“Baik, Pak. Lusa kita akan langsungkan pernikahan Wafi dan Indah.”
Suara tegas Fadli membuat keluarga Indah merasa lega. Namun, tidak dengan Yanti dan jugaWafi. Keduanya dalam kediaman dan penuh dengan kekecewaan atas langkah cepat yang diambil Fadli.
“Pak, aku tidak mau menikah di usia muda seperti ini, aku masih sekolah, pak.”
Fadli terdiam penuh penyesalan. Dia berusaha untuk mencari solusi dari masalah berat yang kini membuat keluarganya seakan jatuh ke dalam jurang yang sama.
“Pak, aku masih harus kerja untuk menghidupi keluarga nantinya, mana mungkin aku putus sekolah dan hanya berijazah SMP. Tolong kalian mengerti itu.”
Semuanya terdiam mendengar sebuah argumen yang dilontarkan Wafi. Pemuda itu merasa sangat keberatan jika masa depannya terenggut begitu saja. Namun, penyesalan itu memang tak pernah berada di depan.
“Aku mau menikah dengan Indah, asal pernikahan ini disembunyikan dan aku tetap sekolah.”
Lagi-lagi Wafi masih saja menawarkan atas keinginan yang tinggi menjulang di dasar hatinya. Semua masih diam, mendengarkan dengan penuh pemikiran. Namun, tak lama setelah Wafi menutup mulutnya. Indah menatapnya dengan penuh keseriusan.
“Apa hanya kamu yang kehilangan masa depan, Fi. Aku juga. Mimpiku lenyap karena ulahmu, jadi aku tak setuju dengan apa yang kamu katakan itu.”
Wafi geram dengan ucapan Indah. Dia berdiri dan mengajak Indah untuk berbicara empat mata di ruang tengah. Kedua orang tua mereka pun hanya diam mengikuti apa yang dilakukan Wafi.
Suasana di ruang tamu, sunyi. Senyap tanpa satu pun suara yang hadir dalam pandangan mata masing-masing. Berbeda dengan di ruang tengah. Wafi dan Indah saling beradu pendapat.
“Ndah, asal kamu tahu ya, jika aku sama sekali tidak melakukan perbuatan itu kepadamu.”
“Cukup, buktinya saat aku bangun, kamu yang ada di sampingku, Fi.”
“Aku juga tidak tahu, kenapa aku bisa tidur di sampingmu.”
“Cukup, aku tidak mau mendengar alasanmu lagi.”
“Ndah, kenapa kamu tidak mengakhiri saja nyawa janin itu?”
Indah yang mendengarkan usulan Wafi. Seketika dia menampar pipi Wafi dengan sangat keras. Rasa kecewa penuh kemarahan bersatu. Dengan sekuat tenaga, Indah tetap akan mempertahankan anak yang dikandungnya.
“Oke, Ndah. Aku akan menikahimu, tapi aku minta kamu ijinkan aku untuk tetap sekolah.”
“Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
“Ndah, mana mungkin aku putus sekolah, apalagi aku harus menikahimu yang anaknya bukan darah dagingku.”
“Diam kamu, Fi. Cuma kamu yang melakukan itu padaku saat ulang tahun Tristan.”
“Tapi aku sama sekali tidak merasa melakukannya, Ndah.”
“Kamu mabuk kan malam itu?”
“Iya.”
“Sudahlah, Fi. Kamu harus cepat menikahiku, sebelum kehamilanku semakin besar.”
Indah segera pergi dari hadapan Wafi. Dia tak mau berdebat lagi. sedangkan Wafi memegang kepalanya yang terasa penuh dengan masalah. Teriakannya pun menyelimuti. Dia seperti kerang di tengah lautan.
“Pak, Bu. Aku dan Wafi sepakat untuk menikah besok.”
Ucapan Indah melengking. Semua keluarga pun hanya bisa diam mendengarkan. Sedangkan Wafi yang ingin menolak serasa tak berkutik sama sekali. Semuanya baginya sudah hancur dan tak bisa untuk diperbaiki lagi.
***
Selepas membereskan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Pak Rois yang masih hidup seorang diri itu, kembali menikmati secangkir kopi panas yang telah dibuatnya. Sembari membaca beberapa jurnal yang ada di tangannya.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Pak Rois segera membuka pintu rumahnya. Dilihatnya rekan kerjanya datang dengan kondisi basah kuyup karena hujan yang jatuh menghiasi bumi.
“Pak Rois, saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi.”
“Kenapa pak Fadli?”
“Bapak kan bendahara sekolah, saya mau ijin untuk pinjam uang sekolah pak, untuk membayar tagihan rumah sakit anak saya.”
“Tapi ini jam di luar sekolah, Pak.”
“Iya, pak. Saya tahu, tapi ini mendesak sekali, pak.”
“Tapi saya butuh persetujuan kepala sekolah dulu, Pak.”
“Tadi saya sudah telepon bapak kepala sekolah, sayangnya tidak aktif.”
“Berapa yang bapak butuhkan?”
“Enam juta, Pak. Nanti bisa dipotong dari uang gaji saya selama enam bulan, Pak.”
“Tapi bapak masih punya hutang pribadi dengan saya, ya.”
“Iya, Pak. Saya ingat itu. Dan gaji bulan depan saya akan mulai mengangsurnya.”
“Ya sudah, begini saja, saya kasih uang saya dulu, besok saya transfer ke rekening bapak, tapi nanti bapak ambil dan kasihkan lagi ke saya ya, karena saya butuh untuk laporan uang keluar.”
“Iya pak, Rois. Tidak masalah.”
“Baik tunggu sebentar.”
Fadli seketika berhias senyum. Setidaknya ada cahaya untuk bisa menyelesaikan masalahnya. Dia bisa segera mengantarkan Wafa pulang kembali ke rumah dan tidak terus menginap di rumah sakit.
***
Wafa yang kini sudah semakin membaik kondisinya. Dan mulai sekarang dia harus bersahabat dengan kursi roda. Kemana pun dia pergi, kursi roda akan mengantarkannya. Rasa pekik dalam hatinya tak terbendung lagi.
Sore itu, Wafa sudah diijinkan untuk pulang. Sayangnya Fadli belum bisa membayar tagihan rumah sakit. Wafa pun hanya diam dan menunggu sang bapak datang untuk bisa segera membawanya pulang.
Setiap ada suster yang datang ke ruangannya. Wafa dengan cepat memalingkan wajahnya. Dia merasa bahwa dirinya sama sekali tak berarti. Meskipun suster mengajaknya berbicara. Wafa hanya diam tanpa menjawab.
Tak lama, Fadli datang untuk menjemputnya. Wafa pun tak menunjukkan ekspresi senang jika dirinya akan segera pulang. Wajah datarnya, seolah membuat Fadli kembali tercengang dengan apa yang disajikan di depannya.
“Fa, sudah siap pulang hari ini?”
Wafa memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tak berniat untuk menjawab pertanyaan dari bapaknya itu. Bibirnya terasa kelu. Terbungkam dengan sesak dalam rasa yang tak bisa ditinggalkan.
Fadli pun mencoba untuk mengerti apa yang kini dirasakan oleh anak laki-lakinya itu. Wafa seolah butuh waktu untuk dia bisa menerima kenyataan tentang kondisi yang kini sangat tak diinginkan olehnya.
Fadli yang sudah menyelesaikan tagihan rumah sakit. Dia segera mendorong kursi roda Wafa untuk pulang ke rumah. Wafa tetap dalam rasa yang tak bisa dikatakan pada siapa pun. Dia terus saja diam dan tak mau mengatakan sepatah kata pun.
***
Diam-diam Wafi pergi dari rumah. Dia ingin menemui Tristan, menanyakan tentang kejadian tak sengaja di malam itu. Wafi yang sangat yakin bila dirinya sama sekali tak melakukan perbuatan k**i pada Indah.
Sayangnya, saat Wafa baru akan melewati pintu pagar rumahnya. Di hadapannya sosok sang bapak dan juga saudara kembarnya telah pulang dari rumah sakit. Wafi berdiri diam dan menatap kedua laki-laki yang juga sedang menatapnya.
“Wafi, tolong bantu Wafa masuk ke rumah.”
Wafi mengumpat dalam hatinya. Dia merasa sangat s**l. Harusnya dia tidak membantu adiknya sendiri. Dia yang harusnya pergi ke rumah Trisntan, malah terjebak dalam keadaan membuat u*****n di dadanya meledak-ledak.
Yanti yang melihat sang anak telah pulang dari rumah sakit. Dia merasa sangat bahagia. Yanti berhias senyum dan memeluk Wafa segera. Namun, ada sesuatu yang mengganjal hati Yanti. Wafa sama sekali tak menjawab kata-katanya, atau bahkan senyum yang dia hadirkan.
“Wafa, kondisimu sudah membaik kan, nak.”
Tak ada jawaban. Wafa mengatur kursi rodanya untuk segera digerakkan menuju ke kamarnya. Sungguh, sangat tak dimengerti Yanti. Tentang apa yang terjadi pada anaknya itu.
“Mas, Wafa kenapa?”
Wafi yang juga masih berdiri tak jauh dari sang ibu. Dia juga menyimpan sedikit pertanyaan dalam benaknya. Fadli menatap Yanti dan juga Wafi dengan lamat. Menarik napas panjang, dan Fadli tak mau lagi menutupi kebenaran yang sebenarnya terjadi pada Wafa.
“Wafa, kondisinya akan terus seperti itu.”
“Maksud kamu apa, Mas?” tanya Yanti penasaran.
“Kecelakaan itu, membuat Wafa mengalami lumpuh selamanya.”
Bak disiram air panas. Sekujur tubuh Yanti tak bisa bergerak lagi. Dia terduduk kaku dan tak bisa mengucapkan apa pun. sedangkan Wafi, dia hanya bisa diam tanpa menyangka sebuah kabar itu sampai di telinganya.
***
Wafa masuk ke dalam kamarnya. Dia bahkan sama sekali tak menjawab semua pertanyaan yang terlontarkan untuknya. Rasa sakit yang terpendam di dadanya itu terasa sangat menyedihkan. Wafa mengunci kamarnya rapat-rapat.
Dia ingin sendiri. Yanti yang sedari tadi seolah ingin mendampingi anak laki-lakinya. Nyatanya, Wafa dengan tegas menolak itu, meskipun tanpa ucapan. Gestur tubuhnya lebih cepat mengatakan. Diam dan menatap tajam pada dinding kamarnya.
Jiwanya seolah terenggut dengan kondisi kakinya yang kini tak bisa digerakkan lagi. Wafa harus rela menanggalkan mimpi untuk menjadi seorang pemain sepak bola yang profesional. Di sekolah dia sebagai ketua tim, dan pastinya setelah ini, Wafa akan berhenti dari kegiatan itu.
Riuh, tersiksa dan penuh penyesalan. Semua bercampur menjadi satu. Tak bisa lagi menggunakan akal sehat untuk berpikir. Wafa melangkah menuju meja belajarnya. Dia membuang semua barang itu dan menjerit dengan sangat keras. Hancur tak berbentuk lagi.
Yanti yang mendengar teriakan itu, merasa miris hatinya. Fadli pun demikian, dia melangkah dekat dengan Yanti. Saling menatap satu sama lain. Kesedihan memang tak bisa dipungkiri dari raut wajah mereka.
“Apa yang harus kita lakukan, Mas?”
“Sementara waktu, kita biarkan saja Wafa di kamarnya, dia butuh menenangkan dirinya.”
“Kenapa hal itu harus terjadi padanya.”
“Kita bisa apa? jika takdirnya sudah begini?”
Yanti tak menjawab lagi perkataan Fadli. Dia segera menuju ke kamarnya. Sedangkan Fadli menyendiri di ruang tamu dengan segala beban yang dipikulnya.
Wafi mengintip dari balik dinding. Dia yang ingin pergi ke rumah Tristan sepertinya harus ditunda. Bapaknya pasti tak akan mengijinkan jika Wafi keluar tanpa tujuan yang jelas. Dia hanya bisa mengumpat dalam kekesalan.
***
Wafi masih saja berhias selimut, dia menikmati mimpi malam panjangnya. Sedangkan Yanti dan Fadli sudah bersiap untuk pergi ke rumah Indah. Mereka akan menikahkan anak mereka dengan wanita yang sudah terlanjur berbadan dua.
“Apa kita ajak Wafa, Mas?”
“Kita tanyakan saja sama dia, mau atau tidak. Yang terpenting jangan dipaksa.”
Yanti keluar kamar terlebih dahulu. Dia melangkah menuju ke kamar Wafa. Mengetuk pintu kamar itu berkali-kali. Sayangnya tak ada jawaban yang terdengar. Yanti pun mengira jika Wafa masih tertidur.
Yanti melangkah kembali untuk melihat Wafi. Pintu kamar Wafi yang tak dikunci, membuat Yanti bisa langsung masuk tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Ya ampun, Wafi. Kamu masih saja tidur. Cepat bangun dan kita akan segera pergi ke rumah Indah.”
Suara keras Yanti, membuat kedua mata Wafi pun terbuka. Hanya saja, dia sedikit sulit untuk membangunkan badannya. Rasa malas mengiringinya. Bahkan Wafi kembali meraih guling dan memeluknya.
“Fi, cepat bangun, atau ibu akan menyirammu dengan air!”
Wafi yang memang masih sulit untuk bisa membangunkan dirinya sendiri. Namun, nada bicara Yanti yang terus saja melengking tanpa henti. Membuat telinga Wafi terasa ingin copot. Wafi pun segera menuju ke kamar mandi. Dia tak mau mendengar celoteh ibunya lagi.
“Bu, sudah siap?”
Suara Fadlli terdengar dari depan kamar. Yanti pun segera keluar untuk menemui suaminya. Sembari memberitahukan jika Wafi baru saja mandi. Setelah itu, Fadli dan Yanti segera mengintip kondisi kamar Wafa. Mereka ingin masuk dan berbicara dengan anaknya itu.
“Wafa, tolong buka, nak. Bapak dan Ibu mau bicara sebentar,” kata Fadli.
“Fa, ayo sayang dibuka, kami hanya ingin mengatakan sesuatu padamu,” sahut Yanti.
Berkali-kali bujuk rayu mereka tuangkan. Hanya saja masih tak ada hasil dari jawaban yang mereka harapkan. Wafa sama sekali tak bergeming dan tidak membuka pintu kamarnya.
“Ini semua gara-gara kamu, Mas.”
“Apa maksudmu?”
“Setelah kedatangan anak yang tak berguna itu, keluarga kita kena s**l semuanya. Dan bahkan kedua anak kita menjadi korbannya.”
“Anak tak berguna siapa maksudmu, Yan?”
“Siapa lagi kalau bukan anak yatim piatu itu.”
“Astaga, Tama. Aku sampai lupa tak mencarinya.”
Fadli yang pikirannya penuh dengan beban pikiran itu, sampai tak ingat dengan Tama. Dia pun merasa bersalah telah membuat Tama pergi dari rumahnya.
“Yan, aku harus mencari Tama sekarang!”