Paula Stephanie Anwar

1066 Words
Mirna seketika merasa kikuk saat mobil yang ditumpangi papanya sudah menjauh dari pandangannya. Dia kini hanya berduaan bersama Anwar di rumah itu. "Mirna ke kamar ya, Om?" pamit Mirna yang bingung harus bicara apalagi dengan Anwar. Sementara Anwar memang tampak diam saja sejak kepergian sahabatnya, Papa Mirna. Tapi senyum Anwar langsung melebar saat Mirna berpamitan. Anak yang sopan, batinnya. Mirna sudah di depan pintu kamar yang akan diinapinya selama satu minggu. "Mirna. Kalo perlu apa-apa, jangan sungkan bicarakan ke Om," ujar Anwar. Mirna mengangguk tersenyum. "Iya, Om," balasnya. Lalu dengan perasaan lega dia masuk ke kamarnya. Anwar ikut menghela napas lega. Namun wajahnya menyiratkan sedikit kekhawatiran. "Kapan pulang, Paula? Ini sudah mau malam." Anwar menghubungi putrinya. "Jam sepuluh, Pa. Acaranya belum kelar nih! Itu anak orang kampung udah datang emangnya?" "Paula. Jangan begitu ah. Papa nggak suka kamu ngomong begitu. Yang sopan dong," "Emang aku sopan?" Anwar langsung mematikan ponselnya. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan karena sikap putrinya yang berkesan sombong dan angkuh. Paula memang berubah ketus sejak mamanya meninggal dua tahun lalu. Terkadang diam, kadang bawel, juga pecicilan. Satu hal yang sangat Anwar tidak sukai dari anak satu-satunya itu, gampang dan suka meremehkan orang lain. Sikap itu Paula tunjukkan pula sejak Anwar memberitahunya perihal anak sahabatnya yang akan tinggal di rumah dan juga berkuliah di tempat yang sama dengan Paula. Emang dia pinter? Kok bisa dapat beasiswa? Semarang? Dari kampung dong. Dan malam itu Paula tiba di rumahnya pukul sebelas malam. Matanya memicing malas melihat pintu kamar yang bersebelahan dengan pintu kamar papanya. Kamar yang diinapi Mirna. *** Pagi pukul enam Mirna sudah berada di dapur. Dia mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, mi gelas dan s**u kotak kecil. Mirna belum berani menyentuh peralatan di dapur rumah Anwar. Wajah Mirna tidak begitu semangat menginap di rumah sahabat papanya. Tapi apa boleh buat, kamar kos yang akan dia sewa baru akan kosong minggu depan. Mirna juga tidak mengenal kota Tangerang. Padahal sebenarnya Mirna bisa saja menyewa penginapan atau hotel, tapi usulan itu tidak diterima papanya. Papanya lebih suka dia menginap di rumah Anwar. Lagipula urusan awal perkuliahan pasti akan lebih cepat dan mudah, karena jarak menuju kampus sangat dekat. Bagaimana Mirna tidak semangat. Semalam dia mendengar percakapan antara Paula dan papanya. Anwar ingin Paula menyapa Mirna terlebih dahulu sebelum memasuki kamarnya. Paula menolak dengan berdecak, karena jam menunjukkan pukul sebelas malam. "Ngantuk, Pa. Males banget ah. Nggak penting juga. Ngapain kenalan sama anak kampung. Pasti dari keluarga kismin. Apalagi namanya Mirna, nggak ada temanku punya nama kampung seperti itu," Tidur Mirna kurang nyenyak mendengar suara ketus serta kata-kata yang cukup menyakitkan itu. "Dikit banget sarapannya, Mirna?" Mirna tersentak. Suara Anwar membuyarkan lamunannya. "Eh, Om ... iya," Anwar tersenyum melihat wajah kaget Mirna. Dia lalu duduk di hadapan Mirna. "Beli mi di mana?" tanya Anwar yang mengulum senyum, menatap mi yang diseduh di dalam sebuah gelas keramik kecil. "Oh. Dari rumah, Om. Hm ... Mirna takut ... merepotkan," jawab Mirna sembari mengedarkan pandangan ke seisi dapur yang dilengkapi peralatan canggih. Anwar tertawa kecil. "Kalo mau makan, ya tinggal buka kulkas. Lemari makanan ada di pojok sebelah kiri. Kamu bebas milih makanan yang kamu suka. Anggap rumah sendiri," Mirna mengangguk dengan senyum kecutnya. Senang dengan sikap Anwar yang tampak sangat penuh perhatian. Tiba-tiba wajahnya sedikit berubah. "Om nggak sarapan?" tanyanya. Anwar menggeleng. "Di kantor," jawab Anwar. "Oh." Mirna lagi-lagi takut-takut melihat keadaan dapur. Pandangannya kini tertuju ke kompor yang tungkunya ada beberapa. Sebelumnya dia ingin merebus air untuk mi gelasnya. Melihat kompor yang menurutnya canggih, dia urung melakukannya. Mirna gunakan pemanas air untuk merebus air yang ada di atas meja dapur. "Nggak suka masak?" tanya Anwar. "Bukan, Om. Kompornya beda sama yang di rumah," jawab Mirna lugas. Anwar terkekeh. "Sini. Om ajarin," Anwar bangkit dari duduknya dan mengajak Mirna mengikutinya menuju kompor. "Tekan ini, lalu putar tombol ini. Lihat api udah nyala nih, baru lepas tombol ini. Coba," Mirna ikuti instruksi dari Anwar. Senyumnya lebar saat kompor menyala dengan api yang sangat biru. "Mau manggang?" Mirna menggeleng. "Udah, Om. Yang ini aja dulu. Om kan mau kerja," tolak Mirna saat Anwar siap-siap membuka pintu di bagian bawah kompor. Anwar memang sudah rapi dan gagah dengan pakaian kantornya. "Ok. Nanti kita belajar lagi ya?" Mirna mengangguk semangat. Dalam hatinya berkata bahwa sebenarnya dia tidak perlu mempelajarinya karena dia tidak akan lama tinggal di rumah mewah itu. Mirna sebenarnya sangat suka memasak. Ah, Mirna jadi kangen memanggang ikan laut di belakang rumahnya bersama Mama dan Papa, serta adik kecil laki-lakinya yang bernama Adi. Masing-masing sibuk dengan ikan masing-masing. "Om pergi dulu ya? Sebentar lagi Paula bangun. Hm ... kalian bisa ngobrol-ngobrol," ujar Anwar dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mirna mengangguk lagi. Mirna tersenyum puas melihat penampakan Anwar pagi ini. Badan besarnya terbalut kemeja cokelat muda dengan dasi warna warni senada lebih gelap, kakinya tertutup sempurna dengan celana hitam dan bersepatu kulit mengkilat. Parfum mahalnya pun juga sangat wangi lagi lembut dan tidak menyengat. Anwar ternyata sangat rupawan ketika berpakaian rapi. Senyumnya pun lebih menawan. Ah, pasti banyak perempuan yang mengaguminya. Apalagi dia duda. Hm. Siapa tahu dia sudah punya pacar? Duh beruntung sekali orang yang bisa selalu dekat dengannya. Aku? Aku juga beruntung ah. Dalam waktu minggu ini lumayan bisa melihat laki-laki tampan yang biasa hanya berseliweran di dunia maya, batin Mirna. Anyway, apa sih pekerjaan Om Anwar? Mirna masih membatin memikirkan sosok tampan nan gagah serta wangi itu. Papanya hanya bercerita sekilas mengenai Om Anwar yang sukses menjadi pengusaha kaya raya. Pengusaha di bidang apa? Mirna lupa menanyakannya. "Heh! Senyum-senyum. Apaan?" Mirna terkejut bukan main. Seorang gadis bertubuh lebih tinggi darinya dan berwajah galak serta berambut pendek cepak menegurnya dengan suara sangat ketus. Gadis itu memandang sinis ke arah Mirna yang masih duduk di hadapan gelas yang sudah kosong. "Eh. Paula ya? Aku Mirna." Dengan cepat Mirna mengusir perasaan tak nyamannya. Dia berdiri dan menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Paula. "Senyum-senyum liat Papa gue. Sadar diri dong. Dari kampung juga. Sok belagak kuliah di sini. Beasiswa ya? Kuliah dari hasil sumbangan orang-orang? Gak malu." Mirna tidak kaget dengan sikap Paula. Dia sudah menduga Paula pasti bersikap begini karena semalam dia sudah mendengar kata-kata sinis dari Paula mengenai dirinya, dari kampunglah, namanya yang kampunganlah, dan lain sebagainya. Tapi dia tidak bisa mengusir rasa malunya saat ketahuan mengamati Anwar dengan mata binarnya. Mirna juga senyum-senyum seolah memikirkan sesuatu tentang Anwar. Wajar Paula menegurnya dengan ketus. Dan Mirna bisa menguasai dirinya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD