“Kamu nggak berubah, Anwar. Masih gagah seperti dulu,” puji Rusdi saat sudah berada di ruang tamu. Dia pegang dua lengan Anwar erat-erat sambil mengamati wajah sahabatnya yang sudah belasan tahun tidak bertemu.
Tampak mata Mirna menyapu dengan seksama bagian dalam rumah Anwar. Ternyata tidak seluas yang dia pikir saat berada di luar. Tapi tata ruangannya sangat apik dan rapi serta terasa nyaman. Ada beberapa pintu yang jaraknya tidak berjauhan yang mengelilingi dapur yang dilengkapi peralatan mewah dan canggih. Mungkin Mirna akan menginap di salah satu ruang di balik pintu-pintu tersebut.
Anwar tertawa renyah mendengar pujian Rusdi. Dia memang memiliki tubuh tinggi dan wajah tampan. Sekilas perawakannya jauh lebih muda dari Rusdi. Bulu-bulu halus di wajahnya tercukur rapi. Tidak seperti papanya yang tampak membiarkan kumis dan berewoknya dirapikan seadanya. Menurut Mirna, papanya memang tidak terlalu menjaga penampilan.
“Kamu juga, Rusdi. Kayaknya masih suka bergurau ini. Ya, Mirna?” balas Anwar sambil menoleh ke arah Mirna yang matanya masih mengamati isi dalam rumahnya.
Mirna tiba-tiba gugup. Dia tidak menyangka disinggung Anwar.
“Oh, eh … iya, Om. Hm … tapi Papa malah kebanyakan serius sih, Om,” jawab Mirna asal.
“Wajar dong. Tiap hari harus update pengetahuan sebelum mengajar. Papa kamu nih paling pinter. Cuma dia yang lanjut S2 dan S3. Kalo Om cukup S1 saja,” balas Anwar dengan tatapan hangatnya.
Mata Mirna mengerjap saat wajahnya ditatap cukup tajam oleh Anwar. Dia merasakan desiran hebat di dadanya. Meski seumuran papanya, Anwar terlihat lebih modis dan lebih muda. Tidak dapat Mirna pungkiri kekaguman terhadap diri sahabat papanya itu, tampan dan rupawan dan memiliki tatapan mata yang sangat memabukkan perasaannya. Apalagi aroma wangi segar dari tubuh Anwar selalu tercium oleh hidung Mirna di setiap kali dia menarik napas. Tapi Anwar kan sudah memiliki anak dan istri. Astaga, ada apa dengan diriku, Mirna berucap dalam hatinya. Dia langsung sibuk mengusir pikiran-pikiran genitnya.
Rusdi terkekeh. Dia benarkan kata-kata Anwar dalam hatinya. Saat kuliah dulu di Sydney, Rusdi selalu mendapatkan nilai tertinggi dibanding sahabat-sahabatnya. Dan Anwar adalah peraih nilai terendah dan selalu menjadi bahan tertawaan. Salah satunya Rusdi yang kerap menertawakan Anwar yang mengeluhkan nilai selama kuliah.
Hebatnya, Anwar yang tahu diri tidak pernah membalas candaan sahabat-sahabatnya itu. Dia mengerti bahwa mereka tidak serius mengejeknya, dan malah menganggap sebagai ungkapan keakraban dalam persahabatan. Lagipula, Rusdi dan para sahabat lainnya sering membantu tugas kuliah Anwar. Satu hal yang tidak bisa mereka tertawakan dari diri Anwar, yaitu ketampanan pesona Anwar.
“Hm … sepi ya. Mana Bestari?” tanya Rusdi tiba-tiba. Bestari adalah nama istri Anwar.
Senyum di wajah Anwar berubah kecut.
“Oh. Dia sudah meninggal,” ucap Anwar pelan.
Rusdi sontak memegang dadanya.
Mirna juga terkejut. Tak menyangka pikiran genitnya terjawab. Pantas dia terkagum-kagum akan sosok Anwar. Ternyata dia duda.
“Innaalillaah … kapan, War?” ucap Rusdi. Dia tidak menyangka dengan kabar istri sahabatnya yang ternyata sudah meninggal.
“Dua tahun yang lalu. Kanker p******a,” ucap Anwar. Dia tampak berusaha tersenyum. “Tidak terduga, Di. Tiba-tiba sakit dan saat diperiksa ternyata sudah stadium tinggi,” ungkap Anwar kemudian disertai hela napas panjang.
Rusdi lirik putrinya yang sedari tadi diam saja. Ada kekhawatiran kecil menerpa pikirannya, mengenai sosok Anwar sekarang. Khawatir putrinya … ah. Dengan cepat Rusdi usir pikiran-pikiran buruknya.
“Aku turut berduka,” ucap Rusdi akhirnya.
Dan suasana hangat pun berubah sendu.
Namun beberapa saat kemudian, Anwar bangkit dari duduknya dan mengajak Rusdi dan putrinya menuju ruang makan. Dia ternyata sudah mempersiapkan berbagai macam makanan untuk menyambut kedatangan Rusdi dan Mirna.
***
“Nggak perlu pindah ke kos, Mirna. Jauh ini lokasinya dari kampus. Nanti bisa pergi bareng ke kampus sama Paula, anak Om,” tawar Anwar setelah makan bersama. Mereka kembali duduk-duduk di sofa ruang tamu.
“Makasih, Om. Hm … kepingin tau keadaan kota Tangerang,” tanggap Mirna segan.
“Haha. Dari rumah sini juga bisa liat keadaan Tangerang. Mau bebas ya?” sindir Anwar.
Mirna terkesiap. Dia langsung merasa tidak nyaman dan gelisah, tersinggung dengan sindiran Anwar. Sebaliknya, Rusdi senyum-senyum melihat raut wajah Mirna. Dia mengerti apa yang Mirna pikirkan. Tapi sindiran Anwar malah menenangkan perasaan Rusdi. Anwar sungguh-sungguh ingin menjaga putrinya dan ingin memberi rasa aman. Dia tampak ingin Mirna mempertimbangkan tawaran Anwar agar Mirna tetap tinggal di rumahnya saja. Tapi dia juga tidak mau memaksa Mirna untuk menerima tawaran tersebut.
“Paulanya mana, Om?” tanya Mirna setelah berhasil mengusir kegelisahan dari dirinya.
“Oh. Lagi jalan-jalan sama teman-teman di Aeon. Sore baru pulang,” jawab Anwar.
***
Rusdi pulang sore pada hari itu juga. Dia sangat lega meninggalkan putrinya di rumah Anwar setelah melihat keadaan kamar yang sudah dipersiapkan Anwar untuk Mirna. Kamar yang sangat rapi dan lengkap dengan apa yang Mirna butuhkan. Dia yakin Mirna akan merasa betah di rumah Anwar. Terlebih, sambutan Anwar yang luar biasa hangatnya.
Rusdi tidak lagi berpikir yang bukan-bukan mengenai Anwar. Dia yakin Anwar akan menjaga putri semata wayangnya dengan baik menjelang pindah ke kamar kos. Kamar kos yang akan disewa Mirna, baru akan kosong minggu depan. Sempat terpikirkan olehnya agar Mirna lebih baik tinggal di rumah sahabatnya itu selama kuliah. Banyak keuntungan yang akan didapat, jarak ke kampus yang sangat dekat, tidak perlu mengeluarkan biaya bulanan, dan Mirna yang pasti lebih terjaga.
“Anak-anak zaman sekarang memang sulit diatur, Di. Kayak Paula … dulu lumayan penurut, sekarang aduh … apalagi sejak mamanya meninggal, semakin susah diarahkan. Sebenarnya kalo Mirna di sini, paling nggak bisa jadi tempat berbagi. Tapi nggak papalah kalo memang Mirna kepingin lebih bebas,” ujar Anwar yang kembali menyindir.
Rusdi rangkul bahu putrinya kuat-kuat.
“Gimana, Mirna?” tanyanya serius.
Mirna menggeleng dengan senyum kecut. Entah kenapa, meski kagum dengan pesona Anwar serta senang dengan keadaan rumah mewah Anwar, Mirna merasa akan lebih nyaman jika mengatur kebutuhannya sendiri. Lagipula dia pasti akan sering merasa canggung selama berada di rumah itu. Mirna baru saja mengenal Anwar dan belum mengenal Paula.
Anwar tersenyum melihat wajah cemberut Mirna. Mirna sepertinya tidak jauh berbeda dari Paula, pikirnya. Agak susah diatur.
“Ya udah. Nggak papa. Papa nggak maksa. Tapi nanti kalo udah pindah, jangan lupa kasih kabar ke Om Anwar,” ujar Rusdi yang akhirnya pasrah mengikuti keinginan Mirna yang tetap akan tinggal di sebuah kamar kos selama kuliah.
“Sering-sering main ke sini aja, Mirna. Kontak Om,” ujar Anwar.
Mirna akhirnya mengangguk tersenyum. Itu lebih baik, pikirnya.
“Terima kasih banyak, War. Aku jadi nggak enak ini. Lama sekali nggak nyapa kamu, eh, sekarang malah mau nitipin anak,” ujar Rusdi.
Anwar tergelak.
“Nggak papa, Di. Biasalah. Kita kan punya kesibukan masing-masing yang nggak bisa kita tinggalkan,”
“Hm, nanti kalo ada dinas ke Semarang, jangan lupa mampir ke rumah,”
“Iya. Pasti … hm … salam buat Ratih,” ucap Anwar. Ratih adalah nama Mama Mirna.
“Aku akan sampaikan,” balas Rusdi.
“Bilang sama Ratih, makasih mochi dan bandeng prestonya. Wah … nggak kepikiran siapin oleh-oleh balasan,”
“Haha. Nggak perlu, War.”
Tak lama kemudian, mobil yang akan ditumpangi Rusdi pun tiba di depan pagar rumah. Rusdi peluk Mirna erat-erat.
Tampak wajah Mirna mulai menunjukkan kesedihan.
“Belajar yang rajin ya? Raih nilai setinggi-tingginya. Jadi anak baik,”
“Iya, Pa.”
Anwar tersenyum melihat Rusdi dan putrinya berpelukan di depannya.
Bersambung