[03] The Eyes

1890 Words
The Thief - The Eyes - "Manis," kataku memandang cincin itu sambil tersenyum. Seketika rasa kantuk kembali menghampiri yang memaksaku untuk kembali ke alam mimpi. 8.30 a.m Siluet matahari yang memasuki celah mataku memaksaku untuk bangun. Pusing menghampiriku. Aku beranjak untuk mandi dan menghilangkan rasa pusing. Selesainya, aku duduk di kursi meja rias dimana saatnya aku memperhatikan penampilanku. Aku duduk dan mulai menyisir rambut cokelat-blonde panjangku. Aku berniat untuk keluar, melihat kegiatan keluarga Bennet dihari libur seperti ini. Sekali lagi aku memperhatikan wajahku pada pantulan dikaca. Hey Wait! aku menatap mataku yang berwarna abu-abu kebiruan berubah menjadi cokelat tua. Aku memperhatikan semakin lama warnanya perlahan berubah lagi, menjadi hijau. "AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!" seketika suara jeritan keluar dari dalam mulutku. Keringat dingin muncul di pelipisku. Aku terjatuh dari kursi hingga terduduk dilantai. "Ada apa?" Berry membanting pintuku dengan wajah khawatirnya. Aku tak dapat menjawaab pertanyaannya, karena nafasku yang masih memburu dan keringat dingin masih tetap mengalir di pelipisku. Berry datang mendekat. Aku menutup mataku karena takut dia melihat warna mataku yang berubah. "Aku tak apa-apa, bisakah kau keluar sekarang," kataku sambil menutupi mataku. "Oh. Baiklah," kudengar langkah kakinya menjauh dan pintu tertutup. Aku kembali duduk di kursi dan menatap mataku yang masih berwarna hijau. Dengan cepat aku membongkar lemari dimana barang-barangku berada. Gotcha! kaca mata hitam! segera kupakai untuk menutupi warna mataku yang berubah. Aku segera turun kebawah. Untuk sedikit membantu pekerjaan keluarga Bennet, mungkin. Aku berjalan ke dekat peternakan dan melihat keluarga Bennet yang sedang kelihatan bingung. "Ada apa?" tanyaku heran melihat wajah mereka bingung. "Matthew, tadi tubuh kuda itu masih disini. Tapi sekarang tubuhnya hilang" jawab Uncle Josh. Aku mengangguk-angguk kecil. "Ada apa denganmu, Sammi? mengapa pakai kaca mata?" tanya Berry. "Ah? ini? Hanya gangguan kecil pada mata yang menular," Aku membenarkan posisi kacamataku. _____________________________ Daberry Devian Bennet "Pasti dibawa oleh sesuatu yang telah membunuh Matthew," mom menerawang. "huh. Matthew yang malang" sambung Mom dengan helaan nafas. "Sarah, haruskah kita beli kawat berduri untuk melindungi ternak kita?" Dad bertanya serius pada mom. Mom hanya mengangguk, yang berarti ya. "Baiklah, sebaiknya kita pergi ke Auckland-ibu kota New Zealand- sekarang. Sebelum terlalu siang." Dad berlari kedalam rumah. Seluruh perlengkapan perkebunan dan peternakan keluarga kami selalu di beli langsung di Auckland agar mendapatkan hasil kebun maupun ternak yang Terbaik. Lagi pula hanya 2-3 jam perjalanan untuk sampai ke Auckland. "Mom, aku dan Sammi ikut kan?" kataku spontan "Terserah kalian. Jika ingin ikut sebaiknya beri makan domba dulu. Domba saja yang belum diberi makan," jawab mom sambil berlalu masuk kedalam rumah. "Jika kau mau bersiap, masuklah," kataku singkat sambil berjalan menuju kandang domba. "Umm, bolehkah aku ikut? aku belum pernah memberi makan domba," aku terhenti dan menoleh kearahnya, dia memasang wajah bodohnya dengan menggunakan kacamata hitam besar. "Hahahahha." seketika tawa ku terlepas melihat wajahnya "Hmm, ikuti aku," kataku sambil kembali berjalan menuju kandang domba. Cklek, aku membuka kunci pada pintu kandang yang besar dan kokoh "Mbeeee mbeeeee mbeee," suara khas domba terdengar dimana-mana bersahutan antara satu dan yang lainnya. "Wow, mereka kelaparan huh?" Sammi bertanya padaku sambil menoleh pada domba-domba yang terus berbunyi. "Sepertinya," jawabku singkat sambil mengambil rerumputan pakan domba dengan menggunakan garpu kebun dan memindahkannya ke tempat pakan domba yang sudah tersedia. "Boleh aku coba?" "Ah? sure," kataku sambil memberikan garpu kebun di tanganku kepada Sammi. Dia mencoba apa yang kulakukan, meski nampaknya ia sedikit kesusahan namun ia dapat menyelesaikannya dengan cepat. "masih ada yang perlu diberi makan?" kata Sammi dengan sebuah senyuman lebar terpampang jelas diwajahnya "Sepertinya tidak, kau lumayan pintar untuk seorang pemula, hahaha," kataku sambil sedikit tertawa. "Tentu saja, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang jenius sepertiku," katanya sambil membenarkan kaca mata hitamnya, yang berhasil membuatku terkekeh "Ayo! kau tidak ingin mengganti pakaianmu? kau sudah bau keringat," kataku sambil menutup hidungku. "Err, ok tunggu aku didepan yaa," kata Sammi sambil berlalu memasuki rumah. Aku mengunci kandang lalu berganti pakaian dan menunggu Sammi selesai. __________________________ Author's "Kau lama sekali," gerutu Berry dengan wajah sok perfectsionistnya "Errr, aku sudah berusaha secepat yang aku bisa." Samantha berjalan menghampiri Berry yang sedang menunggu Dadnya mengeluarkan mobil. "Tetap saja lama." Berry menjulurkan lidahnya tanda mengejek Samantha. Samantha menghela nafas pendek lalu menatap kearah langit yang mendung tetapi tidak hujan. "Hei! kau tidak mau ikut? ataukah kaca mata hitammu membuatmu buta?" pekik Berry dari dalam mobil. Dengan gerakan cepat Samantha masuk kedalam mobil. "Kau tampak seperti orang buta, Sam," bisikan kecil dari Berry mampu membuat sebuah cubitan kecil mendarat di lengan Berry yang berasal dari Samantha. "Berry, tak seharusnya kamu mengejek Sammi. Bagaimanapun juga dia lebih tua darimu," Aunty Sarah menegur perkataan Berry "Hanya 6 bulan mom." terdengar suara malas dari Berry dan dapat kulihat dia memutarkan matanya malas. "Meskipun 1 hari, 2 hari, 1 bulan, 2 bulan, 6 bulan pun. Tetap saja lebih tua darimu dan harus dihormati." Berry terdiam mendengar perkataan ibu nya. Sedangkan Samantha tertawa kecil melihat wajah Berry yang sedikit kesal. 11.53 a.m 3 jam perjalanan hingga sampai di Auckland. Mobil keluarga Bennet terparkir rapih disebuah pusat perbelanjaan. "Mom dan Dad langsung ke tempat biasa. Sammi, kalau mau berkeliling jangan sampai berpisah dari Berry ya," pesan Uncle Josh pada Samantha "Okay Uncle and Aunty, hmm I mean dad and mom. Can I?" Samantha meminta izin untuk memanggil Aunty-Uncle nya dengan Mom-Dad "sure dear" jawab Aunty Sarah sambil tersenyum manis kearah Samantha. Tak menunggu lama mereka langsung pergi menuju tempat yang mereka tuju. "Jadi...?" suara Berry dari besar mengecil "What?" tanya Samantha "Jadi, mau kemana?" "Jalan-jalan saja, hm? aku belum tahu tempat apapun disini." "Ok." Berry dan Samantha berkeliling hingga hampir satu jam. Hingga Samantha hampir hafal beberapa sudut pusat perbelanjaan ini. "Berry, tadi aku lihat toilet. Aku ke toilet dulu ya?" Samantha menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Jangan kemana-mana!" "ok, jangan lama-lama ya!" Tak butuh waktu lama bagi Samantha untuk menemukan toilet yang sudah dilihatnya sebelumnya. Setelah menyelesaikan masalahnya dengan toilet dia menuju washtafel dengan kaca besar dihadapannya. Dengan perlahan dibukanya kacamata hitamnya. Matanya kembali berwarna cokelat tua yang bahkan hampir hitam. Wajah manisnya berubah masam. "Tuhan. Ada apa dengan mataku?" gumamnya kecil. Perlahan matanya berubah jadi biru yang sangat muda dan tak lama air matanya jatuh. "huh. aku harus menutupi mata ini sampai kapan?" Samantha menghapus air matanya dan kembali memasang kaca mata hitamnya. Dia langsung keluar dari toilet wanita. Mata Samantha membulat nyaris sempurna dibalik kaca mata hitamnya saat melihat toko optik yang berada di tepat didepan toilet wanita. Dengan harapan besar dia datang kesana. "Can I help you?" seorang petugas dengan senyuman robot menghampiri Samantha "Softlenses?" "Follow me," kata petugas itu. Samantha mengikuti petugas itu menuju sebuah meja kaca yang menampilkan bermacam-macam jenis softlens "Softlens normal dengan warna abu-abu kehijauan. Ada?" ______________________ Samantha Lynn Hearst Rasa senang menghampiriku saat aku berhasil membeli softlens dengan warna mata asliku. Aku segera kembali ke toilet untuk segera memakainya dan melepaskan kaca mata hitam yang telah membuatku seperti orang bodoh. Great! terpasang sempurna! seperti mata asliku! Sekilas kulihat mataku berwarna hazel tadi. Kepalaku seperti dihantui puluhan, ratusan, ribuan, hmm bahkan jutaan tanda tanya besar. Ada apa denganku? mengapa mata ini selalu berubah warna? Ah! aku hampir lupa! Berry sedang menungguku! Segera kumasukkan kaca mata serta perlengkapan softlens kedalam tas kecil yang kubawa. Aku berlari kecil sambil mengingat tempat aku menyuruh Berry untuk menungguku. "Berry!" panggilku saat melihat wajahnya yang dilipat sambil memakan ice cream. Ah dia seperti anak balita yang ditinggal ibunya berbelanja! hahaha. "Huh. Kukira kau lupa arah jalan kembali ke sini," katanya sambil mengaduk-aduk ice creamnya. "Ini untukmu." Berry mengacungkan satu gelas ice cream yang tadi ada disampingnya ke hadapanku. "Thanks Berry, you're the best!" kataku sambil mencubit pipi Berry hingga sedikit memerah, "Tentang toilet, toilet sedang ramai. Jadi perlu menunggu sedikit lama," dustaku. "Oh, sebaiknya kita ke mobil sekarang. Mungkin Mom dan Dad sudah selesai," kata Berry sambil mulai beranjak dan berjalan menuju parkiran dimana mobil keluarganya terparkir. Aku hanya membuntutinya dari belakang. Tak perlu waktu lama untuk menemukan mobil keluarga Bennet yang paling menarik diantara yang lain. Meskipun bekerja hanya sebagai pemilik kebun dan peternak, tapi keuangan keluarga Bennet menengah keatas, bahkan diwilayah tempat tinggal mereka, keluarga Bennet sangat dihargai dan dianggap sebagai pemimpin wilayah. Benar saja. Aunty dan Uncle sudah ada didalam mobil, mereka sedang menunggu kami. "Maaf lama Mom, Dad." Berry membuka pintu penumpang dan langsung meminta maaf. huh. Bahkan aku tak pernah minta maaf pada orang tuaku akan hal kecil seperti ini. New Zealand sungguh berbeda, sopan santun masih dipergunakan dengan baik disini. "Sorry Mom, Dad," kataku ikut meminta maaf juga pada Aunty dan Uncleku yang kini kupanggil Mom-Dad. "No Problem Kiddy," kata Aunty Sarah sambil tersenyum manis, ugh dia sangat sangat cantik. Uncle Josh pun juga tampan, Pantas saja Berry memiliki wajah diatas rata-rata yang mendekati tampan. Tidak, aku berbohong! Berry bahkan sangat tampan, sayangnya dia adalah sepupuku, hahahha. Apa yang kubicarakan ini? huh "Matamu sudah sembuh Sam?" Uncle Josh bertanya saat melihat kearahku "Ah? umm, iya Dad," jawabku gugup "Oh baguslah. Jadi, kemana sekarang?" tanya Uncle Josh "We haven't lunch yet," gumam Berry dengan wajah bodoh dan memegang perutnya. "Hahaha, okay dear!" kata Uncle Josh sambil mulai menjalankan mobilnya untuk pergi ketempat makan siang. Ada sedikit rasa iri dihatiku melihat keluarga Bennet, sejujurnya aku sangat jarang bisa berkumpul dengan keluargaku yang selalu sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Berbanding terbalik dengan keluarga Bennet yang kulihat selalu tolong-menolong dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Beruntungnya Berry memiliki dua orang tua yang sangat menyayanginya meskipun mereka bukanlah orang yang serba berkecukupan atau bahkan lebih. Mobil ini berhenti disebuah restaurant yang lumayan besar. Aku masuk dan mengikuti keluarga Bennet yang sudah berjalan duluan dihadapanku. 2.26 p.m Lunch sudah selesai. Billing time! Aku mengeluarkan dompetku dari dalam tas kecil, aku merasa sedikit canggung jika harus dibayarkan oleh keluarga Bennet. Aku berjalan mendekat ke meja kashier. Sebuah tangan menghalangi langkahku, kulihat pemilik tangan yang ternyata adalah Aunty Sarah. "Ke mobil saja, biar Mom yang bayar." Aunty Sarah lagi-lagi melemparkan senyum manisnya kearahku. "Tapi mom...." perkataanku terpotong oleh Aunty Sarah. "Mom sudah anggap Sammi anak Mom sama seperti Berry. Jadi, seluruh kebutuhanmu katakan saja pada Mom" Aunty sarah mencium puncak kepalaku dan menyuruhku kembali kemobil. Entahlah kurasakan sepertinya banyak kupu-kupu yang berterbangan di perutku. Mom kandungku saja belum pernah melakukanku sebaik yang Aunty Sarah lakukan padaku. Momku hanya sering memanggilku dengan panggilan 'dear' tetapi aku tidak pernah mendapatkan ciuman ataupun pelukan kasih sayang nya, bahkan aku sudah tidak ingat kapan aku terakhir dipeluknya. Setelah Aunty keluar dari restaurant itu dan masuk ke mobil, Uncle segera menjalankan mobil untuk kembali kerumahnya. 5.23 p.m Awan mendung masih setia menutupi daerah ini, sehingga sudah seperti malam. Dengan cepat keluarga Bennet mengambil kawat berduri untuk dipasang ke peternakan. Aku segera menghampiri untuk sekedar membantu pekerjaan mereka. 6.45 p.m Akhirnya pekerjaan ini selesai. Baru pertama kalinya aku merasa berguna bagi orang lain, meskipun aku hanya membantu mengambilkan peralatan yang mereka perlu dan sesekali memegangi kawat-kawat berduri itu. Aku melepaskan softlens yang sedikit membuat mataku lelah dan langsung mandi untuk membuang aroma keringat yang dihasilkan sejak pagi hari. Entah mengapa perasaanku menjadi sangat senang sore ini, berbanding terbalik dengan cuaca di luar rumah yang masih saja mendung. Aku melihat wajahku di cermin, warna mataku kali ini berwarna kuning terang "Ah! aku terlihat seperti kucing" gumamku kecil "meaww meaww," kataku sambil bergaya seperti kucing didepan kaca, yang berhasil membuatku tertawa kecil. Entahlah, tapi aku merasa bahwa warna mataku berubah sesuai moodku. Ini belum pernah terjadi sebelumnya To Be Continued..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD