Part 16 - Pergi untuk Selamanya

1777 Words
Gelegar jeritan dalam nestapa. Mengarungi setiap langkah kaki Tama, yang baru saja berada di depan pintu rumahnya. Dia tak kuasa membendung rasa yang kini sangat menghantam hatinya itu. berlari dengan cepat. Terlihat sosok jenazah yang tak berdaya. Terbaring kaku dengan dibungkus kain berwarna putih. Tama menggoyahkan tubuh jenazah itu dengan keras. Dia tak peduli lagi dengan tangisan yang mengirinya. Memanggil nama sang ayah tanpa jeda. Harap tak bisa diwujudkan kembali. Hari bersama-sama dalam suka dan duka kini telah berakhir. Tama seperti tertampar guntur maha dahsyat. Dia sama sekali tak mengira apa yang dikatakan ayahnya semalam adalah sebuah kenyataan. Teriakan itu terus saja mengaung. Tama tak mau keghilangn ayahnya. Dia histeris dan sama sekali tak bisa menerima kondisi yang sekrang berada di depan matanya. Isak tangis mengiringi. Hingga akhirnya hanya peluk mersa yang bisa disuguhkannya. Tama tergeletak, dia tak sadarkan diri dengan apa yang kini menimpa dirinya. Fadli segera membawanya ke tempat tidur. Dan beberapa pelayat yang lain pun akan segera bersiap kembali untuk mengurus jenazah. Fadli berusaha menyadarkan Tama. Minyak kayu putih di dekatkan di hidung Tama, dengan harapan dapat memberikan rangsangan agar Tama cepat sadar. “Pak, jenazahnya apa bisa dikebumikan? Karena waktu sudah semakin sore.” Fadli bergeming. Pandangan matanya menatap ke wahah polos Tama yang masih belum bisa sadarkan diri. Fadli mencoba berusaha lebih keras lagi. Dia berharap, Tama segera bangun dan bisa mengantarkan sang ayah di tempat peristirahatan terakhirnya.  Namun, kembali lagi mengingat waktu yang terus berjalan dan hari akan semakin gelap. Tak baik jika membiarkan jenazah tak segera dikebumikan. Fadli pun meminta untuk para pelayat mengantar kepergian ayah Tama ke pemakaman. Di situ, Fadli merasa hatinya terperas. Dia sangat merasa kehilangan, sosok laki-laki yang selalu menebar senyum. Tak pernah menyerah dengan kondisi ekonomi yang hampir sama dengannya. meski begitu, semangat juangnya tak pernah pudar. Fadli menjaga Tama yang masih saja terpejam matanya. sedangkan beberapa orang yang lainnya sudah mengantarkan jenazah ke pemakaman. Di dalam rumah itu, kini hanya ada Fadli dan Tama. Rasa kehilangan benar-benartak bisa dihilangkan. Kebaikan ayah Tama terkenang indah dalam sanubari. Semasa hidupnya, Fadli sering sekali mendapatkan hadiah dari ayah Tama. Bahkan di kesempatan terakhir hidupnya, sepeda satu-satunya yang dimiliki ayah Tama pun diberikan kepadanya. Kedua mata Fadli berkaca-kaca. Perlahan, mengalir di pipinya kristal bening. Fadli tak membiarkannya jatuh lebih banyak lagi. Dia menyekanya dengan cepat. Meskipun hati yang tengah remuk redam itu kini sedang menyiksanya. “Ayah, ayah, yah, ayah...” Suara itu tiba-tiba hadir di tengah kesunyian. Tama tersadar dari pingsanny. Meskipun dia sendiri masih saja belum membuka kedua matanya. “Tama, bangun, nak. Pak Fadli di sini bersama kamu.” Tama terus memanggil ayahnya tanpa henti. Fadli terus saja berusaha untuk membangunkan Tama dengan menepuk pipinya berkali-kali. “Pak Fadli, di mana ayah?” Suara jeritan itu kembali terdengar. Tama segera membangunkan tubuhnya dan berlari ke ruang tamu. Sayangnya, dia tak mendapati siapa pun di tempat itu. Sosok yang teramat disayangi dan dicintai itu kini tak ada lagi di rumahnya. Tama kelihatan sangat panik sekali. Dia menatap Fadli dengan penuh harapan. Matanya basah dan tak bisa lagi dia mengontrol emosinya. Tama terus saja bertanya tentang keberadaan sang ayah yang kini tak ada di sampingnya. “Pak, cepat antarkan aku pada ayah, aku ingin bertemu ayah, Pak.” “Tama, ayah sudah tenang di sana.” “Apa maksud bapak, aku mau ketemu ayah.” Tama berlari keluar rumah. Dia tak peduli ke mana kakinya akan melangkah, yang ada dipikirannya hanya wajah sang ayah. Fadli pun tak tinggal diam. Kini dia bertanggung jawab atas diri Tama, sang yatim piatu itu. “Tama, tenangkan dirimu, nak.” “Bagaiama aku bisa tenang, pak. Ayah sudah tidak ada di sini.” “Ayo bapak antar kamu ke pemakaman.” Mendengar kata pemakaman, bulir air mata Tama terus saja menetes tanpa henti. Hatinya remuk tak berbentuk. Semua benar-benar tak bisa mengembalikan keadaan. Fadli menggandeng Tama yang sedang dalam duka mendalam itu. Para pengantar jenazah sudah kembali ke kediaman masing-masing. Kini tinggal Tama dan Fadli yang menghiasi tempat itu. Memeluk pusara sang ayah dengan sangat erat. Bahkan Tama seolah tak ingin melepaskannya. Deru air mata tak lepas dari kedua pipinya. “Tama, hari sudah gelap, sekarang kita pulang, ya.” “Tidak, Pak. Aku ingin di sini saja bersama ayah.” “Kalau Tama terus menangis, ayah pasti juga ikut sedih, nak.” “Kasihan jika ayah di sini sendiri, pak.” “Kata siapa ayah sendiri, ada malaikat yang menjaganya, nak. Justru jika Tama di sini, bapak yakin, ayah Tama akan menangis melihat Tama.” Tama terdiam dengan tetap meneteskan air matanya. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya, kini telah tiada. Betapa riuh hati yang telah ditinggalkan orang terkasih. “Ayo Tama, sekarang kita pulang, hari sudah semakin gelap.” Di pemakaman itu hanya ada satu lampu yang menerangi di tengah-tengah. Tama pun tak ada pilihan lain, dia harus mengikuti apa yang dikatakan oleh Fadli. Gelapnya malam, membuat Tama tak memiliki keberanian. Dia kemudian berlindung dalam genggaman tangan Fadli, untuk keluar dari area pemakaman. Tama merasa tak tega bila harus meninggalkan makam sang ayah. Tapi dia juga takut dengan gelap. Fadli pun menggandeng tangan Tama dengan sangat erat. “Pak, sekarang aku tinggal di mana?” “Kamu ikut bapak pulang, ya.” “Tapi, pak.” “Sudahlah, kita ambil beberapa pakaian ganti di rumahmu dan kamu tinggal bersama bapak.” Tama mengangguk tanpa penolakan. Dia tiba-tiba saja teringat akan pesan sang ayah kemarin malam. Seperti sebuah firasat yang memang harus disampaikan. Ayahnya bilang jika akan pergi dan Tama harus tinggal bersama pak Fadli. Berbekal pesan dari sang ayah, Tama pun mencoba untuk mengiyakan pesan itu. Meskipun sebenarnya dia sangat berat dengan apa yang kini terjadi dalam hidupnya. *** Yanti terus saja uring-uringan. Bahkan dia sempat melampiaskan kemarahannya pada Wafa. Yanti  yang menunggu kepulangan sang suami. Hanya saja, Fadli yang masih ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan. “Kenapa sih bu, dari tadi sepertinya tidak tenang begitu.” “Jangan banyak tanya kamu, anak kecil tahu apa.” “Susah ngomong sama orang gak punya akal.” “Wafi, apa yang kamu katakan itu!” Wafi tak memperdulikan ibunya. Dia sengaja masuk ke kamarnya dan tak ingin mendengar lagi keluhan sang ibu yang membuat telinganya panas. Sedangkan Wafa yang sedari tadi hanya diam pun mendapatkan perlakuan yang sama dari sang ibu. Bahkan sejak dirinya pulang dari sekolah, Yanti selalu memasang wajah marahnya. “Bu, ibu kan sedang hamik, dikontrol emosinya, bu.” “Diam kamu, Fa. Lebih baik kamu pergi saja ke kamar, ibu pusing dengan ceramah kalian.” Wafa pun menuruti apa yang dikatakan sang ibu. Dia bahkan tak membantah lagi perintah yang tersemat dalam sebuah kata-kata itu. Yanti semakin tak bisa mengontrol sebuah kemarahan. Bahkan dia membanting hiasan rumah yang ada di laci hingga jatuh, pecah dan tak berbentuk lagi. Yanti merasa suasana hatinya sedang kacau. Apalagi dia tak pegang uang sama sekali. Membuat Yanti terasa ingin membanting semua benda yang ada di sekelilingnya. Tak lama, terlihat seseorang masuk ke dalam rumahnya. Yanti memasang kedua matanya dengan sangat tajam. Suaminya telah pulang. Yanti bukan malah menyambut dengan sebuah senyuman, melainkan kemarahan yang terus berkobar. “Dari mana jam segini baru sampai rumah?” “Sabar, Yan. Semua bisa dibicarakan baik-baik, tak usah marah-marah begitu.” “Ini juga, ngapain malam-malam datang ke rumah orang, pulang sana!” Tama yang mendengar perkataan Yanti. Membuatnya hanya berani menatap lantai di bawahnya. Ketakutannya menjalar. “Mulai malam ini, Tama akan tinggal di sini bersama kita, karena ayahnya sudah meninggal.” “Apa! kamu serius, Mas.” “Iya, Yan.” “Omong kosong apa ini, kamu saja untuk mencukupi keluargamu sendiri kurang, kenapa sekarang sok-sok menambah anggota keluarga baru, maksudnya apa?!” “Tama sebatang kara di dunia ini, ayah ibunya sudah tak ada, saudara pun dia tak punya, Tama yatim piatu, Yan.” “Mas, ini bukan panti asuhan yang seenaknya saja memasukkan anak orang lain.” “Ini sudah menjadi keputusanku, karena almarhum ayah Tama menitipkan anak ini kepadaku.” “Terserah.” Yanti merasa kemarahannya semakin bertambah dengan hadirnya Tama di rumahnya. Dia segera masuk ke kamar, lalu mengambil bantal dan guling milik Fadli. Dilempar keluar kamar dengan cepat. “Tidur saja di luar, jangan ganggu aku.” Tama yang melihat apa yang dilakukan Yanti. Merasa dia semakin takut. Keputusannya untuk ikut tinggal bersama sang guru seolah tak begitu baik. Tama hanya diam tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun. “Tama, kamu jangan takut, ya. Bu Yanti memang seperti itu, tapi sebenarnya dia baik.” Tama hanya mengangguk diam. Hatinya terasa tercabik-cabik dengan perasaan yang kian mendalam. Yang dia rasakan sekarang adalah rindu, namun tak bisa diungkapkan melalui lisannya. Dia yang masih tak percaya jika sang ayah telah tiada. “Tama, duduk dulu di sini ya, bapak ambilkan makanan dulu.” Tama tak banyak bicara. Dia hanya mengangguk lesu. Meskipun sebenarnya perutnya sama sekali tidak merasakan lapar. Fadli tetap saja pergi ke belakang untuk megambilkan makanan. Lagi-lagi, Fadli harus berusaha untuk bisa menghadirkan makanan. Di meja makan tak didapatinya sisa makanan, semuanya telah habis dan raib. Fadli yang merasa perutnya berdendang. Dia pun berpikir untuk merebus sejenak mi instan. Dan Fadli melakukan hal itu dengan cepat. “Tama, ayo kita makan dulu.” Ajakan itu hanya direspon dengan kediamannya. Tama yang sama sekali tak nafsu makan. Dia hanya diam di tempat duduknya tanpa beranjak sedikit pun. Fadli yang seolah mengerti rasa yang kini dialami oleh sang anak didik. Dulu saat kecil, Fadli pun ditinggal kedua orang tuanya. Gempa bumi mematikan kedua orang yang sangat dicintainya. Hanya saja, dia harus belajar untuk tetap menerima. Meskipun saat itu, Fadli seperti ingin mati saja dan ikut bersama bapak dan ibu. Dia butuh waktu untuk bisa berlapang d**a. Dan sekarang hal yang hampir sama tengah dialami Tama. Dia ditinggalkan orang-orang yang pastinya begitu sangat menyayanginya. Fadli tak banyak bicara lagi. Dia segera menyendok mi instan yang ada di tangannya itu, Fadli menjulurkan sendok yang sudah berisi mi ke depan mulut Tama. Mau tidka mau, Tama yang juga merasa takut dengan gurunya, dia pun melahamp mi itu segera. Walau hanya beberapa suap saja. Setidaknya Tama telah bersedia untuk makan. Pada suapan kelima, Tama sudah menggelengkan kepalanya. Fadli pun tak mau memaksa, dia sangat paham dengan hati yang kini seolah dalam permainan. Fadli terdiam dan mulai berpikir tentang tempat istirahat Tama. Di rumahnya itu hanya ada tiga kamar, dan pastinya tak ada yang kosong. Fadli memandang Tam alamat-lamat. Dia merasa sangat tak tega pada wajah sayu itu. Kursi yang sekarang menjadi dudukannya, hanya sebatas kursi kayu yang juga hanya cukup untuk duduk satu orang saja, tak bisa digunakan untuk berbaring. Fadli mengangkat alisnya, dia masih berpikir di mana tempat yang akan digunakan Tama untuk melepas penatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD