Sad Paula

1233 Words
Mirna sedikit tersentak saat melihat sebuah pesan dan dua kali misscall menjelang tidur malamnya. Anwar menanyakan alamat kamar kos barunya. Mirna tidak menggubrisnya. Buat apa? Nanti malah semakin ruwet. Apalagi mengingat wajah Paula. Dia tidak mau berurusan dengan gadis pongah itu lagi. Menyebalkan dan akan merusak hari-hari bahagianya. Mirna kini sudah rapi dan cantik. Dia sudah siap pergi ke kampus pagi itu. Seperti biasa Mirna tidak lupa sarapan pagi dan menyiapkan bekal siangnya untuk dia makan di kampus nanti. Mirna bersemangat kuliah di awal Senin. Dia bisa mengikuti kuliah dengan baik. Berbagai pertanyaan sulit dari dosen bisa dia selesaikan dan jawab dengan sangat memuaskan. Saat dosen melempar tugas kelompok, banyak mahasiswa berebut ingin satu kelompok dengannya. Mirna senang, dia mendapat banyak teman, termasuk Rio, teman laki-laki yang lumayan dekat dan selalu berdekatan dengannya di kampus. "Jadi keputusannya kita ngerjain tugas di café dekat kosanku, Rio?" tanya Mirna ke Rio saat makan siang. "Iya. Emangnya kenapa? Kamu keberatan?" tanya Rio yang melihat wajah Mirna yang menunjukkan sedikit kecemasan. Mirna mengangguk lemah. "Ntar aku bayarin makanannya deh. Jangan khawatir, Mir. Kita-kita kan nunjuk café itu karena tempatnya nggak jauh dari kosan kamu. Biar kamu gampang pulangnya. Kita ngerti kok," ujar Rio. Kelompok Mirna menunjuk café yang terkenal dengan harganya yang mahal yang berada di dekat kos Mirna. Mereka ingin Mirna sebagai ketua kelompok merasa nyaman dan tidak khawatir saat pulang. "Oh. Ok, Rio. Makasih banget udah ngertiin aku," ucap Mirna dengan mata binarnya. "Ok. Jumat depan ya? Ini kartu member Calista. Nanti kalo kamu duluan ke sana, kasih tau aja ke baristanya kalo kamu teman Calista. Tadi dia mau langsung kasih ke kamu, tapi dia keburu dipanggil fakultas, dia ditunjuk sebagai salah satu calon yang akan mewakili universitas di ajang debat ekonomi nasional di salah satu televisi swasta," jelas Rio. Calista adalah salah satu anggota kelompok Mirna. "Oh. Wow. Aku harap dia bisa menang,” harap Mirna dengan senyum bangganya. Kelompoknya memang terdiri dari mahasiswa yang pintar-pintar. Mirna senang berteman dengan mereka yang meskipun pintar dan berada, tapi tidak sesombong Paula dan gengnya. "Ok, Mirna. Eh, aku duluan ya? Ada panggilan alam. Nanti kita bahas lagi lewat wa group," ujar Rio yang meringis. Dengan cepat dia bereskan alat-alat makannya dan memasukkannya ke dalam ranselnya. Lalu buru-buru pergi dari Mirna. Mirna tertawa kecil melihat tingkah laki-laki asal Bandung itu. Rio memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Sejak awal kuliah, Mirna bisa langsung akrab dengan Rio karena duduk mereka berdekatan. Bagaimana tidak akrab, ternyata Papa Rio juga berasal dari kota Semarang, tapi lama tinggal di Bandung. Tak lama Rio pergi, Paula menghampiri Mirna. Wajah Mirna langsung cemberut melihat kedatangan Paula. "Heh. Gitu ya? Pindah seenak udel. Nggak ada pamit, nggak ada terima kasih," decak Paula dengan dua tangan terlipat di atas d**a. Pandangannya sinis ke Mirna. Dia berdiri dengan sikap pongah. "Gimana aku mau terima kasih sama kamu. Kamu omongannya nyakitin hati melulu," balas Mirna sengit. Mirna tidak mau menutup-nutupi perasaan resahnya. Paula mencebikkan bibirnya. "Pasti kamar kamu sekarang tidak senyaman di rumahku. Pasti bisanya bayar kos kecil dan jorok dan panas tak berAC," sengit Paula. "Tapi hatiku sangat nyaman dan adem di kamar baruku. Jauh lebih adem dan dingin dibanding di rumahmu yang ada nenek sihirnya!" Paula tersenyum sinis. "Siapa emang nenek sihirnya?" tanyanya menantang. "Kamu nenek sihirnya!" ucap Mirna dengan nada membentak. Dia sebal melihat Paula yang berdiri sambil menatapnya sinis. "Jangan jadi kacang lupa kulit," desis Paula tak mau kalah. Matanya tampak berkaca-kaca menahan tangis. Kata-kata dan wajah garang Mirna lumayan menghentak batinnya. Paula yang tidak ingin kesedihannya terlihat, cepat-cepat meninggalkan Mirna. Mirna merasa puas bisa membalas kata-kata Paula. *** Paula merasakan kebingungan luar biasa di siang menjelang sore itu. Selesai kuliah, dia tidak segera pulang ke rumah. "Pa. Aku mampir mampir di Lippo Karawaci ya," ujar Paula yang menghubungi papanya. "Pulang jam berapa, Sayang?" "Jam enam aku udah di rumah," "Papa titip ramen instan ya?" "Ok, Pa," Paula melajukan mobilnya menuju sebuah mall megah. Dia ingin menenangkan pikirannya di sana. Paula tidak mengerti dengan keadaannya sekarang. Dia masih saja menyesalkan kematian mamanya hingga kini. Kerinduan akan kasih sayang mamanya semakin besar akhir-akhir ini. Terutama sejak kehadiran Mirna juga kepergiannya. Paula juga tidak mengerti kenapa dia begitu membenci sosok Mirna. Apa yang dilakukan Mirna selalu salah di matanya. Apalagi sejak memergoki Mirna yang selalu menatap kagum papanya. Namun ternyata Mirna memang tidak memiliki hasrat apapun terhadap papanya. Mirna terbukti pindah dari rumahnya tanpa memberitahu alamat. Pindah ke mana, Pa? Mana Papa tau. Papa tanya dia nggak bales. Malah nomor kontak Papa dia blok. Paula semakin menyadari bahwa Mirna hanya mengagumi papanya, tanpa berniat merebut hatinya. "Ah mana mungkin bisa sama Papa. Papa sudah memiliki Tante Dea. Konyol banget gue...”gumam Paula yang kini duduk di dalam sebuah café. Dia memilih sudut café sebagai tempat menenangkan diri. Paula seruput minumannya sambil memainkan ponselnya. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah saat melihat sepasang pengunjung memasuki café. "Tante Dea?" gumamnya heran. Dea datang bersama seorang laki-laki berperawakan muda dan tampan. Dea tampak menggelayut manja ke lengan laki-laki itu. Paula cepat-cepat membungkus kepalanya dengan hoodienya, karena Dea dan pasangannya duduk persis dibelakangnya. Paula merasakan detak jantungnya yang sangat kencang, beriringan dengan beragam pertanyaan yang ada di benaknya sekarang. Siapa laki-laki itu? adik Tante Dea? Saudaranya? Kerabatnya? Hm … pa...car? Paula merapatkan bibirnya saat Dea dan laki-laki itu duduk di kursi di belakangnya. Dia ingin menguping pembicaraan keduanya, berharap bisa menjawab kegelisahannya. "Ah … aku sangat bahagia ketemu kamu sekarang. Seminggu rasa satu abad," ujar Dea dengan nada merengek manja. "Masa sih? Nggak percaya. Bukannya kamu juga mendapat kasih sayang dari bos serba bisa itu?" "Hah. Hidup terasa sangat membosankan kalo sama dia, Frans," "Tapi kamu semakin cantik sejak pacaran sama Anwar … apalagi berkat dia kamu jadi PR di hotel berbintang, dengan gaji yang sangat tinggi pula. Anwar benar-benar menyayangimu," "Jangan cemburu gitu, Frans. Bagaimanapun hatiku tetap milik kamu seutuhnya," "Sudah sejauh mana kamu dan dia? Sudah sampai hubungan intim di hotel di mana kamu bekerja?" Dea mendengus kesal dengan pertanyaan Frans. "Mana mungkin. Anwar terlalu kaku dan sok alim. Aku hanya bisa memegang tangannya dan mencium pipinya. Kalo dia kecup bibirku wajahnya langsung murung. Dia kayaknya masih belum bisa melupakan mendiang istrinya," tuturnya. "Yah … kamu buat dia melupakan istrinya dong,” ujar Frans disertai tawa kecil. "Jangan mengada-ngada, Frans. Aku ingin rencana kita mulus dan tidak meninggalkan kesan buruk. Aku menikah dengan Anwar, lalu meminta cerai … aku pastikan hartaku bertambah dan kita bersenang-senang di Amerika," "Aku khawatir kamu akan benar-benar mencintainya," "Frans. Bagaimana aku harus meyakinkan kamu?" "Maaf, Dea. Mungkin aku cemburu....” "Tahan cemburumu, Sayang. Kalo kamu nggak bisa menahan cemburu, kita tidak bisa lagi menikmati uang Anwar dan investasi kita tidak akan bertambah. Nanti cicilan apartemen kamu juga mandeg. Gimana dong?" Frans tertawa kecil. Dia cubit pipi Dea gemas. "Okay. Aku yakin kamu sangat mencintaiku.” “Jelas dong. Belum puas juga semalam sudah aku layani kamu beronde-ronde sampe pagi. Udah ah, jangan bahas dia lagi. Aku jadi ikutan pusing nih. Aku nggak mau menuntut dia untuk cepat-cepat menikah denganku … biarin dia fokus dengan kerjanya dan kita bisa menikmatinya," "Kalo urusan uang, Anwar memang juara,” "Tuh. Baru aja aku bilang jangan singgung dia lagi," "Tapi aku senang menyinggung uangnya,” Dea tertawa kecil. Selama berpacaran dengan pemilik beberapa perusahaan perkebunan sawit di wilayah Sumatra dan Kalimantan itu, Dea memang sangat dimanja dengan sejumlah uang. "Dasar kamu," decak Dea diiringi tawa genitnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD