” Karina kembali, sambil meletakkan segelas s**u hangat di hadapan.
Ayumi mengangguk, dan meminumnya. s**u itu hangat, membuatnya nyaman. Sebentar saja kantuk datang. Ayumi sampai heran. Ia tidak tahu tubuhnya selelah itu sampai sedikit nyaman dari s**u bisa membuatnya mengantuk.
"Kau lelah? Istirahat di dalam. Ayo."
Ayumi tidak terlalu ingat bagaimana, tapi matanya sudah hampir memejam saat Karina menuntunnya ke kamar, dan membantunya berganti baju tidur. Ia menurut saja, dan mengikuti saat Karina menggelar futon (kasur lipat).
“Selamat tidur." Ayumi masih mendengar Karina mengucapkannya, dan setelah itu gelap. Ayumi tidak ingat lagi.
***
Hideki nyaris bersin saat hidungnya mencium aroma wangi yang tidak biasa begitu membuka kamarnya. Tidak buruk, hanya menyengat dan membuat kepalanya sangat ringan, tapi Hideki juga tidak berpikir panjang. Ia minum sake tadi, mungkin terlalu banyak walau ia tidak merasa mabuk.
Hideki membuka jas dan kemeja, sambil melirik gundukan tertutup selimut di atas futon. Hanya bayangan gelap karena kamarnya memang remang-remang.
Hideki tidak akan mengusik, dan meneruskan membuka celana, menyisakan boxer. Tapi dengan aneh kepalanya semakin terasa berkabut. Aroma manis dan wangi itu, sepertinya bukan aroma biasa. Hideki ingin mencari dari mana asalnya, tapi saat melangkah tubuhnya sedikit oleng.
"Nanti." Hideki menyerah dan menggelar futon yang lain, berbaring di samping tubuh yang tertutup selimut itu. Hideki lalu mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba ada tubuh bergerak merapat.
“Minggir, ada apa denganmu?!" Hideki mendesis kesal. Ia tidak ingin Karina mendekatinya. Tidak ada jawaban tapi terdengar desahan, lalu ada tangan terulur memeluk tubuhnya.
"Sejak kapan kau merasa boleh menyentuhku?!” Hideki semakin kesal dan menurunkan tangan yang ada di pinggangnya itu. Tapi tangan itu keras kepala, malah menarik tubuhnya semakin dekat. Hideki biasanya tidak akan terpengaruh kalau tidak sangat mabuk, tapi hembusan dan desahan itu menggoda---belum lagi tubuhnya juga mulai terasa panas.
Hideki meraih tangan di pinggangnya, lalu mendorongnya sampai telentang, dan ia bergerak naik menindih tubuh hangat yang terus mendesis itu. Hideki mengelus pipi yang embalik wanita yang memeluknya, dan bergerak naik ke atas tubuhnya. Hideki mengelus wajah wanita yang ada di bawahnya,
"Kau gatal rupanya. Kau menginginkannya?" gumam Hideki. Berpikir jika wanita itu adalah Karina---istrinya.
Desahan berat terdengar saat Hideki mengelus leher dan juga meraba tubuh di bawahnya, tapi dalam sekali raba, Hideki tahu kalau tubuh itu berbeda. Ukurannya berbeda, lebih sintal dari Karina, tangannya juga tidak bisa menangkup d**a yang biasanya pas di tangannya.
Melawan pusing dan nafsu, Hideki bangkit menghidupkan lampu. Mata Hideki yang berwarna gelap melebar saat melihat tubuh yang terbaring dan pasrah—dengan baju berantakan, dan bukan istrinya.
“Ayumi?” Hideki membelalak tidak percaya. "Kenapa kau di sini?!" Hideki nyaris kembali terjatuh akibat kejutan itu. Sejak tadi yang disentuhnya adalah Ayumi.
Dan semakin buruk. Ayumi mulai menggeliat dan mencoba membuka gaun tidur tipis yang sejak awal sudah mengundang itu.