Kesal Anwar

1113 Words
"Kok senyum-senyum sih, Pa?" tanya Paula heran. Tidak ada yang lucu di film yang sedang mereka tonton. "Eh? Nggak sih. Papa teringat di kantor tadi. Ada kejadian lucu," jawab Anwar sekenanya. "Emang kejadian apa?" tanya Paula penasaran. "Bang Yanto kan lagi bersiin toilet ruang kerja Papa. Dia teriak karena katanya ada kecoak gede," Paula ikut tertawa membayangkan cerita papanya. Anwar tersenyum lega. Untunglah kejadian dua minggu lalu terlintas di benaknya saat ditanya. Yanto, petugas kebersihan di kantornya memang menemukan kecoak besar di toilet yang berada di dalam kantor Anwar. Anwar usap-usap bahu Paula, sambil menoleh ke arah pintu kamar yag pernah diinapi Mirna. *** Mendengar Mirna datang ke rumahnya dan membawakan oleh-oleh makanan khas Semarang, kesedihan Anwar putus dari Dea pun luruh dan berkurang. Anwar yakin Mirna masih mau berhubungan dengannya, meski nomor kontaknya diblok gadis itu. Menurutnya Mirna hanya ingin fokus kuliah dan tidak mau diganggu. Anwar jadi ingat Rusdi, sahabatnya yang sangat pintar dan rajin. Rusdi selama kuliah tidak mau main-main atau bekerja paruh waktu di saat liburan, seperti kebanyakan teman-teman mereka lainnya di Sydney. Rusdi sangat fokus dan bahkan tidak pernah pacaran. Namun, kesedihan muncul lagi saat Anwar memainkan ponselnya. Biasanya ada saja pesan mesra atau panggilan bernada rengekan manja dari Dea. Dan Anwar selalu membalasnya dengan semangat. Anwar tidak langsung pulang ke rumahnya setelah bekerja hari ini. "Papa pulang telat, Sayang. Papa sudah siapin pasta di kulkas untuk makan malam kamu. Tinggal dihangatkan saja. Ya?" ujar Anwar saat menghubungi Paula yang sore itu sudah berada di rumah. "Papa lembur?" tanya Paula. "Nggak. Papa ngopi dulu di dekat kantor. Healing….” Terdengar tawa kecil dari Paula. Dia ikut sedih dengan kisah cinta papanya yang akhirnya harus kandas karena perselingkuhan Dea. Paula sempat merasa bersalah karena telah menceritakan yang sebenarnya. Namun Anwar malah merasa sangat beruntung dengan kejadian tersebut karena tidak mungkin baginya meneruskan hubungan percintaan dengan perempuan yang telah mengkhianatinya. Masa depan Paula yang akan dia pertaruhkan. Dan dia dengan cepat bisa mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan percintaannya. "Ok, Pa. Hati-hati ya,” ucap Paula. "Kamu juga," balas Anwar. Anwar menghela lega. Dia bereskan meja kerjanya dan bergegas pulang. *** Mirna bangga dengan anggota kelompoknya yang sangat antusias bekerja. Masing-masing melaporkan hasil analisa terhadap artikel dan jurnal yang sudah mereka baca. Semuanya semangat saat mencurahkan pendapat. Apalagi pendapat mereka ditulis dalam bentuk artikel dan akan diterbitkan di jurnal kampus. Pasti sangat membanggakan saat nama mereka tertera di website kampus. "Wah. Asli deh. Kalo Calista turun tangan, ini baca artikelnya serasa baca jurnal internasional," celetuk Mirna saat Calista menutup laptopnya. Tugas kelompok mereka sudah selesai dikerjakan. "Ah. Kamu bisa aja deh, Mir. Ini juga kebanyakan dari ide kamu. Aku kan hanya merangkai dengan kalimat yang lebih ilmiah aja," ucap Calista merendah. Calista sebelumnya sering mendapat penghargaan karya ilmiah saat masih sekolah di SMA. "Yah kalo nggak dijadikan laporan ilmiah juga jadi omongkosong, Calista," balas Mirna lagi. "Intinya sama-sama pentinglah," sela Dina, salah satu anggota kelompok Mirna. Tampak semua membereskan peralatan masing-masing dari meja café. "Aku antar, Mir?" decak Rio tiba-tiba. "Ke kosanku?" tanya Mirna dengan raut wajah heran. Rio mengangguk. "Aku pake motor. Jadi bisa masuk gang," ujarnya dengan senyum manis. Mata Mirna langsung berbinar. "Siap kalo gitu," decaknya. Padahal sebenarnya dia bisa jalan kaki menuju kosnya karena jarak yang sangat dekat. Tapi tawaran Rio menarik. Dia tidak perlu letih berjalan. "Aku duluan ya, Teman-teman," ucap Mirna saat dirinya dan Rio sudah berdiri dan sudah menyandang tas masing-masing. Semua mengangguk membolehkan Mirna dan Rio pergi meninggalkan café lebih awal. *** Lagi asyik-asyik menikmati kopi panasnya, mata Anwar tak sengaja tertuju ke perkumpulan mahasiswa yang sedang bekerja kelompok di salah satu sudut café. Betapa terkejutnya Anwar saat melihat Mirna ada di antara mereka. Matanya awas mengamati Mirna yang berjalan berduaan bersama seorang laki-laki muda menuju parkiran motor depan café. Entah kenapa Anwar jadi ingin mengikuti kepergian Mirna dan laki-laki itu. Dia habiskan kopinya dengan cepat dan langsung menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari depan café. Anwar amati Mirna yang dibonceng laki-laki muda dengan motor besarnya. Mirna tampak sangat dekat dengan laki-laki muda itu. Meski di atas motor, keduanya terus saja asyik berbincang. Anwar terpaksa memarkirkan mobilnya saat motor yang ditumpangi Mirna masuk ke sebuah gang kecil. Dia turun dari mobil dan berjalan menyusuri gang. Ternyata motor tersebut berhenti di sisi sebuah rumah bertingkat yang memiliki banyak pintu dan tidak jauh dari mulut gang. Anwar amati sekeliling kosan Mirna yang sangat ramai dan padat penduduk. "Cari siapa, Pak?" tanya seorang ibu-ibu berpakaian daster ke Anwar yang berdiri cukup lama mengamati gedung kos Mirna. "Oh. Nyari teman anak saya. Namanya Mirna. Dia ngekos di sini," jawab Anwar. "Neng Mirna? Yang dari Semarang?" tanya Ibu itu lagi. "Iya. Ibu?" "Saya tukang cuci bajunya Neng Mirna, Pak," jawab ibu itu. "Masuk aja, Pak. Nggak papa di sini mah. Bebas-bebas aja," ujar ibu itu lagi. Anwar mengangguk. Dia tampaknya menunggu teman laki-laki Mirna ke luar dari kamar Mirna. Tidak lama kemudian, laki-laki yang membonceng Mirna ke luar dari kamar kos Mirna. Anwar mengamati laki-laki itu sampai menaiki motor besarnya. Setelah laki-laki muda tampan itu pergi, Anwar melangkah cepat menuju pintu kamar kos Mirna yang berada di lantai bawah. Pintu itu sudah ditutup rapat. Anwar ketuk pintu kamar Mirna dengan perasaan gusar. Tak memakan waktu lama, pintu dibuka dari dalam. Tampak wajah Mirna menunjukkan keterkejutan. "Ha? Om?" Anwar tatap tajam wajah Mirna yang heran dengan kehadirannya. "Jadi ini maksudnya kamu blok nomor Om, biar bebas pacaran dan bisa berduaan di dalam kamar ini?" tanya Anwar dengan wajah dingin. "Om? Maksudnya?" "Siapa tadi? Pacar?" "Teman Mirna, Om. Rio.…” "Kalo teman ngapain dia masuk kamar kamu?" Mirna kebingungan dengan sikap Anwar. Kenapa dia marah? "Dia numpang ke toilet," jawab Mirna. Anwar amati sekujur tubuh Mirna. "Om nggak berhak marahi Mirna. Ngapain juga Om ke sini?" balas Mirna yang tidak terima dituduh yang tidak-tidak oleh Anwar. Anwar menghela napas pendek. Ucapan Mirna sangat tidak mengenakkan. "Om akan laporkan kamu ke Papa kamu bahwa kamu telah memasukkan tamu laki-laki ke dalam kamar kos kamu," "Om! Apa-apaan?" "Apa-apaan gimana?" "Mirna nggak ngapa-ngapain, Om!" Anwar pandang wajah Mirna dengan pandangan tidak suka. "Kamu bisa saja berkilah," Anwar siap-siap pergi dari kamar kos Mirna. Mirna yang terlihat cemas akan dilaporkan Anwar ke papanya cepat memburu Anwar dan menarik tangannya. "Om. Mirna mohon jangan bilang ke Papa,” mohonnya dengan tubuh bersimpuh. Mirna tidak ingin laporan Anwar berujung kekecewaan papanya, meskipun dia tidak berbuat apa-apa dengan Rio. "Jadi benar kamu have fun sama teman kamu itu?" "Nggak, Om. Sumpah! Mirna nggak ngapa-ngapain. Dia bukan pacar Mirna. Dia numpang pipis tadi. Jangan bilang ke Papa. Mirna mohon!" Anwar diam saja. Dia lepaskan tangan Mirna yang menarik tangannya dan pergi tanpa sepatah kata. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD