"Hari ini kamu ke kampus nggak?" tanya Mirna tiba-tiba. Dia tidak ambil pusing dengan kata-kata kasar dari Paula barusan. Entah kenapa Mirna tidak tersinggung sama sekali. Menurutnya, Paula memiliki kepribadian kuat, jujur apa adanya dan tidak basa basi. Itu kesan pertama Mirna terhadap sosok Paula.
Paula mendelik heran. Sedikit merasa aneh dengan Mirna. Biasanya teman-teman yang pernah dia ejek dan dia hina langsung menangis di depannya jika membuat dirinya kecewa atau marah. Atau mereka akan bersungut-sungut pergi dari hadapannya. Tapi Mirna...
"Nanya?" decih Paula dengan mata sinis.
"Ya iyalah. Aku nanya. Kalo kamu ke kampus, aku nebeng. Kamu kan pasti bawa mobil," ucap Mirna sambil siap-siap membereskan alat-alat makan kotornya dari meja makan.
Paula mencebik. Dasar nggak tau diri, sudah numpang di rumah gue, eh malah mau nebeng ke kampus. Siapa elu?
"Ya udah. Kalo nggak mau nggak papa. Aku bisa pergi sendiri kok," ujar Mirna sambil mencuci alat-alat makannya.
Paula menggeram kesal. Dia tampaknya masih tidak suka dengan kehadiran Mirna di rumahnya.
Paula yang kini duduk di kursi makan mengamati tubuh Mirna dari belakang.
"Gue nggak sudi berteman sama lu. Keliatan lu kampungan banget. Bisa gatal-gatal nanti badan gue kalo mobil gue ditumpangi perempuan kayak lu. Jijik banget liat lu senyum-senyum meratiin Papa gue tadi. Sampai kapan pun lu nggak bakalan bisa rebut hati Papa gue. Khayalan lu ketinggian. Ujung-ujung paling nanti juga jual diri ke om-om. Buat biaya kuliah, Om. Buat beli hp mahal, Om. Tuh kayak yang udah-udah,"
Mirna tahan emosinya yang hampir memuncak.
"Aku di sini mau belajar, Paula. Bukan mau jual diri. Aku harap kamu bisa jaga mulut," desisnya.
"Kalo mulut atas gue emang gue nggak bisa jaga sih. Tapi gue bisa jaga mulut bawah gue."
Mirna yang sudah mencuci gelas dan piring kecilnya berbalik ke hadapan Paula. Dia tatap Paula dengan menggeram. b******k juga nih orang, batinnya. Tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kata-kata Paula memang sangat menyakitkan.
"Aku diantar Papaku baik-baik ke sini,"
"Siapa peduli,"
"Ok. Nggak papa. Terserah kamu mau ngomong apa tentang aku,"
Paula mendengus.
"Iya. Papa lu tau Papa gue orang tersukses. Makanya dia serahkan lu ke sini. Biar bisa merebut hati Papa gue kan? Biar jadi ikut sukses. Nanti di kampung bisa dia pamerkan kesuksesan putri genitnya,"
"Kamu sakit,"
"Lu yang sakit. Masih berkilah juga? Udah jelas senyum-senyum liat Papa gue. Gue nggak akan pernah lupa senyum sakit lu."
Mirna menelan ludahnya. Dia mengerti apa yang sebenarnya disesalkan Paula. Paula kesal dengan Mirna yang mengamati papanya dengan penuh kekaguman. Mungkin pernah terjadi sebelumnya di rumah ini. Ah, Mirna tidak berani menebak-nebak. Dia baru saja mengenal Anwar dan Paula dengan sifat yang sangat bertolak belakang.
Biarkan saja. Aku juga hanya seminggu di sini.
Dengan perasaan tak menentu Mirna kembali ke kamarnya.
Dan Paula tersenyum sinis mengamati langkah Mirna.
***
Mirna masih bisa tersenyum setelah perasaannya disakiti kata-kata yang keluar dari mulut Paula di awal pagi. Persyaratan kuliahnya sudah terpenuhi dan dia bisa memulai kuliahnya esok hari. Mirna dengan senang hati berjalan menuju kantin kampus. Tapi...
"Hm ... serba mahal," gumamnya seraya mengamati harga nasi soto seharga tiga puluh ribu. Dia lirik harga minuman yang tak kalah mahal.
"Ratusan ribu perhari," gumamnya lagi. Dia amati suasana kantin yang dipenuhi orang-orang asing. Mirna memang lulus di kelas internasional di kampus tersebut.
"Kayaknya harus bawa bekal sendiri," batinnya yang matanya tertuju ke salah satu mahasiswa asing yang sedang duduk di salah satu kursi kantin, menikmati makan siangnya yang dia keluarkan dari ranselnya.
Mirna yang sangat lapar, mau tidak mau memesan nasi soto yang dia amati cukup lama. Karena harganya paling murah dibanding makanan lain.
"Air mineral aja, Bu," kata Mirna saat ibu penjaga kantin menanyakan minuman untuk Mirna.
"Dik. Kalo air mineral mah ambil di sana aja. Nggak perlu bayar. Ada kerannya di situ. Jangan repot beli di sini," ujar Ibu kantin seraya menunjuk ke sisi kanan Mirna. Ada fasilitas air minum di sana.
Mirna terlihat celingukan.
"Nggak bawa botol?" tanya Ibu kantin.
"Nggeh, Bu. Eh ... iya, Bu. Nggak bawa," jawab Mirna.
Ibu itu terkesiap.
"Dari mana?" tanyanya.
"Semarang, Bu," jawab Mirna.
"Ooo. Saya asli Solo. Baru di sini?"
Mirna mengangguk sopan.
"Pantes sopan. Ya udah. Ini tak pinjemin gelas,"
Mirna bertambah lega. Ternyata ada orang baik di kota Tangerang selain Om Anwar. Bu Ike namanya. Kesalnya terhadap Paula hilang sekejap. Terlebih, soto buatan Bu Ike sangat enak. Awal yang membahagiakan di kampus super mahal ini.
Meski urusan di kampus telah selesai, Mirna tidak ingin pulang cepat. Dia berencana pulang sore saja agar dia tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktu di rumah Anwar. Dia yakin Paula pasti pulang ke rumah lebih awal, karena tidak ada jadwal kuliah hari ini. Mirna tidak ingin bertemu atau mendengar kata-kata sadis Paula lagi. Cukup semalam dan pagi ini saja.
Mirna menghela napas panjang dengan wajah memelas. Paula tidak saja melempar kata-kata menyakitkan tapi juga sikapnya. Pagi tadi, Mirna yang sudah siap-siap hendak pergi dengan ojek pesanannya dimarahi Paula.
Lu jangan pesan ojek di depan rumah gue! Malu gue! Di sini tuh nggak ada yang pesan ojek. Di sini pada bawa kendaraan pribadi! Kalo mau pesan ojek, titiknya jangan di rumah gue. Lu jalan kaki sono.
Dan Mirna hanya bisa tersenyum kecut menutupi perasaan kesalnya. Untungnya bukan mas mas ojek yang jadi sasaran kemarahan Paula.
***
Perasaan Mirna tenang saat memasuki halaman rumah Anwar. Dia amati garasi mobil sekilas. Tidak ada mobil Paula di sana, hanya ada mobil Anwar. Artinya Paula masih berkeliaran di luar dan belum pulang dari kampus. Mirna bisa langsung masuk kamar tanpa perasaan was-was.
Sesampai di dalam rumah, tiba-tiba pandangan Mirna tidak sengaja tertuju ke jendela besar yang ada di ruang dapur yang menghadap ke teras belakang. Mirna tunda langkahnya yang seharusnya sudah menuju dalam kamarnya.
Mata Mirna membulat besar kagum melihat Anwar sedang berenang di kolam renang besar yang ada di halaman belakang rumah. Tubuh Anwar sangat memesona. Anwar tidak saja memiliki wajah tampan rupawan serta senyum yang memabukkan, tapi juga tubuhnya yang sangat terawat berotot. Tinggi pula. Anwar sangat sempurna di mata Mirna karena memiliki sifat yang sangat baik, ramah dan penuh kehangatan.
Mirna menggigit bibirnya dengan mata mengerjap seakan ingin sepuasnya melihat tubuh seksi Anwar. Dia benar-benar terpukau.
"Heh! Nggak kapok lu!"
Mirna terperangah hebat. Suara keras Paula memekakkan telinganya.
Mirna cepat-cepat melangkah menuju kamarnya.
"Eits! Jangan kabur seenaknya. Lu bikin perhitungan dulu sama gue!" ketus Paula sambil mencekal lengan Mirna.
Mirna terdiam. Ini memang salahnya. Tapi dia tidak mau berucap maaf.
"Bener kan feeling gue. Lu sama aja dengan cewek-cewek yang jelalatan liatin Papa gue. Nggak kapok-kapok. Iya bener Papa gue nggak punya bini, dan bebas dengan cewek-cewek. Tapi bukan sama cewek kayak lu! Jijik gue!"
Mirna meringis kesakitan karena lengannya dicekal cukup kuat Paula.
"Paula. Apa-apaan?" sergah Anwar tiba-tiba.
Mirna semakin khawatir. Anwar sudah selesai berenang. Tubuhnya terlihat sangat segar setelah berenang.
"Ini, Pa. Ada tukang intip!"
Bersambung