Mata Anwar memicing heran mendengar kata-kata keras Paula. Dia lirik Mirna yang masih meringis kesakitan.
"Lepasin, Paula. Kasihan Mirna. Sakit tuh," ujar Anwar yang sepertinya tidak mempermasalahkan Mirna yang mungkin sebelumnya memang mengamatinya berenang di halaman belakang rumahnya. Dia yakin Mirna melihatnya secara kebetulan dan Paula yang melebih-lebihkannya. Anwar melihat sekilas tas selempang yang dibawa Mirna serta pakaian Mirna yang masih rapi. Itu artinya Mirna baru saja pulang dari kampus dan akan memasuki kamarnya. Dan Mirna menunda langkahnya menuju kamar karena melihatnya sedang berenang.
"Minta maaf dulu!" sergah Paula ketus.
Mirna menggeleng ketakutan.
"Paula. Sudah, Sayang," bujuk Anwar.
"Minta maaf!" ulang Paula dengan suara keras.
Mirna tidak mengerti keinginan Paula. Minta maaf? Untuk apa? Tapi melihat keadaan sekarang di mana Paula masih diselimuti amarah serta Anwar yang tampak khawatir, akhirnya....
"Maaf, Om. Mirna melihat Om berenang tadi," ucap Mirna. Dia tundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia jadi sangat merasa bersalah karena memancing amarah Paula dan kecemasan Anwar.
"Melihat? Pake napsu kan lu liat Papa gue berenang?" ujar Paula ketus.
"Paula. Sudah. It's okay liat Papa berenang. Apanya yang salah?" ujar Anwar.
"Senang kan lu? Dibela Papa gue? Puas lu? Liat sambil melet-melet nggak jelas!"
Paula lepaskan cekalannya dengan kasar. Kemudian dengan langkah cepat menuju kamarnya.
"Maaf, Om," ucap Mirna tanpa melihat wajah Anwar. Dia juga dengan cepat melangkah menuju kamarnya.
Anwar menghela napas panjang saat mengamati punggung Mirna. Sedikit kesal terhadap putrinya yang ternyata tidak bisa menjaga sikap. Tapi dia juga tidak kuasa memarahinya. Paula pasti akan lebih garang lagi.
***
Mirna duduk di tepi kasur empuk dengan wajah nelangsa. Baru saja dia melalui saat-saat indah di kampus di pagi hari di mana urusan perkuliahannya selesai dengan lancar, namun berubah suram saat berada di rumah Anwar di sore harinya. Dia edarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya yang dilengkapi perlengkapan mewah dan mahal.
Ingin sekali waktu seminggu ini segera berakhir dan dia bisa pindah ke tempat yang lebih nyaman. Tak masalah dengan perlengkapan seadanya, asal hati dan perasaan tenang.
Mirna memikirkan Paula yang sangat ketus terhadap dirinya sejak awal bertemu. Entah kenapa dia merasa Paula seperti kehilangan jati diri. Mirna yakin Paula adalah gadis baik-baik, terlepas dari mulutnya yang sangat pedas. Paula sangat menjaga sosok papanya dari mata-mata perempuan genit atau 'nakal'. Mungkin dia pernah punya masalah besar sebelumnya? Ada yang mendekati papanya yang berstatus duda dan mengecewakannya?
Mirna mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajar Anwar menjadi incaran perempuan-perempuan. Dia memang menarik lagi menawan. Mungkin Paula kesal terhadap perempuan-perempuan tersebut karena mereka yang barangkali tidak tulus berdekatan dengan papanya yang berduit? Atau kekhawatirannya yang sangat tinggi seandainya perhatian papanya beralih ke perempuan selain dirinya.
Mirna tersenyum tipis. Paula sepertinya masih tidak menerima kenyataan bahwa mamanya sudah meninggal. Dia merindukan kasih sayang seorang Mama. Dia tumpahkan kekesalannya tanpa basa basi terhadap orang-orang yang dia pikir akan mengganggu papanya. Ah, kasihan juga.
"Seandainya aku di posisi dia ... mungkin akan berbuat yang sama," pikir Mirna. Dia letakkan tas selempangnya di atas kasur. "Aku nggak akan liatin Om Anwar lagi," tekadnya yang mengakui mengagumi sosok Anwar.
***
Sementara itu di kamar Paula.
Anwar kembali membujuk putri kesayangannya yang masih tampak kesal.
"Dia jauh-jauh datang dari Semarang. Di sini nggak punya siapa-siapa. Cuma Papa dan kamu yang dia kenal. Mirna sopan kok. Kalo memang dia liatin Papa begitu ya wajar ... mungkin karena ingin tau kegiatan kita di rumah ini seperti apa,"
"Aku tuh punya alasan marah, Pa. Tadi pagi juga dia senyum-senyum liatin Papa ... eh sore juga liatin Papa sambil melet-melet bibir. Terangsang dia tuh, Pa. Kebayang kan kalo dia goda-goda Papa. Kayak Feli, Jean, Tisa, Karen, dan masih banyak lagi. Aku bisa hafal nama-nama perempuan yang sering goda-goda Papa. Ini dia lagi. Di dalam rumah ini. Kamarnya di sebelah kamar Papa,"
Anwar usap-usap kepala Paula dengan perasaan sayangnya. Dia mengerti apa yang dikhawatirkan putri semata wayangnya.
"Kan Papa juga nggak pernah menanggapi mereka," ujar Anwar dengan tatapan tertunduk.
Paula menoleh ke papanya.
"Papa masih dengan Tante Dea?" tanyanya.
Anwar mengangguk. "Masihlah," jawabnya pelan.
"Papa kalo yakin sama Tante Dea ... ya nikah aja. Aku Ok kok. Biar Papa nggak digoda-goda lagi. Kalo masih pacaran ya begini. Aku jadinya curigaan terus kan?"
Anwar hela napas panjang.
"Katanya kamu belum sreg dengan Tante Dea?" ucapnya dengan nada bertanya.
"Sekarang udah, Pa," jawab Paula pelan.
"Yakin?"
Paula mengangguk.
Anwar dekap bahu Paula erat-erat.
"Papa belum, Sayang. Biarkan Papa yakinkan hati Papa dulu,"
Terdengar hela napas panjang Paula.
"Aku juga begitu sebenarnya. Belum siap melepas Papa menikah dengan siapapun," gumamnya dalam hati.
***
Mirna bangun pagi dengan semangat. Pagi ini dia ingin mengawali harinya dengan sarapan mi instan Korea. Sore kemarin, Mirna sempat mampir di minimarket dalam kampusnya dan membeli dua bungkus mi instan Korea. Sebenarnya mi tersebut adalah menu makan malamnya. Tapi karena ada insiden kecil dengan Paula semalam, Mirna memutuskan makan malam dengan roti yang juga dia beli dari minimarket tersebut.
Padahal semalam Anwar memanggilnya untuk bergabung menikmati makan malam. Tapi Mirna dengan tegas menolak dengan alasan sudah makan di sore harinya. Mirna tidak ingin mengganggu kenyamanan Paula dan papanya. Dia sempat melihat Paula yang duduk di kursi makan dengan wajah yang masih muram.
Mirna dengan senang hati memasak mi instan Korea sebagai sarapan paginya sekarang. Apalagi semua yang dia butuhkan tersedia di dalam kulkas. Ada telur, udang, sawi dan daun bawang. Sepertinya Anwar juga suka memasak. Bahan-bahan makanan sangat lengkap di lemari pendingin. Mirna benar-benar bahagia, sehingga dengan mudah dia lupakan kejadian semalam.
Mirna letakkan mangkuk besar berisi mi instan di atas meja makan.
Karena mi masih sangat panas, Mirna kembali ke kompor dan membersihkannya.
Kompor sudah bersih sekarang. Dan Mirna dengan wajah riang ingin segera menikmati mi koreanya.
Betapa terkejutnya Mirna saat membalikkan tubuhnya ke meja makan.
Paula dengan santai menikmati mi Korea masakannya.
"Hei!" pekik Mirna.
"Buat lagi sana!" suruh Paula sambil berdecak menikmati mi instan.
"Kamu ngeselin ah!" ketus Mirna. Ingin sekali dia mencegah Paula. Tapi melihat Paula yang sangat menikmati masakannya dan mi di dalam mangkuk sudah seperempat dimakan Paula, Mirna dengan hati kesal melangkah menuju kamarnya.
Paula tersenyum sinis. Senang melihat Mirna yang kesal dan berlalu darinya.
Tak lama kemudian, Mirna kembali lagi ke dapur dengan wajah masam. Ada satu bungkus mi instan di genggamannya.
"Kamu ngutil dari lemari makanan ya?" tanya Paula seraya menatap sinis Mirna yang sedang membuka bungkus mi instan di depan kompor. Mirna dengan sangat terpaksa memulai masak dari awal.
"Enak aja! Aku beli sendiri di kampus! Kamu seenaknya nuduh orang. Sudah makan mi masakanku, nuduh orang nyuri lagi," rutuk Mirna. Dia tidak mau melengkapi mi instannya dengan sayur mayur dan telur lagi. Karena perasaannya semakin runyam ditambah perut yang sangat lapar.
"Eeeerg. Aaaah," desah Paula setelah sendawa. Sikapnya sangat mengesalkan Mirna di pagi ini.
Paula berdiri dari duduknya dan membiarkan mangkuk kotor di atas meja makan, seolah ingin Mirna yang membereskannya.
Paula melangkah menuju kulkas dan meraih sebuah kotak s**u segar dan langsung meminumnya.
Mirna lirik Paula dengan bibir mencebik. Jorok, gumamnya dalam hati.
Paula berdecak lagi.
"Lu kan numpang di sini. Masak gitu aja sewot," desisnya sambil mengamati Mirna dengan mata sinis.
Kemudian, Paula pergi dari dapur membiarkan Mirna masak dan membereskan alat-alat makan kotornya.
Bersambung