Part 14 - Kecewa

1772 Words
Fadli yang telah menitipkan dua dagangannya itu ke kantin sekolah dan juga ke sebuah toko yang tak jauh dari sekolahnya. Dia akan berkonsentrasi untuk memberikan pelajaran kepada anak didiknya. “Pak Fadli, apa sudah daftar CPNS?” Bu Dinar dengan senyumnya  terus saja mengembang di hadapan pak Fadli. Rois yang melihat kedekatan mereka pun terasa tersulut emosinya. Laki-laki yang belum memiliki istri itu pun seperti terbakar cemburu. Rois berjalan menuju tempat Fadli dan wanita yang sedang dilihatnya itu dengan cepat. Dia seolah ingin membuyarkan pandangan keduanya yang masih menatap penuh perhatian. “Sedang bicarakan apa? kok serius sekali?” Rois kembali menatap bu Dinar dengan kedua mata tak lepas dari wajah cantik guru yang berstatus janda itu. “Ini pak Rois, terkait pendaftaran CPNS.” “Oh begitu, emangnya bu Dinar sudah daftar?” “Nanti pulang sekolah rencananya saya mau daftar, pak.” “Kalau begitu sama, Bu. Saya juga. Kalau begitu nanti kita barengan, ya.” Bu Dinar menahan senyum dengan apa yang dikatakan Rois kepadanya. Sedangkan Fadli sama sekali tak menimpali pembicaraan itu. Pikirannya hanya tertuju pada secarik kertas tentang surat panggilan dari sekolah anaknya. Fadli berlalu dengan meninggalkan senyum. Dia menuju ke ruangan kepala sekolah untuk meminta ijin keluar sekolah sejenak. Demi memenuhi kewajibannya sebagai wali murid. Fadli penuh dengan harapan, jika kepala sekolah dapat memberikannya ijin dengan mudah. Melangkah dengan doa yang terus terpanjatkan. Rois yang mengetahui langkah Fadli menuju ke ruang kepala sekolah, dia merasa sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Fadli di ruangan orang nomor satu di sekolah itu. Rois mencoba untuk mencari tahu dengan rasa pnasaran yang menggelitik di dadanya. Bahkan Rois sempat menguping sedikit pembicaraan yang dilakukan rekannya itu dengan kepala sekolah. Namun, aksinya itu harus kepergok bu Dinar yang juga sedang lewat di depan ruang kepala sekolah. “Pak Rois sedang apa di sini?” Rois celingukan dengan alasan yang akan dikatakan pada wanita yang telah memikat hatinya secara diam-diam itu. “Ini Bu, apa, emmm itu loh ...” “Kenapa pak?” “Saya sedang cari pulpen saya yang jatuh tadi, bu. Tapi tidak ketemu.” “Oh, kalau begitu pakai pulpen saya saja, kebetulan saya bawa beberapa pulpen.” Bu Dinar memberikan satu pulpen yang diambilnya dari dalam tas. Kemudian setelah itu bu Dinar segera menuju ke kelas untuk kembali mengajar. Rois menatap bu Dinar tanpa berkedip. Parfum yang dikenakan bu Dinar seolah tertancap di hidungnya. Rois seperti kehilangan kesadaran. Hingga Fadli yang baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah merasa aneh dengan adanya Rois di depan pintu. tak ada pergerakan, hanya diam mematung dan tatapannya tak beralih dari satu titik. “Pak Rois, apa yang sedang bapak lakukan di sini?” Rois pun terkejut mendengar suara yang membuyarkan imajinasinya. Dengan cepat dia menatap suara yang sedang mengajaknya untuk berinteraksi. “Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya mencari inspirasi.” Setelah berkata demikian Rois pun segera berlalu dari pandangan Fadli. Dia kembali menjalankan tugasnya. Sedangkan Fadli, dia sudah mengantongi ijin dari kepala sekolah untuk menghadiri panggilan dari sekolah anaknya. Fadli mengayuh sepedanya dengan cepat. Dia tak punya banyak waktu lagi. Dia yang hanya mendapatkan ijin satu jam pelajaran saja. Kaki Fadli pun bergerak dengan cepat agar kayuhan sepedanya cepat tiba di sekolah yang sedang ditujunya itu. Fadli masih mengenakan seragam guru. Dia datang melewati pos penjaga. Lalu menarus sepedanya di tempat yang sudah ditujukan oleh penjaga sekolah itu. Dengan menata niat, Fadli berusaha untuk tetap bersikap profesional. Fadli berjalan melewati beberapa ruang kelas. Dan salah satunya adalah ruang kelas Wafa. Bahkan saat itu, Wafa yang sedang menerima materi pelajaran, pikirannya pun terbagi dengan kehadiran sang bapak tanpa sepengetahuan sebelumnya. Fadli yang kini sudah berada di depan kantor guru. Dia segera mengetuk pintu dan meminta ijin untuk segera masuk. Fadli mengutarakan akan maksud kedatangannya itu. Kebetulan, Fadli berhadapan dengan wali kelas Wafi. “Maaf bu, saya ingin memenuhi panggilan dari sekolah. Saya mendapat surat panggilan dari anak saya.” “Dengan bapak siapa?” “Saya Fadli, bu.” “Oh, pak Fadli wali dari siswa atas nama Wafa dan Wafi, ya.” “Benar, bu.” “Saya dengan Ningsih, Pak.” “Senang bisa berjumpa dengan bu Ningsih.” “Baik, pak, mari ikut saya.” Perempuan yang mengenakan tutup kepala itu pun segera mengajak Fadi ke sebuah ruangan tertutup. Keduanya berbicara dengan sangat serius. Sebotol air mineral menghiasi meja tepat di depan Fadli. “Silakan diminum pak Fadli.” “Terima kasih, bu.” Fadli yang merasa sangat tidak bisa tenang dengan apa yang sudah ingin diketahuinya. Namun, dia menghargai apa yang sudah disuguhkan di depannya. Fadli pun membuka kemasan air mineral itu. Dengan cepat, dia meminum sedikit air itu, setidaknya untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah selesai dengan botol minuman yang digenggamnya. Fadli kembali menaruhnya kembali di atas meja. Lalu pandangannya sangat serius tertuju pada guru anaknya itu. “Mohon maaf sebelumnya, bu. Ada apa saya dipanggil ke sekolah?” “Sebelumnya terima kasih, pak Fadli sudah bersedia datang ke sekolah. Sebelumnya kami sudah mengirimkan surat panggilan untuk bapak seminggu yang lalu, tapi bapak tidak datang memenuhi panggilan kami.” Fadli merasa bingung dengan apa yang dikatakan bu Ningsih kepadanya. Surat panggilan pertama membuat Fadli tak mengerti dengan kata-kata yang tersampaikan kepadanya itu. “Mohon maaf, Bu. Maksudnya surat panggilan pertama apa?” “Iya, kami sudah pernah mengirimkan surat panggilan ke bapak sebelumnya, dan ini surat panggilan kedua dari kami.” “Saya minta maaf, Bu. Karena jujur saja, saya hanya mendapat satu surat ini saja, sebelumnya saya belum pernah menerima surat apa pun.” “Iya, Pak, tidak apa-apa. Saya hanya ingin menanyakan kabar Wafi.” “Kabar Wafi, maksudnya bagaimana ya bu?” “Wafi hari ini tidak masuk sekolah dan dia sudah dua kali bolos, pak. Dan tiga kali ijin untuk tidak masuk ke sekolah dengan alasan sedang membantu bapak.” “Wafi tidak sekolah, bu? Tapi dia setiap hari berangkat ke sekolah bersama Wafa.” “Tapi kenyataannya dia tidak datang ke sekolah, pak. Sebentar saya bukakan datanya dulu.” Wali kelas Wafa pun membuka absensi digital dari muridnya itu. Setelah data ditemukan, perempuan yang sangat bersahaja itu pun segera memberikan hasil absensi yang sudah diprint itu. “Ini absensi Wafi selama satu bulan berjalan.” Fadli segera meraih kertas itu denga cepat. Dia melihat data dengan saksama. Keduanya matanya sama sekali tak beralih demi sebuah kepastian. “Bu, kemarin Wafa yang bilang kalau dia yang bolos sekolah.” “Sebentar pak, saya coba lihat absensi Wafa terlebih dahulu, ya.” “Baik, bu.” “Mohon bapak bersedia untuk menunggu sebentar, karena saya harus menanyakan hal ini kepada wali kelas Wafa.” “Baik bu, saya akan menunggu.” Bu Ningsih beranjak dari tempat duduknya. Dia keluar ruangan dan meninggalkan Fadli seorang diri. Riuh hati Fadli terasa menyayat tanpa harus dikatakan. Dia merasa sangat terpukul dengan informasi yang didapatinya itu. Fadli terus saja menatap data absensi sang anak. Dia tak pernah mengira, bahwa Wafi telah berani membohonginya.  Kebohongan yang sekarang terkuak membuat Fadli terasa sesak dadanya. Fadli kembali meneguk air mineral yang masih tersisa itu, setidaknya untuk sedikit membuatnya merasa tenang, agar gusar tak selalu emnyelimutinya. Beberapa menit kemudian. Bu Ningsih telah kembali dengan membawa secarik kertas berisi data absensi Wafa. “Pak, ini untuk data absensi Wafa. Dia anak yang rajin dan tak pernah bolos sekolah sekalipun itu ijin.” Fadli secepat mungkin menangkan kertas dari bu Ningsih. Fadli segera memasang kedua matanya dengan sangat tajam. Dia ingin memastikan apa yang dikatakan bu Ningsih adalah benar. Dari situ, Fadli pun tahu, jika apa yang dikatakan Wafa beberapa waktu lalu hanyalah sebuah kebohongan. “Dan satu lagi pak, Wafi sudah enam bulan belum membayar uang sekolah.” Fadli sangat terkejut dengan apa yang dikatakan wali kelas Wafi itu. Enam bulan, bukanlah waktu yang singkat. Dan seingat Fadli dia hanya belum melunasi satu bulan saja dari tiga bulan tagihan. “Maaf bu, bukannya saya hanya punya tunggakan hanya tiga bulan saja?” “Sebentar pak, saya ambil datanya dulu.” Bu Ningsih mengambil secarik kertas dari kotak filenya. Kemudian memberikannya kepada Fadli. Dan hal itu kembali membuat Fadli semakin sulit bernapas. Dia benar-benar terpukul dengan apa yang telah dilakukan Wafi. “Mohon maaf bu, kalau untuk tagihan Wafa bagaimana?” “Sebentar pak, kalau untuk Wafa saya butuh akses untuk membukanya, mohon bapak menunggu sebentar.” Bu Ningsih memegang gagang telepon. Lalu dia menelepon seseorang untuk menanyakan tentang data p********n Wafa. Tak lama, data pun didapat. Fadli pun sudah menemukan jawaban atas pertanyaannya. Wafi telah menunaikan amanahnya dengan sangat baik. “Pak, kami mohon kerja samanya untuk terus memberikan semangat pada Wafi, jika ada masalah apa pun silakan bapak berkomunikasi dengan kami, supaya tidak ada hal yang tidak kita inginkan terjadi.” “Baik bu, saya selaku wali dari Wafi mohon maaf atas apa yang sudah dilakukan anak saya, dan saya tetap minta bantuan ibu untuk tetap membimbing anak saya, dan yang terakhir saya sampaikan terima kasih atas semua kebaikan ibu.” “Sama-sama, Pak. Semoga kita bisa mengantarkan ananda pada kesuksesan kelak.” Fadli yang tak mempunyai waktu lama. Dia harus segera kembali ke sekolah. Fadli pun pamit dengan penuh sopan. Dia undur diri dengan perasaan remuk redam. Sebuah cambukan telah diterimanya. Fadli sangat kecewa dengan suguhan yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan Wafi. Fadli membuka pintu ruangan bu Ningsih. Dia tak sengaja menabrak seorang laki-laki yang sepertinya juga akan masuk ke dalam ruangan wali kelas Wafi itu. “Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Saya ingin mengetuk pintu dan ternyata bapak sudah membuka pintunya,” kata laki-laki berkemeja putih itu. “Tidak apa-apa, Pak. Saya permisi.” “Sebentar, saya seperti pernah melihat bapak sebelumnya, tapi di mana ya?” Fadli tersenyum pada seorang laki-laki yang kini masih tetap berdiri di depannya. Seolah sibuk mengingat memorinya, namun Fadli tak demikian. Pikirannya hanya tertuju pada Wafi seorang. “Maaf, Pak saya harus pergi,” ujar Fadli. “Iya, pak. Silakan.” Fadli segera berjalan dengan langkah cepat. Dia harus segera kembali ke sekolah. Tugas telah menantinya. Dia melirik ke arah jam tangan usang yang dimiliknya itu. Melingkar menghiasi pergelangan tangan kirinya. Fadli yang tengah berbelok arah. Tak sengaja menabrak seorang murid laki-laki hingga beberapa buku yang dibawa anak laki-laki itu terjatuh. “Maaf, saya tidak sengaja.” “Tidak apa-apa.” Siswa laki-laki itu memungut beberapa buku yang berserakan. Fadli yang menatap penuh pada laki-laki itu. Fadli terasa tak asing dengan suara yang didengarnya itu. Fadli membungkukkan badannya dengan membantu mengambil beberapa buku yang bisa dijamahnya. “Wafa.” “Bapak.” Kedua tatapan mereka pun bertemu. Ketidak sengajaan tak pernah bisa terbayangkan. Hanya diam tanpa kata beberapa detik yang menghiasi sebuah pertemuan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD