Part 15 - Kematian

2037 Words
Fadli tersentak. Ketika dia ingat jika waktu ijinnya keluar sekolah hanya tinggal beberapa menit lagi. Fadli pun tak banyak bicara dengan Wafa. Dia hanya tersenyum dan pamit segera dari anak keduanya itu. “Bapak, tidak bisa lama-lama, nak. Belajar yang rajin ya.” Wafa mengangguk dan menyaksikan lelaki hebatnya itu dengan sangat diam. Kemudian dia harus mengalihkan pandangannya segera. Saat dia ingat akan tugasnya membagikan buku-buku tugas yang ada di tangannya. *** Fadli mengayuh sepedanya dengan cepat. Dia tidak mau mengecewakan amanah yang telah diberikan oleh kepala sekolah kepadanya. Peluh menetes menghiasi tubuhnya yang terpanggang terik siang. Fadli kering tenggorokannya. Ingin rasanya dia membeli air mineral untuk mengobati rasa haus yang kini menggerogoti tenggorokannya. Melewati pasar, Fadli sangat ingin melepas dahaganya. Dia ingin sekadar berhenti di salah satu toko yang menjual air mineral.  Namun, hal itu hanya sebatas keinginan dan tidak dilakukannya. Lagi-lagi dia teringat bila waktu ijinnya keluar dari sekolah hanya tinggal beberapa menit. Fadli semakin menambah kekuatan untuk mengayuh sepedanya. Tak dihiraukan rasa haus yang merongrong di bawah matahari siang. Pandangan mata Fadli tiba-tiba saja tertuju pada kerumunan orang yang ada di pinggir jalan di area pasar. Fadli sempat merasa penasaran dengan apa yang terjadi. Dia sangat ingin melihat apa yang sedang di kerubungi oleh para manusia itu. Sayangnya, Fadli tak punya lagi kesempatan untuk mengikuti keinginannya. Dia harus segera mengayuh kembali sepedanya tanpa henti. Hanya karena tak ingin terlambat dengan waktu yang telah diberikan. Menahan panas dan haus yang menyelami. Fadli kini telah berada di depan gerbang sekolah. Dia akan segera masuk ke dalam  dengan turun dari sepedanya. Meminta penjaga sekolah untuk membuka pintu gerbang. “Pak, Pak Fadli tunggu!” Fadli mendengar ada seseorang yang sedang memanggil namanya. Dia segera menoleh ke belakang. Seorang laki-laki mengenakan kaos hitam panjang dan celana pendek. Serta berhias topi berwarna abu-abu di kepalanya. Fadli pun menunggu dengan tatapan mata yang tak lepas dari laki-laki yang sedang mengendarai sepeda motor itu. fadli menancapkan pandangan matanya tanpa lepas. “PaK Fadli, saya Imam. Tetangganya Tama, sekaligus wali murid di sini.” “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” “Pak, tolong sampaikan ke Tama, kalau ayahnya meninggal, pak.” Fadli mulutnya seakan terkunci mendengar berita duka itu. Dia memandang penuh wajah Imam yang juga terlihat raut kesedihannya. “Pak Fadli, pak Fadli mendengar saya kan?” Fadli tersentak mendengar kata-kata dari seorang laki-laki yang juga wali muridnya. Fadli pun merasa tak menyangka akan sebuah kabar yang sangat menyedihkan itu. “Apa yang terjadi dengan beliau sebelumnya, pak?” “Ceritanya panjang, pak. Nanti saya akan cerita ke bapak. Tolong sampaikan dulu ke Tama tentang kabar ini.” “Baik, pak.” “Saya akan tunggu Tama di sini ya, pak.” “Iya.” Fadli menaruh sepedanya di samping gerbang. Penjaga sekolah pun membantu untuk menertibkan parkir sepeda ontel itu. Fadli berlari dengan sangat cepat. Dia mengarah ke ruang kelas Tama. Fadli segera memasuki ruang kelas itu. Dan kebetulan bu Dinarlah yang sedang mengajar kelas Tama. “Bu, saya mau memberitahu Tama jika ayahnya meninggal.” Fadli berbisik lirih pada bu Dinar tentang apa yang harus disampaikannya. Namun, sepertinya bu Dinar merasa cukup aneh dengan informasi yang didengarnya. “Maaf, Pak. Tama hari ini absen, dia tidak masuk sekolah.” Fadli segera menatap bangku Tama yang berada di pojok paling belakang. Dia ternyata tak mendapati Tama berada di tempat itu. Kemudian Fadli kembali mengarahkan pandangannya ke arah bu Dinar. “Dia tidak ijin pada ibu?” “Hari ini dia tanpa keterangan, Pak. Tak ada surat ijin dan teman-temannya juga tidak mengetahui sebab Tama tidak masuk.” “Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi.” Fadli kembali membalikkan badannya. Dia akan kembali ke halaman depan sekolah, untuk memberitahu tetangga Tama, jika anak yang dicarinya sedang tidak ada di sekolah. “Pak Fadli.” Langkah cepat Fadli harus kembali terhenti. Saat dirinya menoleh ke arah sumber suara. Rois sedang berdiri dan menatapnya dengan tatapan yang tidak menyenangkan. “Ada apa pak Rois.” “Kenapa harus mengganggu bu Dinar mengajar, apa tidak bisa menunggu pelajaran selesai, memalukan sekali, apa yang telah bapak lakukan.” “Pak Rois, jangan salah paham.” “Sungguh kurang etis sekali, Pak.” Fadli merasa percuma menjelaskan apa yang kini menjadi kesalahpahaman itu. Fadli yang sedang ditunggu kehadirannya, harus segera menemui seseorang yang pastinya berharap adar dirinya segera membawa Tama ke gerbang sekolah.  “Maa Pak Rois, saya sedang buru-buru.” Fadli dengan terpaksa meninggalkan Rois yang masih saja berdiri menatapnya dari kejauhan. Fokus Fadli kini hanya tertuju pada Tama. Seorang anak yang sudah lama tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan kini, Tuhan kembali mengambil satu-satunya orang tua yang dimiliknya. Dengan napas terngah-engah, Fadli kembali menemui laki-laki yang masihs setia menunggunya di gerbang sekolah. Air mata penuh kepanikan, seolah tak bisa membohongi siapa pun yang menatapnya. “Pak, ternyata setelah saya ke kelas Tama, ternyata hari ini Tama tidak masuk sekolah tanpa keterangan.” “Apa, Pak. Bapak yakin?” “Sangat yakin, karena wali kelasnya sendiri yang menginformasikan hal tersebut kepada saya, Pak.” “Lalu Tama ke mana ya pak Fadli.” “Sebentar pak, saya butuh bicara dengan kepala sekolah dulu, nanti kita akan cari Tama bersama ya, saya mohon bapak tunggu dulu sebentar di sini.” “Baik, Pak.” Fadli mencoba untuk mencari petunjuk dari langkah yang akan diambilnya. Dia segera berlari menuju ruangan kepala sekolah. Fadli ingin menceritakan informasi yang menurutnya sangat penting itu. Fadli sangat dekat dengan Tama. Anak didiknya itu setiap hari selalu datang ke rumahnya untuk belajar. Kini Fadli pun diliputi kecemasan terkait keberadaan Tama yang masih belum diketahui di mana rimbanya. Kepala sekolah yang memiliki keputusan dan juga wewenang dalam menentukan suatu hal. Dengan rasa simpati yang mendalam, kepala sekolah pun meminta Fadli dengan guru lain untuk membantu mencari Tama, serta ikut takziyah atas meninggalnya ayah Tama. Fadli yang sudah mendapatkan lampu hijau itu, dengan cepat berlari lagi menuju ke gerbang sekolah. Kali ini Fadli ditemani rekannya yang tak lain adalah seorang guru BK. Tak mau berpikir lama lagi, mereka semua akan berbagi tugas untuk mencari Tama. Beberapa tempat pun sudah menjadi pijakan. Namun Tama tak juga dapat ditemukan. Rasa kebingungan pun melanda, padahal di kediamannya telah berkumpul banyak warga untuk mengantarkan ayah Tama ke tempat peristirahatan terakhir. Beberapa teman Tama pun ditanyai di mana Tama biasanya bermain. Sayangnya, beberapa tempat yang telah disebutkan itu, sama sekali tak ditemukan sosok Tama. Fadli semakin ingin pecah kepalanya. Dia bertekad untuk bisa mendapatkan Tama tanpa alasan apa pun. Fadli terus saja menyusuri jalan di kampung. Dia yakin sekali bila Tama tak akan pergi jauh dari lingkungan rumah atau pun sekolahnya. Fadli yang merasa tenggorokannya sudah tak bisa menahan lagi dahaganya. Dia pun segera berbelok langkah menuju satu toko kelontong. Fadli mengambil air mineral dan segera dibayarnya. Setelah itu, Fadli harus fokus lagi untuk mencari Tama. Dia harus menemukan Tama sebelum sang ayah dikebumikan. “Pak Fadli, apa Tama sudah ketemu?” Suara pak Imam melengking dari kejauhan. Fadli pun menatap laki-laki itu dengan raut wajah sendu. Harapan yang masih tergantungkan itu, seolah belum mendapatkan titik terang. “Saya belum menemukan Tama, Pak. Bagaimana kondisi kediaman jenazah?” “Jenazah sudah dimandikan, tapi tidak mungkin dikebumikan jika Tama belum diketemukan, Pak.” “Maaf, Pak. Apa ayah Tama sebelumnya sakit?” “Saya kurang paham, Pak. Hanya saja tadi ketika dia sedang bekerja di pasar, saat menunggu penumpang, beberapa orang mengira ayah Tama sedang tidur, tapi ternyata nyawanya sudah tidak ada.” “Pak Imam, kita harus bisa menemukan Tama, apa pun caranya.” “Iya, Pak.” Dua orang itu seketika seolah telah mendapat sebuah tambahan semangat untuk mencari anak kecil yang malang itu. Keduanya pun sepakat untuk memisahkan diri, berharap cepat untuk menemukan Tama. Entah mengapa, Fadli meninggalkan sepeda ontelnya. Dia yang menatap ke arah sungai yang begitu jernih dengan aliran yang begitu deras. Fadli pun mendekati sungai itu. melangkah pelan dengan jalan yang tidak mudah untuk dilalui. Fadli memasang kedua matanya dengan tajam. Semua penjuru arah itu menjadi pusat perhatiannya. Dan ternyata, dia begitu terkejut. Saat melihat seorang anak kecil berpakaian seragam sekolah lengkap dengan topi dan juga tasnya. Dari belakang, anak laki-laki itu tengah duduk dengan menundukkan kepalanya. Fadli pun tak mau membuang waktunya lagi. Dia segera mendekat ke arah anak yang diyakininya adalah Tama. “Tama.” Panggilan Fadli mengawali. Anak laki-laki itu tetap saja dengan posisinya. Dia sama sekali tak bergerak. “Nak, apa kamu Tama?” Pertanyaan kedua tetap saja tanpa jawaban. Dan juga tanpa pergerakan si anak. Fadli melangkah untuk mendekat, bahkan sekarang jaraknya dengan anak itu hanya satu meter saja. Fadli harus memastikan atas pikirannya. Fadli kemudian menyentuh dagu anak itu dengan paksa. Dia mendongakkan kepala anak yang tengah duduk bersila itu. Ternyata dugaan Fadli benar, Tama tengah berada di pinggir sungai dengan duduk diam tanpa melakukan apa pun. “Apa yang kamu lakukan di sini, Nak.” “Bapak pergi saja dari sini, aku hanya ingin sendiri.” “Tama, ayo bapak antar pulang.” “Tidak, Tama tidak mau pulang.” “Kenapa?” “Untuk apa aku pulang, jika ayah sudah tidak sayang aku lagi?” “Kata siapa?” “Ayah yang bilang sama aku.” “Memangnya ayah Tama bilang apa?” “Semalam ayah bilang akan pergi jauh, dan akan menitipkan aku ke bapak. Aku tidak mau dititipkan ke bapak, aku hanya mau ikut ayah.” “Tama, percayalah dengan bapak. Ayah Tama sangat menyayangi Tama.” “Bohong, semalam ayah memarahiku habis-habisan, memintaku untuk pergi ke rumah bapak dan tinggal bersama bapak, tidak tinggal bersamanya.” Fadli merasa bahwa Tama belum mengetahui kematian ayahnya. Sepertinya apa yang dikatakan ayah Tama malam itu merupakan firasat tanpa disengaja terucap dengan sedikit emosi. Fadli mendekap tubuh anak kecil itu dengan kasih sayangnya. Tama terlihat menangis dengan tersedu-sedu. Dia sangat kecewa dengan apa yang dikatakan ayahnya. Bahkan Tama merelakan sekolahnya, hanya untuk menyediri dengan kegundahan hati yang sedang dirasakannya. “Tama, sekarang itu bapak, ya.” “Tidak, Tama ingin di sini saja, Pak.” “Tama harus pulang, karena ayah Tama sedang ingin bicara dengan Tama.” “Kenapa yah tidak ke sini saja untuk menemuiku?” “Ayah Tama tidak bisa ke sini, nak.” “Karena ayah sudah tak menyayangiku, kan?” “Bukan, bukan itu alasaannya?” “Lalu apa, Pak. Ayah sudah memarahiku, padahal aku hanya memecahkan piring saja, aku tidak nakal, aku hanya tidak sengaja, itu saja, pak.” “iya, bapak mengerti. Tama anak yang pintar, sekarang Tama pulang sama bapak, ya.” “Tidak, Tama tidak mau. Tama tetap mau di sini.” “Kalau bapak minta tolong boleh?” “Apa?” “Tama ikut bapak, ya. Bapak mau ke toko buah untuk beli buah tapi bapak tidak bisa bawanya.” Tama terdiam dengan apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Dia merasa masih marah dengan ayahnya. Tapi Tama takut bila tidak menuruti apa yang dikatakan gurunya itu. Seketika Tama pun menganggukkan kepalanya lesu. Dia mau mengikuti apa yang dikatakan Fadli untuk pergi ke toko buah. Fadli pun menggandeng Tama dengan segera, dengan sepeda ontel yang terletak tak jauh dari sungai. Tama yang masih diselimuti rasa kecewa itu, dia hanya diam tanpa berkata apa pun. Dibonceng Fadli di belakang. Dia sama sekali tak mau melihat arah mana pun, selain hanya menunduk ke bawah. Fadli dengan cepat mengayuh sepedanya dengan cepat. Roda berputar dengan sejuta rasa yang kini mengganjal di hati Fadli. Dia bahkan rela mengelabuhi Tama, agar anak didiknya itu mau diajak bersamanya. Di tengah perjalanan, Tama tiba-tiba saja mendongakkan kepalanaya. Lalu dia menatap ke kanan. Dia seperti tahu ke mana arah yang akan dituju. “Pak, ini seperti jalan ke rumah Tama.” Fadli pun tak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya berkonsentrasi untuk membawa sepedanya agar cepat sampai di tujuan. Semakin dekat dengan rumah Tama, anak itu seolah semakin panik. Dia seperti ingin berbalik arah, namun Fadli memboncengnya dengan sangat cepat. Tama tak dapat berpindah arah. Matanya menelisik saat melihat sebuah bendera kuning yang terpasang di rumahnya. Mata Tama berkaca-kaca, dia tak mengerti dengan kehadiran banyak orang di rumahnya itu. Fadli turun dari sepedanya. Dia menatap Tama tanpa lepas. Sedangkan anak didiknya itu, masih tetap dengan pandangan tabu penuh tanda tanya dalam hatinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD