PROLOG
Bahagianya Mirna. Dia dinyatakan lulus beasiswa seratus persen di salah satu Universitas Swasta di kawasan elit Kota Tangerang, Fakultas Ekonomi. Orang tua Mirna tidak perlu memikirkan biaya ratusan juta untuk mendaftarka Mirna ke perguruan tinggi yang terkenal dengan tempat kuliah bagi anak-anak borjuis. Yang mereka pikirkan sekarang adalah tempat tinggal Mirna selama kuliah di sana.
"Sudah ketemu kos-kosan yang murah di sana, Mir?" tanya Rusdi, ayah Mirna. Sejak dinyatakan lulus, Mirna sibuk mencari kamar kos yang akan dia sewa di seputar kampusnya di sana. Tentunya kamar kos yang harganya terjangkau.
"Semakin dekat dengan kampus, semakin mahal, Pa. Tapi ini ada yang agak jauh dan harganya murah," jawab Mirna yang tatapannya tertuju ke layar laptop murahnya.
"Papa lagi nunggu balasan dari teman Papa. Namanya Anwar. Rumahnya dekat banget dengan kampus kamu. Untuk sementara kamu menginap di sana saja dulu. Anaknya ternyata juga baru memulai kuliah di sana. Tapi jalur mandiri,"
Mirna menganga mendengar kata-kata papanya. Itu berarti teman papanya sangat kaya raya. Biaya masuk kuliah di sana sangat mahal dan memang rata-rata anak-anak yang kuliah di sana adalah anak-anak dari kalangan berduit. Mirna pun sangat bangga dengan kemampuannya bisa lolos sebagai salah satu dari lima mahasiswa yang menerima beasiswa penuh tanpa harus membayar uang muka ataupun biaya kuliah lainnya. Dia juga diberi kesempatan bekerja di universitas tersebut jika mampu mempertahankan nilai tertinggi di setiap semesternya. Gaji yang ditawarkan tidak main-main, dua digit untuk pekerja pemula. Mirna sedari dulu ingin bekerja di lingkungan akademik, karena kepintaran otaknya.
"Emangnya nggak papa aku nginap di sana, Pa?" tanya Mirna.
"Yah. Nggak papa. Kok nanyanya begitu?"
"Khawatir mengganggu dan merepotkan, Pa,"
"Haha. Nggak, Mirna. Anwar itu sahabat dekat Papa dulu waktu kuliah di Sydney. Papa sangat mengenalnya,"
"Hm, soalnya kan pasti kaya banget, Pa. Agak segan," ujar Mirna pelan.
Rusdi tertawa kecil.
"Om Anwar itu beda dari orang tua Erfan. Nggak sombong," tanggap Rusdi yang memahami perasaan Mirna. Putrinya itu sebelumnya pernah berpacaran dengan Erfan, teman sekelasnya. Erfan adalah anak pemilik beberapa minimarket di kota Semarang. Hubungan mereka yang sudah berjalan satu tahun itu kandas karena orang tua Erfan tidak menyukai Mirna yang berasal dari keluarga biasa dan sederhana dengan seorang Papa yang hanya berprofesi sebagai tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri dan Mama yang hanya mengurus rumah tangga.
Mirna sempat mengalami masa-masa sulit di mana dia hampir saja kehilangan semangat belajar. Tapi akhirnya dia lewati masa-masa itu dengan lapang d**a. Hanya saja, sejak itu Mirna agak keki dengan orang-orang kaya atau berlagak kaya, karena teringat kata-kata Mami Erfan kepadanya.
"Maaf, Mirna. Erfan sudah Tante pasangkan dengan anak teman Tante. Lebih baik kamu jauhi Erfan. Hm ... bukan Tante meremehkan kamu dan keluarga kamu. Tante memang maunya Erfan memiliki pasangan yang setara dengannya. Calon Erfan ini sedang sekolah di Singapore."
Meski cara bicara Mama Erfan sangat sopan, tapi cukup membuat Mirna sedih dan kecewa. Seharusnya Mama Erfan tidak perlu menjelaskan alasan dengan detail, apalagi menyinggung strata sosial. Cukup bilang tidak setuju saja pasti Mirna mengerti dan akan langsung menjauhi Erfan. Akibatnya, Mirna jadi sedikit minder dan ilfil dengan orang-orang kaya.
"Nanti kamu juga mau nggak mau bergaul dengan mereka di tempat kuliah kamu nanti. Hm, lagipula kamu nggak boleh menganggap bahwa semua orang-orang kaya itu sombong berdasarkan pengalaman yang pernah kamu alami saja. Yang penting, kamu pandai-pandai membawa diri."
Mirna mengangguk tersenyum. Akhirnya dia yakin bahwa teman papanya yang bernama Anwar itu tidaklah sombong, karena beberapa saat kemudian, papanya dihubungi sahabatnya itu.
"Maaf, Rusdi. Baru baca pesanmu!"
Rusdi tertawa renyah. Dia memahami temannya itu super sibuk.
"Apa kabar, Anwar?" tanyanya semangat.
"Baik. Kamu sendiri?"
"Sehat. Haha. Suara kamu nggak berubah, War,"
"Haha. Mau berubah bagaimana?"
"Iya ya? Hm ... maaf kalo merepotkan,"
"Nggak. Nggak aku nggak repot sama sekali. Justru senang, Paula ada temannya,"
"Oh. Iya. Paula juga kuliah di sana kan?"
"Iya. Nggak perlu cari koslah. Rumahku dekat sekali dengan kampus anak-anak kita ini. Mereka bisa pergi bareng ke kampus juga,"
Rusdi lirik Mirna yang matanya masih mengawasi layar komputer, masih mencari kamar kos dengan sewa murah.
"Ya. Gimana nantilah,"
"Kapan mau ke mari?"
"Lusa, War. Aku hubungi kamu lagi,"
"Aku tunggu."
Mirna menoleh ke papanya yang tampak lega setelah menerima panggilan dari sahabatnya yang tinggal di kota Tangerang.
***
Mirna terdiam saat berdiri di depan pagar tinggi rumah Anwar Achmad Chumaidi, nama lengkap sahabat papanya. Ini lebih besar daripada rumah Erfan yang berada di kota Semarang. Tapi dia yakin sang pemilik tidak sesombong Mama Erfan.
Anwar langsung memeluk Papa Mirna sambil menepuk-nepuk pundaknya kuat.
"Ya ampun! Sudah berapa lama kita tidak bertemu?" ucap Anwar yang tampak tidak mampu menahan perasaan bahagianya.
"Haha. Seumuran anak-anaklah," ujar Rusdi.
"Wah. Hampir dua puluh tahunan ya. Lama juga," gumam Anwar sembari menjabat tangan mungil Mirna. Dia juga menatap wajah Mirna penuh rasa kagum.
"Mirip Mama kamu, Rusdi," decaknya yang masih mengamati wajah Mirna. Anwar juga mengenali keluarga Rusdi, terutama mamanya.
Rusdi mengangguk. Wajah Mirna memang sangat mirip almarhumah mamanya yang berasal dari kota Adelaide, Australia Selatan.
"Panggil Om Anwar," ucap Anwar yang masih menjabat tangan Mirna.
"Mirna, Om," balas Mirna sopan.
Bersambung