Sebujur tubuh itu tergeletak bersama beberapa buku yang berserakan di lantai. Fadli terenyuh hatinya. Melihat kondisi yang sangat mengiris.
“Wafa, bangun nak.”
Wafa pun yang mendengar suara memanggilnya. Dia membuka matanya dan menatap sosok laki-laki yang tak lain adalah bapaknya. Sayangnya, Wafa sama sekali tak bergeming dengan kehadiran Fadli di kamarnya.
Fadli yang berusaha keras untuk kembali mendudukkan Wafa ke kursi rodanya. Namun, Wafa tetap saja dengan bungkaman mulutnya. Dia sama sekali tak peduli dengan kehadiran Fadli. Setelah itu, Wafa memilih untuk berbaring di tempat tidurnya.
Menyibakkan selimut dan seketika membuat setengah dari tubuhnya itu tertutup. Wafa segera memejamkan matanya. Lagi-lagi Fadli merasa sangat terpukul dengan sikap Wafa yang semakin mengunci mulutnya.
Fadli membereskan semua buku-buku yang berceceran di lantai. Tiba-tiba saja ada selembar foto kecil yang terjatuh. Fadli menamatkan pandangan kedua matanya pada foto itu. sebelum akhirnya Wafa mematikan lampu meja dan membuat kondisi kamarnya menjadi gelap.
Fadli pun menaruh foto itu di meja belajar Wafa. Selanjutnya Fadli keluar dengan segala pemikiran yang berkecamuk pada pikirannya.
Tak lama, terlihat Wafi dan Indah telah memasuki rumah. Mereka berdua masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Fadli tak mudah untuk memejamkan matanya. Semuanya terasa berputar-putar dalam benaknya.
***
Pagi menyapa dengan indahnya sinar menatari. Fadli telah menyiapkan sarapan pagi. Meski hanya menu nasi goreng dengan lauk kacang panjang yang dapat dihidangkan. Semua anggota keluarga pun menghiasi meja makan untuk menyantap sarapan pagi bersama.
Namun, tidak dengan Wafa. Dia hanya senang mengurung diri di kamar. Fadli tak bisa berlama-lama, karena dia harus segera berangkat ke sekolah setelah dua hari ijin untuk meninggalkan kegiatan di sekolah.
Di tengah perjalanan, Fadli yang akhir-akhir ini mengurusi kehidupan rumah tangganya. Seolah dia hampir melupakan tentang beberapa hal di dunia pendidikan itu. Bahkan impiannya untuk mengikuti CPNS terakhir pun tak dapat diwujudkan.
Fadli telah kehilangan kesempatan untuk daftar, karena dia yang tak sempat mengurus beberapa data yang seharusnya dia persiapkan. Maklum saja, kondisi keluarganya yang sedang mengalami masalah berat, tak membuatnya mengingat akan pendaftaran CPNS yang kini sudah ditutup.
Padahal, di usia saat ini adalah kesempatan terakhir Fadli untuk mendaftar. Sayangnya, semua hanya sebatas impian yang sama sekali tak bisa diwujudkan. Fadli menghela napas panjang. Impian untuk menjadi pengabdi negara dengan pendapatan yang menjanjikan pun harus lenyap ditelan waktu.
Upacara hari senin adalah rutinitas yang selalu dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Kali ini ada kabar yang sangat menggembirakan. Bahwa wakil kepala sekolah yang baru saja pensiun, kini harus ada yang menggantikan jabatan kosong itu.
Berdasar prestasi dan juga mufakat beberapa komite, maka untuk pemilihan wakil kepala sekolah tidak dilakukan secara pilihan. Melainkan hanya keputusan beberapa petinggi sekolah saja. Dan saat itu ada tiga orang yang digadang-gadang.
Fadli, Rois dan Bustomi adalah tiga nama yang diisukan akan menggantikan posisi wakil kepala sekolah. Kala itu, saat sambutan kepala sekolah, telah diumumkan secara resmi bahwa pengangkatan wakil kepala sekolah, jatuh pada Fadli.
Guru dan murid pun bersorak dan mengucapkan selamat kepada Fadli. Dan bagi Fadli, dia sama sekali tak menyangka dengan amanah yang dipercayakan kepadanya. Dia pun berhias senyum teduh yang sangan berwibawa.
Namun, tidak dengan Rois. Dia yang mendengar nama Fadli disebut sebagai wakil kepala sekolah, seketika itu dirinya pun mengepalkan kedua tangannya. Rasa tak suka begitu kentara tanpa senyum yang mengembang di bibirnya.
Fadli yang menerima banyak sekali ucapan selamat, membuat Rois semakin keluar tanduknya. Apalagi saat Rois mengetahui, bahwa bu Dinar sedang ebrjalan beriringan dengan Fadli. Hatinya semakin terbakar.
“Pak Fadli, selamat ya. Bapak sangat pantas untuk menempati posisi itu,” puji bu Dinar.
“Jangan berlebihan begitu, bu. Ini hanya sebuah kebetulan saja,” terang Fadli.
“Kebetulan bagaimana? Ini benar-benar pencapaian yang sangat mengagumkan, pak.”
Melihat Bu Dinar dan Fadli yang saling melempar senyum. Rois semakin tak kuasa dengan apa yang kini dirasakannya. Hatinya diselimuti rasa cemburu yang berkobar-kobra. Rois segera melangkah mengambil beberapa data dalam lacinya, lalu dia memutuskan untuk pergi ke ruang kepala sekolah.
***
“Fi, aku itu butuh vitamin untuk anak yang aku kandung, kamu gak kerja?” tanya Indah.
“Kamu siapa ngatur-ngatur hidupku,” bantah Wafi.
“Aku istrimu, Fi. Dan kamu bertanggung jawab untuk itu, aku sedang hamil.”
“Bodo amat.”
Wafi yang sedang asyik bermain game di ponselnya. Dia sama sekali tak peduli dengan celoteh Indah yang menyuruhnya untuk bekerja dan cari uang. Wafi terus saja berbaring dengan fokus pada layar ponselnya.
“Fi, kamu ini sadar apa gak sih, kamu ini sudah mau jadi bapak, harusnya kamu cari uang untuk persiapan lahiran, bukan malah enak-enakan begini.”
“Lagian siapa yang menyuruh kamu nikah sama kau, ha!”
“Kamu lupa dengan apa yang telah kamu perbuat padaku, aku juga gak mau Fi hidup kayak gini, harusnya aku itu masih harus nikmatin sekolahku, bukan malah hamil begini, ini semua gara-gara kamu!”
“Diam, kalau kamu terus saja begitu, lebih baik pulang saja ke rumahmu!”
“Laki-laki macam apa kamu ini!”
“Kita memang sudah menikah Ndah, tapi itu hanya di atas kertas. Aku sama sekali tak mencintaimu.”
“Lalu kamu pikir apa pernikahan ini, Fi?”
“Mainan, hanya sebatar mainan.”
“Kamu laki-laki yang sangat menyebalkan.”
Pertengkaran itu semakin menjadi-jadi. Kamar Wafi yang berdekatan dengan kamar Wafa, membuatnya mendengarkan semua ucapan itu dengan pandangan mata kosong. Dan parahnya lagi, Yanti yang dari kemarin merasa stres dengan masalah yang terus saja menghampiri. Membuatnya segera berdiri dan tak terima dengan suara ribut yang tak henti-henti itu.
“Indah, kamu ini numpang tinggal di sini, jangan teriak-teriak, dong,” protes Yanti.
“Ibu lihat dong Wafi, seharusnya dia itu kerja cari uang, untuk persiapan lahiran anaknya, bukan malah malas-malasan begini, bu.”
“Tahu apa kamu tentang anak saya, Indah!”
“Ya jelas saya tahu kalau dia itu adalah suamiku, dan bertanggung jawab penuh atas hidupku.”
“Kamu sendiri jadi wanita jangan kegatelan, tahu sendiri kan akibatnya, kamu hamil di luar nikah begitu!”
“Hai! Harusnya yang ibu salahin itu Wafi, dia yang melecehkan saya.”
“Sudah, daripada suaramu seperti burung beo itu membuat telingaku sakit, pergi ke dapur kamu. Banyak cucian piring yang harus dibersihkan, cepat!”
Indah merasa tak tahan dengan sikap Yanti kepadanya. Indah sangat tahu, jika Yanti memang tak begitu menyukainya. Awalnya Indah menolak, dia hanya diam dan tetap duduk di atas temoat tidur. Sayangnya, Yanti tak diam saja. Dia menarik tangan Indah hingga Indah tak bisa menolak lagi.
Di dapur, Indah diperlakukan layaknya pembantu oleh Yanti. Dia harus mencuci semua piring kotor itu dengan bersih dan tanpa noda. Indah meneteskan air matanya, dia merasa jikalau masa depan di masa putih abu-abu hanya tinggal kenangan dan juga sebatas cerita.
“Numpang di rumah orang itu, harus tahu diri, Indah.”
Indah yang masih berkutat dengan ebnda-benda kotor itu, hanya kediamanlah yang dihadirkan. Dia sama sekali tak merespon apa yang dikatakan ibu mertuanya itu. Sesekali air mata yang jatuh itu pun segera dihapusnya.
“Kamu ini di sini, makan gratis, tidur pun kami sediakan kamar loh, tidak seperti di rumahmu, satu kamar saja isi tiga orang.”
Suara Yanti terus saja membahana. Indah masih saja diam dan tak melawan apa yang dikatakan kepadanya. Dia hanya mendengarkan dengan cukup santai. Meskipun sebenarnya, rasa sakit pun tertoreh di hatinya.
“Masih kecil juga sudah hamil, malu-maluin orang tua kamu, Ndah.”
“Cukup! Jika keberadaan Indah di sini hanya untuk ibu hina, lebih baik Indah tidak tinggal di sini, Indah akan balik saja ke rumah Indah, biar ibu tak menghina Indah lagi.”
“Oh tentu, itu sepertinya lebih baik, daripada di sini saya harus susah –susah mengurusi anak ingusan seperti kamu.”
“Indah tak menyangka, ibunya Wafi lebih kejam dari iblis sekalipun.”
Indah membanting satu piring ke lantai hingga pecah. Hal itu membuat kemarahan Yanti semakin memuncak. Dia tak bisa menahan emosinya, mendekat ke arah Indah dan menamparnya tanpa berpikir panjang.
Indah merasa tak terima dengan apa yang dilakukan kepadanya. Indah pun mendorong Yanti hingga jatuh tersungkur. Indah tak peduli lagi, dia pergi dengan cepat. Dia berlari ke rumah dan seolah tak bisa lagi tinggal di rumah yang penuh hinaan baginya.
Yanti tak kuasa untuk bangun. Dia merasa perutnya sangat sakit. Yanti berteriak meminta tolong. Merintih kesakitan, Yanti merasa tak tahan. Suara kerasnya membuyarkan Wafi yang sedang asyik bermain game di ponselnya.
Wafi segera berlari ke sumber suara yang begitu keras. Dia melihat Yanti yang sedang berada di pojok ruangan dengan memegang perutnya yang dikeluhkan sakit. Wafi segera membopong Yanti ke kamarnya.
Hanya saja, Yanti semakin tak karuan dengan rasa sakit yang semakuin mencekiknya. Dia seolah tak tahan lagi. memegang perutnya hingga menangis tak sadar. Wafi yang sempat merasa bingung dengan langkah yang akan diambilnya.
“Bu, apa yang harus kulakukan?” tanya Wafi.
“Klinik, rumah sakit.”
Yanti terus saja menyebut dua tempat itu. Dia benar-benar tak tahan lagi dengan kondisi perutnya yang semakin tak tertahankan sakitnya. Wafi pun segera membopong ibunya ke klinik terdekat. Dengan sigap, bidan pun segera memeriksa kondisi ibunya.
***
Fadli yang baru saja pulang dari sekolah. Dia merasa sangat bahagia dengan pengangkatan jabatan untuknya. Kini wakil kepala sekolah sudah melekat dalam dirinya. Tugasnya akan bertambah dan setidaknya, gajinya pun akan mengikuti.
Fadli mencari Yanti ke seluruh ruangan. Sayangnya dia tak mendapati siapa pun di dalam rumah. Hanya ada Wafa dengan segala kediamannya. Fadli tak kuasa melihat anaknya itu yang semakin diam tanpa suara.
“Wafa, apa kamu sudah makan, nak?”
Wafa tak bergeming sama sekali. Dia hanya menatap dengan tatapan kosong. Tak ada jawaban yang dikeluarkan dari mulutnya. Fadli terus saja berusaha untuk mengajaknya berkomunikasi. Sayangnya, tetap saja tak ada hasil yang diharapkannya.
Fadli segera mengambil sedikit nasi goreng yang masih ada. Dia kemudian mencoba menyuapi Wafa. Awalnya Wafa menolak, dia membanting piring itu hingga jatuh di lantai. Betapa teriris hati Fadli melihat apa yang dilakukan Wafa.
Namun, Fadli tak putus semangat, dia kembali mengambil sedikit nasi goreng, kemudian tanpa direncanakan. Fadli mengambil selembar foto kecil yang ditaruhnya di atas meja belajar Wafa.
Kemudian Fadli memberikan foto itu kepada Wafa. Tak disangka, Wafa seperti memiliki semangat tersendiri ketika menatap foto itu. Bahkan Wafa pun segera membuka mulutnya untuk menerima suapan dari bapaknya.
***
Yanti dan Wafi telah kembali dari klinik. Fadli yang merasa khawatir pun tak bisa tenang. Dia menatap wajah istrinya yang sangat pucat.
“Apa yang terjadi, Yan?”
“Indah mendorongku, Mas. Perutku kram sekali.”
“Indah sekarang ke mana?”
“Tak usah kamu pedulikan dia lagi, dia anak kurang ajar, berani dia menyakitiku, mendorongku hingga aku jatuh dan perutku terbentur.”
“Bagaimana kondisi bayi kita?”
“Baik, jika tadi aku terlambat ke klinik, sudah dipastikan bayi ini akan dipaksa untuk dilahirkan.”
“Masih enam bulan, Yan.”
“Makanya Mas, siapa yang suruh anak s****n itu tinggal di sini, aku kan yang jadi korbannya.”
Fadli terdiam dengan kemarahan Yanti yang semakin tak bisa dihentikan. Dia terus saja berceloteh tanpa henti. Wafi hanya diam mendengarkan, tak lama terdengar suara ketukan pintu. Fadli berharap jika yang datang adalah Indah menantunya.
“Selamat siang, benar ini rumahnya pak Fadli?”
“Iya, benar sekali, Pak. Saya Fadli.”
Dua orang polisi berdiri tegap di depan pintu ruangan Fadli. Mereka menatap Fadli dengan cukup serius.
“Kami datang membawa surat penangkapan untuk bapak.”
“Untuk saya, Pak.”
“Iya, Pak.”
Semua tercengang dengan apa yang dikatakan polisi. Fadli membaca surat penangkapan itu. Hingga dia harus diborgol kedua tangannya dan dibawa ke kantor polisi dengan segera.