Sad Anwar

1240 Words
Sambil menangis, Paula ceritakan apa yang dia saksikan dan dengarkan dari pembicaraan Dea dan laki-laki bernama Frans di café tempat dia menghabiskan waktunya. Dia perdengarkan juga suara Dea yang membicarakan hubungannya dengan Anwar yang hanya sebatas menginginkan uangnya saja. Paula berhasil merekam percakapan Dea dan Frans. Ternyata tidak ada cinta ataupun ketulusan dari hati Dea terhadap papanya. Dea hanya memanfaatkan Anwar untuk kesenangan dirinya, bahkan laki-laki bernama Frans yang Paula yakini adalah kekasih Dea, rupanya ikut menikmati hasil hubungan Dea dan Anwar. "Nggak usah nangis. Papa justru senang dengan adanya kejadian ini. Papa jadi bisa yakinkan hati Papa untuk melepas Tante Dea dengan segera," bujuk Anwar ke Paula yang menangisi menyesalkan percintaan papanya. Anwar tidak mau mendengar rekaman itu seutuhnya. Dia langsung menghentikannya dan menyerahkan ponsel ke Paula. "Padahal Papa sayang banget sama Tante Dea kan? Tega dia, Pa. Ingin rasanya dia kembalikan semua uang yang sudah Papa berikan sama dia," gerutu Paula yang benar-benar kesal. "Sudah. Nggak usah diungkit-ungkit pemberian. Nggak seberapa bagi Papa. Uang masih bisa dicari, tapi kepercayaan yang sulit dicari," "Papa nggak sedih?" Anwar tertawa kecil. "Tentu Papa sedih. Papa akui Papa juga sangat menyayangi Tante Dea. Dari sekian banyak yang mendekati Papa, hanya Tante Dea yang berhasil menarik hati Papa," "Artinya … Papa masih maafkan Tante Dea dan berlanjut?" "Sudah Papa bilang … Papa harus melepasnya. Meski berat,” lirih Anwar. Bagaimanapun Dea pernah mengisi hari-harinya. Keberadaan Dea lumayan mengusir sedihnya kehilangan istri yang sangat dia cinta. Anwar tertunduk dalam. "Papa,” lirih Paula. Dia buru tubuh papanya dan memeluknya sambil menangis kuat. Anwar usap-usap kepala Paula yang terbenam di dadanya. Wajahnya menunjukkan kesedihan mendalam. Sebelumnya dia harus melepas Mirna pergi dari rumahnya, kini dia harus melepas Dea pergi dari hatinya. Tak terbayang hari-harinya nanti tanpa Dea yang setiap hari tidak lupa berucap sayang dan cinta serta menanyakan kesehatannya. Dia akan pastikan itu tidak akan ada lagi. *** Tidak ingin urusan percintaannya berlarut-larut, Anwar mendatangi kantor Dea keesokan paginya. Dia nyatakan bahwa dia tidak ingin melanjutkan hubungan percintaan dengan Dea. Bukan main terkejut Dea, karena baru saja dia bersenang-senang dengan Anwar, bahkan Anwar sempat membelikannya tas dan sepatu super mahal dan juga memanjakannya, tapi kenapa Anwar begitu cepat memutuskannya. "Kamu punya kekasih yang lain, Anwar?" tanya Dea yang sangat kecewa diputuskan Anwar. Wajahnya bersimbah air mata. Anwar menggeleng. "Nggak ada, Dea. Aku benar-benar ingin sendiri saja sekarang. Aku ingin fokus Paula," jawab Anwar. Dia sama sekali tidak ingin menyinggung kelakuan Dea yang telah menduakannya selama ini. Permasalahan pasti akan semakin rumit, dan Paula akan jadi sasaran kekesalan Dea. Anwar tidak mau melibatkan putrinya dalam urusan percintaannya. "Anwar. Jangan putuskan aku. Kalo memang kamu ingin fokus Paula, aku bisa membantumu," ujar Dea yang masih tidak ingin dilepas Anwar. "Aku sedang tidak ingin diganggu kamu. Tidak ada perkembangan dalam perusahaanku. Harga sawit sedang turun," lirih Anwar. "Aku bukan mengharapkan itu, Anwar. Aku sangat membutuhkan cintamu,” Anwar menggeleng. Wajahnya menunjukkan kekecewaan sekaligus kesedihan. "Maafkan aku, Dea," "Anwar. Please. Aku mohon. Ada apa dengan kamu?" "Aku yang seharusnya bertanya. Ada apa dengan kamu!” "Anwar. Jangan mengada-ngada. Kamu sengaja membuatku bingung … apa kamu memiliki kekasih lain? Siapa perempuan itu … boleh aku tau?" "Kamu yang mengada-ada. Sudahlah. Aku sedang tidak ingin diganggu siapapun. Aku ingin fokus Paula … dan pekerjaanku," Dea kehabisan kata-kata sekarang. Anwar tampaknya benar-benar ingin menyudahi hubungan percintaan dengannya. Anwar meninggalkan ruang kerja Dea. Namun Anwar menghentikan langkahnya saat berada di dekat pintu dan membalikkan badannya ke arah Dea. "Salam buat Frans. Aku jamin dia tidak akan cemburu lagi," ujar Anwar. Dea terperangah hebat. "Anwar!" pekiknya. Anwar tidak mempedulikannya. *** Alangkah bahagianya Mirna saat Yuli, anak Ibu kost, memberitahunya bahwa ada paket makanan dari Semarang yang dikirim mamanya. Mirna langsung pergi ke rumah ibu pemilik kos yang sangat dekat dengan kamar kosnya. "Makasih banyak, Mirna," ucap Yuli saat Mirna memberikan sebagian makanan berbungkus plastik ke Yuli. Mamanya berpesan kepada Mirna agar memberikan dua bungkus plastik berisi bandeng presto dan rengginang khas Semarang untuk pemilik kos. "Aku juga makasih, Yul," balas Mirna. Dia lalu mengangkat kotak berisi makanan dan membawanya ke kamarnya. "Aku bantu, Mirna. Berat tuh. Tadi aja Bang Ujang yang angkatin. Mama kamu banyak banget kirim makanan," ujar Yuli. Mirna memang terlihat kesusahan. "Oh oke deh. Iya nih. Mayan berat juga," Yuli dengan senang hati membantu Mirna mengangkat kotak makanan menuju kamar kos Mirna. *** Wajah Mirna langsung berubah sebal. Saat dirinya asyik menata makanan di dalam lemari plastik di dapur, mamanya menghubunginya. Ratih meminta Mirna untuk memberikan empat bungkus plastik berisi rengginang, moci kacang, lumpia dan wingko babat kepada Anwar. "Duh. Ada-ada aja deh, Mama. Harus ke sana lagi,” rutuk Mirna sambil meletakkan empat bungkus makanan tersebut ke dalam sebuah tas kain warna biru terang. Mirna hempaskan napasnya seraya melirik jam dindingnya. Tidak mau berlarut-larut memikirkan amanat mamanya, Mirna memutuskan pergi sore itu juga. *** Setelah berhasil membujuk abang ojek untuk menunggunya, Mirna bergegas menuju pintu depan rumah Anwar. Dia langsung menekan bel sambil berharap yang ke luar adalah Anwar. Dia tidak mau melihat wajah bengis Paula, meskipun dalam beberapa hari ini Paula sama sekali tidak mengacuhkannya saat berada di kampus. Paula lebih sering terlihat sendirian atau bersama satu dua orang temannya. "Hai," sapa Mirna dengan ekspresi wajah datar. Harapannya tidak terkabul. Paula yang membuka pintu rumahnya. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Paula ketus. "Ini. Ada titipan dari mamapapaku. Buat kamu dan Papa kamu," jawab Mirna tak kalah ketus. Dia letakkan tas kain biru di atas sebuah meja yang ada di sisi pintu rumah dan bergegas menjauh dari Paula. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkahnya dan berbalik ke Paula. Paula masih berdiri dengan wajah pongah di sisi pintu rumah. "Makasih, Paula. Sudah memberi aku tumpangan di rumahmu yang sangat nyaman ini. Aku lupa ngucapin. Hm … baru ingat soalnya," ucap Mirna. Lalu melangkah cepat menuju abang ojek yang menunggunya. *** Anwar tersenyum tipis melihat Paula yang asyik mengunyah rengginang sambil menyaksikan acara televisi di awal malam itu. Dia lepaskan jas kerjanya dan meletakkannya di sandaran sofa, lalu duduk di sisi Paula sembari mengambil satu rengginang dari bungkusan plastik yang dipegang Paula. "Tumben beli ginian? Beli di mana?" tanya Anwar sambil mengunyah rengginang. "Tadi sore Mirna ke sini. Titipan dari mamapapa dia di Semarang," jawab Paula dengan cuek. Anwar hentikan kunyahannya, lalu tersenyum membayangkan wajah cantik Mirna mendatangi rumahnya, membawakannya makanan. "Mirna sehat, Paula?" tanya Anwar. Paula mendelik. "Iyalah sehat. Tambah sok pinter dia. Mentang-mentang satu kelompok sama anak yang pinter-pinter," ujar Paula dengan wajah sebal. "Kamu harusnya ikutan dia dong," ujar Anwar. "Males. Pinter tapi genit," Anwar mengambil satu rengginang lagi. "Emang di kampus dia genit?" tanya Anwar ingin tahu. "Kan genit dulu sama Papa," "Paula … mulai deh," Anwar terlihat kurang nyaman. "Hm … tau sih. Yang aku liat dia akrab dengan mahasiswa dari Bandung. Namanya Rio. Ganteng sih, Pa. Tapi dengar-dengar Rio tuh udah punya pacar di Bandung. Hm … akrab sih mereka," jelas Paula yang ternyata diam-diam memperhatikan Mirna. "Oh," decak Anwar sambil mengunyah. Dia lalu ikut menyaksikan film yang sedang ditonton Paula. Anwar tidak benar-benar menonton. Entah kenapa pikirannya tertuju ke Mirna. Sambil terus mengunyah dia mengingat-ingat sikap Mirna selama tinggal di rumahnya. Kejadian saat Paula memarahi Mirna yang memperhatikan dirinya berenang suatu sore kembali singgah di benaknya. Anwar tersenyum sendiri membayangkan Mirna yang memperhatikannya. Dia pun penasaran apakah Mirna menaruh hati kepadanya. Menyukai dan mengaguminyakah? Atau barangkali memiliki hasrat ingin memilikinya? Ah, Mirna tidak seperti itu. Buktinya dia pergi dari rumahnya dan tidak ingin dihubungi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD