Part 22 - Pernikahan dan Selembar Foto Kecil

1777 Words
“Mas, pernikahan anak kita lebih penting daripada mencari bocah ingusan itu.” Suara Yanti membuat Fadli seakan tak bisa mengikuti kata hatinya. Dia yang juga mengerti bahwa kini dia akan mengantarkan anak laki-lakinya pada hari sakral sebuah pernikahan. Fadli harus membagi pikirannya terlebih dahulu. Jika urusan Wafi selesai, Fadli akan berkonsentrasi untuk mencari Tama. Apa pun alasannya, Tama adalah sebuah amanat yang harus dijaganya. Dia tak mungkin membiarkan Tama tanpa sepengetahuaannya. Wafi yang sudah selesai mandi. Dia yang sudah siap dengan pakaian putih, yang tak lain adalah kemeja milik bapaknya. Semua Yanti yang mempersiapkan. Mereka pun telah bersiap. Hanya saja tinggal satu hal yang masih mengganjal dalam hati. Antara mengajak Wafa atau membiarkannya sendiri di rumah. Yanti dan Fadli saling menatap satu sama lain. Tapi waktu yang terus saja berjalan, membuat mereka harus segera pergi. Dan membiarkan Wafa untuk tetap berada di dalam kamarnya. *** Sepasang mempelai telah bersanding, dan dihadapan mereka penghulu, wali, para saksi dan beberapa kerabat yang turut menyaksikan sebuah pernikahan antara Wafi dan juga Indah. Suasana tampak hening, saat semuanya sedang khidmad menatap prosesi ijab qobul yang akan segera berlangsung. Sayangnya, Fadli yang kala itu turut menjadi saksi untuk anaknya yang akan menjadi seorang suami. Tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. Dia tak sanggup melihat masa depan Wafi yang seolah sudah gulung tikar. Tak ada lagi impian yang bisa diraihnya. Pendidikan harus berakhir dengan ijazah SMP. Fadli paham, jika setelah ini, dia akan mengarungi kehidupan rumah tangga yang penuh dengan halangan rintangan. Sedangkan Fadli dan Yanti belum sama sekali memberikan bekal yang cukup untuk kehidupan anaknya kelak. Ujung kedua mata Fadli basah. Sesaat setelah para saksi mengatakan bahwa pernikahan mereka telah sah. Kini Wafi dan Indah telah resmi menjadi sepasang suami istri. Biasanya setiap orang tua yang melepaskan hidup anaknya, pastinya akan merasa bahagia. Namun, tidak dengan keluarga Indan dan juga Wafi. Semuanya merasa terpukul dengan kondisi pernikahan yang sedikit terpaksa. Hanya karena sebuah insiden yang tak bisa dihindari. Saat semua harus saling menghadirkan senyum satu sama lain, tetapi tidak dengan pernikahan yang baru saja diberlangsungkan itu. Haru biru menghiasi. Sebuah rasa yang tak bisa dibohongi. Sebuah penyesalan dan kekecewaan pun seolah bercampur dengan kebahagiaan yang dipaksakan itu. “Indah, tinggal di rumah kami, ya.” Suara Fadli tercurah begitu hangat. Dia mengharapkan jika sang menantu bisa tinggal bersamanya. Di rumah sederhana, yang penuh akan makna baginya. Sayangnya, Yanti yang mendengar sebuah tawaran dari Fadli, dia sontak menginjak kaki Fadli, dan suaminya itu seketika terkejut dan menatap Yanti. “Apa yang kamu katakan, Mas?” bisik Yanti lirih. “Tidak apa-apa jika Indah tinggal bersama kita,” jawab Fadli pelan. “Aku tidak setuju,” sanggah Yanti. Wafi yang hanya diam tanpa berkata apa pun. Dia sama sekali tak menyangka, jika detik ini dirinya telah resmi menjadi seorang suami, dari wanita yang satu kelas dengannya. Wafi menghela napas panjang. Wafi tak tahu apa rencana selanjutnya, setelah dirinya menikahi wanita yang sudah hamil itu. semua terasa hitam bagi Wafi. Dia tak bisa menghindar atau pun lari dari kisah kelam yang harus dijalaninya. Menerima, namun sejatinya dalam hatinya bergejolak dengan penolakan yang terpaksa harus ditutupi dengan sandiwaranya. *** Tak ada yang dilakukan oleh pemuda lumpuh di atas roda. Dia hanya diam, sembari pikirannya menari-nari entah ke mana saja. Berkelana dengan sendirinya tanpa diminta. Dia merasa bahwa tak ada lagi arti yang bisa dia petik dari kehidupan yang pelik. Wafa menggerakkan kursi rodanya. Dia mengambil sebuah buku yang tak jauh dari jangkauannya. Sebuah foto kecil berukuran empat kali enam, menghiasi di balik lembaran kertas. Tersimpan erat di tengah buku itu. Wafa tersenyum tipis, namun tak lama matanya menangis. Hatinya teriris. Tak kuasa dengan sayatan belati yang tak bisa terlihat kasat mata. Foto itu yang selalu membuatnya ingin semangat menjalani hidup, pun di saat kondisi keluarganya yang hampir rapuh dan jatuh. Wafa selalu menatap foto itu. Kini batinnya tersiksa. Seakan tak ada lagi yang bisa membuatnya sekuat senyum yang tampak pada foto yang teramat disayanginya. Wafa seketika menutup bukunya. Meletakkan kembali di tempat yang sedikit tersembunyi. Dia tersiksa dengan pikiran-pikirannya sendiri. Bias penyesalan menggerogoti pikirannya. Wafa tak bisa mengontrol kesedihan yang kini berkecamuk dalam otaknya. Dia membanting beberapa buku hingga jatuh berserakan di lantai. Namun, saat tak sengaja foto yang dikaguminya itu ikut terjatuh juga. Wafa seketika meraung, dia menitikkan air matanya. Mencoba mengambil foto itu dengan segera. Sayangnya, kedua tangannya tak sampai untuk menarik foto itu, Wafa terjatuh dari kursi rodanya. Isak tangin nan kesal hadir menyelimutinya. Wafa terasa semua begitu hancur, seperti jatuhnya buku-bukunya yang tak tertata rapi lagi. Wafa mencoba menyelamatkan satu benda yang teramat sangat disayanginya. Selembar foto kecil, yang mampu membuat senyumnya hadir, meskipun hanya sebatas detik. Jeritan tak bisa dihindarkan. Wafa menyesali takdir hidupnya yang sangat menyiksanya itu. Dia yang tak bisa lagi menggunakan kakinya untuk berjalan normal. Kebencian Wafa pada Tuhannya pun semakin beralasan. Dia memukur kedua kakinya dengan kepalan kedua tangan hingga tak berhenti. Hanya sebuah foto yang berada di sampingnya itu yang dapat menghentikan kemarahannya. Setelah semua air mata tumpah ruah. Wafa mengusapnya dengan memandang penuh senyum selembar foto yang begitu dikaguminya. Kemudian, Wafa tersenyum dan tertawa kecil tanpa tahu perasaan apa yang kini sedang digenggamnya itu. Bahkan, Wafa seperti hidupnya sudah dalam kegelapan. Dia sulit untuk bernapas, begitu pula sulit untuk melihat, apalagi berjalan dalam gelap tanpa cahaya yang menyinari. Dia kembali histeris, membuyaran kembali buku-bukunya. Tak lama, foto yang dipandanganya itu merubah kemarahannya menjadi senyuman. Lalu dia tertawa kembali dengan cekikikan. Begitu terus terulang berkali-kali, sampai dia tak sadar tertidur dalam kelelahan. *** Setelah menjalani diskusi panjang, kini Indah pun tinggal bersama Wafi di rumah Fadli. Diketahui di rumah Indah tak ada kamar khusus untuknya bertempat. Selama ini Indah tidur bersama kedua adiknya. Bahkan kedua orang tua Indah pun sering sekali tidur di depan ruang tengah. Keluarga mereka juga sangat sederhana. Indah yang masih memiliki dua adik perempuan. Tak mungkin jika kedua adiknya akan tidur di luar ruangan. Oleh sebab itu, semuanya setuju jika Indah tinggal bersama dengan Wafi. Namun, hal itu membuat Yanti dongkol. Dia merasa beban keluarganya akan bertambah lagi. Sayangnya dia tak bisa beralasan. Yanti memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, dan disusul Fadli kemudian. Di tengah perjalanan. Saat Yanti dan Fadli turun dari angkot. Beberapa kumpulan ibu-ibu itu menghampiri mereka dengan wajah sinis dan tak tertahankan. “Bu Yanti, Wafi menghamili teman sekelasnya, ya.” “Hari ini mereka menikah, bukan?” “Kok bisa sih pak, anaknya guru tapi kelakuannya begitu.” “Duh, amit-amit ya ibu-ibu. Jangan sampai anak cucu kita seperti itu.” Semua ucapan yang terdengar di telinga Yanti. Membuat emosinya seketika naik di ubun-ubun. Dia seakan tak terima dengan apa yang dikatakan ibu-ibu tetangganya itu. Entah dari mana, ibu-ibu sudah mengetahui kabar yang seharusnya masih tersimpan erat itu. “Aku sumpahin ya ibu-ibu. Semoga kalian mendapatkan karma atas apa yang kalian katakan kepada keluarga saya,” ancam Yanti. “Dih, ya gak mungkin dong bu Yanti. Kita kan tidak melakukan apa pun, kita hanya turut simpati saja kok, jangan sampai nanti anak cucu kita punya kelakuan b***t seperti Wafi,” bela salah satu ibu dalam kerumunan itu. “Iya bu Yanti, doa yang buruk itu pasti gak akan terkabul.” Yanti semakin tak tahan dengan celotehan para tetangganya. Kedua tangannya mengepal. Kedua matanya berubah menjadi merah menyala. Dia menggit bibirnya dengan rasa geram yang membuatnya tak bisa tenang lagi. “Diam kalian, atau aku sumpal mulut sampah kalian itu!” “Bu, sudah. Jangan diambil hati, lebih baik kita melangkah untuk pulang,” bujuk Fadli. Fadli dengan kesabaran yang dimilikinya. Dia seolah tak ingin menambah masalah lagi dalam pikirannya. Dia seketika menggandeng Yanti untuk segera melangkah melewati g**g agar segera bisa sampai di rumahnya. “Dari mana mereka tahu tentang kabar Wafi, mas?” “Sudahlah tak usah dipikirkan, anggap saja angin lalu.” “Aku benci mereka, jika tidak ada kamu, mungkin mereka akan kuhajar satu persatu.” “Jangan marah-marah terus, Yan. Ingat, kamu lagi hamil.” “Aku tak peduli, biar mereka tidak seenaknya sendiri mengejek keluarga kita.” “Jangan dipikirkan omongan tetangga, dia tidak pernah tahu dengan kehidupan kita.” “Mana mungkin aku tak memikirkan itu, Mas. Sudah jelas mereka yang mulai duluan. Aku tidak bisa tinggal diam atas penghinaan ini.” “Tenang, kamu harus tenang dulu. Jangan emosi terus.” “Mas ini bagaimana sih, keluarga kita itu sedang dihina, mas malah diam saja, tak ada pembelaan sedikit pun.” “Diam bukan berarti kalah, Yan. Sudahlah lebih baik sekarang kita lupakan apa yang sudah ibu-ibu tadi katakan.” “Mas ini gak pernah ya bela keluarga.” “Bukan begitu, Yan. Sabar ya, nanti pasti kamu mengerti apa yang aku maksud.” Fadli mengelus pundak Yanti. Dia berharap jika istrinya bisa menahan emosi dan membawa dirinya dengan baik. Tak lama, gerbang rumahnya pun telah terlihat. Mereka segera masuk untuk sekadar melepas penat. Yanti membanting pintu kamarnya. Kemarahannya masih saja terlintas dengan segala kekesalan yang menghimpit hatinya. Perasaanya campur aduk, kemarahannya pun seakan terbagi. Pada suaminya, pada ibu-ibu tetangga, juga pada Indah yang akan segera tinggal di rumahnya. Isi kepala Yanti seakan ingin pecah. Dia berteriak dengan cukup keras. Membuat Fadli tersentak dengan teriakan itu. Dia yang baru saja mendudukkan badannya di kursi tengah. Dengan cepat berlari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada istrinya. “Yan, ada apa lagi?” “Keluar, Mas. Aku gak mau lihat wajahmu, keluar!” Yanti melempar tas ke wajahnya. Lalu bantal pun juga mengiasi lemparan yang berasal dari kedua tangan Yanti. Fadli hanya mengikuti apa yang diminta istrinya. Dia memberikan waktu agar istrinya bisa menenangkan diri, atas apa yang kini sedang datang dalam kehidupan mereka. Fadli menatap kamar Wafa. Dia segera melangkah dengan cepat. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba berubah menjadi gelisah. Fadli mengetuk pintu kamar Waf berkali-kali. “Fam Wafa, buka pintunya. Bapak ingin bicara denganmu.” Fadli sengaja mengeraskan suaranya. Dia berharap Wafa mendengar apa yang dikatakannya itu. berkali-kali Fadli mengetuk pintu. berharap Wafa segera membuka pintu kamar yang masih terkunci rapat. “Fa, tolong buka sebentar, nak. Wafa, buka, Fa.” Tak ada jawaban atas sebuah perintah yang keluar dari mulut Fadli. Sepertinya Wafa sama sekali tak mau merespon apa yang dikatakan olehnya. Fadli memutar otak. Dia tak mungkin diam dengan kondisi Wafa yang selalu mengurung diri tanpa kata itu. Fadli pun segera bertindak. Dia berusaha mendobrak pintu kamar Wafa dengan tenaga yang dimilikinya. Tak lama, pintu itu pun berhasil dibuka paksa oleh Fadli. Dia bisa segera masuk ke kamar Wafa dengan segera. Sayangnya, kedua pandangan matanya itu tertancap dengan penuh kegelisahan yang mendalam. Dia terenyuh, tak menduga dengan pemandangan yang begitu tabu di depannya. Fadli seketika teduduk lemas, dia tak mampu dengan ratapan hati atas apa yang dikatakan oleh kedua matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD