[01] Hi! New Zealand
The Thief - Hi! NewZealand
-
What the ... ?!
Ini? Dimana ini?
Kepalaku terasa sangat berat untuk ku gerakkan.
"Sammi? Mom Sammi!!!" aku mencoba mengumpulkan kesadaranku dan melihat sekeliling. Lemari buku tua terpajang jelas di sebelah kananku dan atap kayu yang mulai kehilangan warna catnya, rasanya aku pernah mendatangi tempat ini, tapi aku lupa. Dimana ini?
Seketika mom dan dadku datang menghampiri. Mom duduk disebelah tempatku berbaring sambil mengelus kepalaku, dan di sebelah kiriku ada Kevin, kakakku yang sedari tadi ada disini. "Kau tak apa sayang? apakah kau lapar?" tanya mom dengan wajah khawatir.
"Tak apa mom, hm ini di mana?" tanya ku sambil mengedarkan pandanganku kesekeliling. 3 orang lain memasuki ruangan ini dengan seorang perempuan membawa baki berisi makanan dan minuman yang setelah kuperhatikan itu adalah Aunty Sarah! istri dari Uncle Josh, satu-satunya saudara ibuku. Mereka tinggal di New Zealand. Keduanya bersama Berry, sepupuku yang merupakan anak mereka satu-satunya. Mataku membulat sesaat menyadari akan satu hal "Kita di NZ mom?! apakah aku sedang bermimpi? rasanya baru tadi malam aku masih tidur dirumah," jawabku dengan alis mata yang bertaut.
"Sorry dear," ucap mom berbisik namun tetap terdengar "Mom memindahkanmu kesini karena pergaulanmu yang terlalu bebas di New York, kau bahkan jarang masuk sekolah, benar?" jawabnya perlahan. aku menundukkan kepalaku
"Mengapa mom tidak memberi tahuku sebelumnya?" kataku tak mau menerima ini semua "Bahkan aku belum mengatakan kata perpisahan dengan teman-temanku."
"Tenang, seluruh temanmu sudah tahu, dan sekolahmu sudah mom dan dad pindahkan ke sekolah di dekat sini. Mom hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu," kata mom perlahan
"Untuk berapa lama aku disini?" Aunty Sarah adalah peternak, jauh dari kehidupanku di New York. Aku bahkan tak pernah mau bekerja bahkan untuk diriku sendiri.
"Entahlah, mom dan dad belum tahu," aku kembali menunduk dan terdiam "Nanti siang Mom, Dad dan Kevin akan pulang ke New York karena Mom dan Dad sudah dikejar deadline pekerjaan, lagi pula sudah dua hari kami disini, selagi menunggumu sampai sadar. Tiket sudah dibeli sayang,"
"Woah! mom?! bagaimana bisa aku bisa terbangun disini sedangkan rasanya tadi malam aku masih tidur dirumah,"
"Kami meminta obat bius pada dokter agar kau tak dapat menolak kepindahanmu, dear." mom kembali mengelus kepalaku
"Huh," aku menghela napas mendengar perkataan Mom. Ahhh!!!! Bagaimana hidupku ini?! hanya karena hal sepele tak seharusnya aku langsung dipindahkan kesini!! Meskipun kuakui suasana disini sungguh menyegarkan dan tidak banyak berubah semenjak terakhir kali aku ke sini, sekitar 8 tahun lalu.
"Grace, tidakkah kau seharusnya memberi anakmu makan?" Aunty Sarah memberikan baki makanan yang sedari tadi dibawanya kepada mom dan menyuruhku untuk makan.
"Sammi, makan ya. Kau sudah dua hari tidak makan," mom mengambil sendok serta garpu untuk segera menyuapiku. Kuambil kedua sendok dan garpu dari tangan mom secara perlahan.
"Thanks mom, Sammi bisa sendiri. Tapi tolong mama dan yang lain keluar," mom menatapku ragu.
"Are you sure, dear?" aku mengangguk mantap.
"Biarkan saja dulu dia sendiri, Grace." kata Aunty Sarah yang seolah mengerti apa yg kuinginkan. Mereka semua keluar dan menutup pintunya rapat-rapat.
Sejujurnya aku tidak berniat untuk makan sekarang. Aku kembali mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan ini, tetapi hanya satu hal yang menarik perhatianku. Deretan buku yang tersusun rapih di lemari buku. Aku menurunkan kaki-kaki ku secara perlahan dan berjalan mendekat pada lemari buku usang ini. Kulihat buku-buku yang sudah kusam dan berdebu tebal itu. Sebuah buku yang masih tampak rapih dengan warna cover hitam dengan tulisan tangan bertinta emas diatasnya menarik perhatianku.
"SECRET BOOK" tertulis dengan jelas dan besar, tanpa kuhiraukan kata 'secret' langsung saja ku buka halaman demi halaman buku itu, semua isinya ditulis dengan tulisan tangan yang sangat rapih dan jelas. kebanyakan isi buku itu berisi gambar-gambar yang tak jelas maksudnya apa. Seketika tanganku berhenti bergerak saat melihat tulisan sangat besar "WEREWOLF" dan dibawahnya tergambar serigala dan manusia dihalaman berikutnya bergambar seperti manusia yang berbulu banyak dan berjalan seperti anjing.
"Buku dongeng," aku terkekeh pelan dan langsung saja kututup buku itu lalu menaruhnya di atas meja.
Kulihat ponselku dan ketika kulihat sangat banyak notification disetiap social media ku. Tak berniat sama sekali untuk mengetahuinya, segera kumatikan dan kutaruh lagi ketempat aku mengambilnya.
Tokk tokk, suara pintu diketuk dan knop pintu langsung terputar menandakan seseorang diluar sana membuka pintunya.
"Sorry, aku disuruh melihat apakah kau sudah selesai makan," katanya sambil berjalan mendekat.
"Oh ternyata kau, Berry," kataku sambil duduk di atas kasur "Jujur aku tak berniat memakannya, aku tak lapar," lanjutku sambil menatap keluar jendela yang disana-sini dapat terlihat pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi.
"Sam, aku tahu kau tak lapar. Tapi bagaimana dengan perutmu? Lambungmu tidak akan mengolah bahan makanan selagi lambung tetap menghasilkan getahnya, Kau akan sakit jika tidak makan. Kau harus makan sekarang!" Berry mengambil piring diatas baki dan mengambil sendok-garpu "Biar kusuapi, hm?" katanya sambil mengacungkan sendok yang berisi makanan.
"Tapi sungguh, aku tidak lapar, Berry." kataku sambil menjauhkan wajahku dari sendok yang telah menanti.
"Hmm, dulu saat terakhir kau kesini, kita sering makan bersama ya." Berry menurunkan sendok ditangannya dan mulai tertawa sambil menerawang masa lalu.
"Ya, dulu kau hanya setinggi hidungku. Sekarang kau sudah jauh lebih tinggi, hahaha," rasa menggelitik keluar ketika mengingat masa-masa sering datang ke NZ dan sangat sering bermain dengan Berry yang 6 bulan lebih muda dariku.
"Ya, Hampir 8 tahun ya kita tak bertemu."
"Hahaha, iya." Sedetik kemudian hanya suara burung-burung kecil lah yang terdengar diantara kami berdua, hening menghampiri kami. Kulihat Berry kembali mengacungkan sendok didepan ku. Aku hanya terdiam sambil menatapnya konyol
"Please, aku memaksa!" kata Berry singkat, langsung saja kubuka mulutku untuk menerima makanan yang telah menanti. Hingga tanpa terasa seluruh makanan dihadapanku telah habis. Dan sekarang Berry ingin mengajakku untuk berjalan-jalan sekitar rumahnya menaiki kuda ternak miliknya, tanpa ragu aku meng-iya kan ajakannya walaupun dengan kepala yang masih terasa berat karena terlalu lama tertidur.
"Sebaiknya kalian pulang sebelum pukul 12, kita akan makan siang bersama dan mengantar keluargamu pulang, Sammi!" seru Uncle Josh sedangkan aku dan Berry menjawab dengan acungan jempol karena kuda yang kami naiki sudah mulai berjalan.
"Seingatku dulu disini masih sangat sepi, jarak antar rumah pun masih sangat jauh," kataku sambil melihat sekeliling. Kuakui rumah Paman-ku lah yang paling bagus diantara rumah-rumah lain disini, dengan bertingkat dua dan berbentuk seperti rumah Eropa lama. Walaupun rumahnya terletak di ujung desa ini namun rumah ini lah yang terbaik, menurutku.
____________________________________
Author's
Berry dan Samantha berjalan-jalan sambil sesekali bercerita di atas kuda ponny berwarna putih yang cantik dan menawan. Tak dapat berlama-lama karena hampir pukul 12, dan bahkan Sammi belum mandi sejak dia terbangun dari pengaruh bius.
03.30 p.m
Samantha dan yang lain sampai di NewZealand International Airport setelah menempuh 3 jam perjalanan dari rumah Aunty Sarah. Samantha tak melepaskan gandengan tangannya pada lengan ibunya. Hingga Ibu, Ayah serta saudara lelakinya sudah harus kembali terbang ke New York. Samantha langsung saja memeluk ibunya dengan erat. Meskipun ibunya tak membalas.
"Ergh! Mom! aku akan sangat merindukanmu," Samantha memeluk ibunya dengan erat seakan tak ingin melepaskannya kembali ke New York.
Seketika terdengar suara microphone yang diketuk dan sedetik kemudian terdengar suara wanita yang diberat-beratkan yang mengatakan bahwa pesawat menuju Amerika Serikat akan segera berangkat, maka ayah, ibu, dan kakak Samantha harus pergi meninggalkannya. Entah sudah berapa lama Samantha menangis sambil memeluk ibunya, yang membuat baju bagian bahu ibunya basah dipenuhi air mata Samantha
"Tenang sayang, kami akan berkunjung saat liburan musim panas," ibunya mencoba menenangkan Samantha. Dan akhirnya dia melepaskan pelukannya dan bergantian memeluk ayahnya. Namun tidak untuk Kevin, kakaknya. Mereka hanya tersenyum canggung antara satu dan yang lain. Selalu begitu antara Kevin-Samantha mereka bagaikan murid baru yang belum pernah mengenal antara satu dan lainnya.
Samantha mengantar keberangkatan keluarganya bersama keluarga Bennet --nama keluarga Berry-
Air mata Samantha tak dapat henti-hentinya mengalir, bahkan ia baru sadar dari pengaruh bius beberapa jam dan langsung saja ditinggal oleh keluarganya untuk tinggal dengan keluarga Bennet
________________________________________
Daberry Devian Bennet
Aku kasihan melihat Sammi, ku dekati dia yang sedari tadi menangis sambil melihat tempat dimana orang tua Sammi menghilang untuk mempersiapkan penerbangan mereka kembali menuju New York. Kurangkul ia, berharap akan meredakan rasa sedihnya.
"Bisakah kita pulang sekarang? Mungkin aku bisa lebih tenang?" katanya sambil menghapus air matanya dan menarikku ketempat Dad dan Momku berada.
"Dad, Sammi ingin segera pulang. Bisakah kita?" tanyaku.
"Oh? baiklah jika begitu mau kalian." Dad dan Mom langsung saja memutar arah menuju parkiran. Begitu pula aku dan Sammi yang mengikuti dari belakang.
Dad dengan segera membawa mobilnya kembali kerumah. Sepanjang perjalanan kuperhatikan Sammi hanya diam. Aku tahu apa yang Sammi rasakan. Pasti ia merasakan kecewa, sedih dan juga kesal.
___________________________________
Samantha Lynn Hearst
Samantha, you can!
Kemarin Berry mengatakan bahwa hari ini aku akan langsung masuk sekolah. Lagi pula aku tak ingin terlalu memikirkan kepulangan orang tuaku. Aku harus dapat membuktikan pada mereka bahwa aku bisa serius dalam belajar. Dan saat mereka datang mengunjungiku mereka akan melihat keseriusanku dan aku akan pulang ke New York!!!! yeaayyyyy!
Setelah selesai mandi aku segera membuka lemari pakaian di kamar baruku dirumah keluarga Bennet ini. suara decitan khas lemari kayu tua terdengar saat dibuka.
Pakaianku di New York sebagian telah memenuhi lemari ini dan dibagian teratas terdapat bungkusan yang berisi beberapa pasang baju kemeja dan rok bawahan yang kuyakini adalah seragam sekolah. Karena kemarin Berry memberi tahuku bahwa disekolahnya memakai seragam.
Segera saja kupakai dan untungnya pakaian ini pas pada tubuhku yang sedikit mini. Setelah berputar-putar didepan kaca aku akhirnya turun dari kamarku di lantai 2 rumah keluarga Bennet.
"Good Morning Aunty Sarah, Uncle Josh and 'lil bro Berry" kataku riang saat sampai pada meja makan dan duduk di samping Berry.
Mereka menatapku takjub bagaikan melihat pertunjukan monyet yang mampu memakan paku dalam sekali telan saja "What?" tanyaku sambil mentautkan alisku.
"Nothing," jawab Berry "Hanya saja kau... hmm.." Berry menggantung perkataannya. Mataku membesar memintanya melanjutkan perkataannya.
"Kau sudah tidak sedih lagi? itu yang ingin kau katakan, Berry?" sambung Aunty Sarah. Berry mengangguk sambil menatapku bingung,
"Ya sudahlah Aunty. Aku hanya ingin mencoba menjadi seperti yang keluargaku harapkan. Mohon bantuannya kepada kalian semua, tolong bimbinglah aku agar aku bisa menunjukkan kepada keluargaku bahwa aku bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan," kataku sambil tersenyum.
"Oh, baiklah. Bagus kalau kau ingin seperti itu Sam," kulihat Uncle Josh menjawab. Aku mengangguk dan tersenyum, aku berharap dalam hatiku agar aku mampu menjalankan seperti apa yang kukatakan beberapa detik yang lalu. Dan aku mulai melahap roti selai strawberry buatan Aunty Sarah, dan menghabiskan s**u sapi segar dari peternakan Keluarga Bennet di belakang rumah.
"Kau sudah selesai makan? ayo ambil tas mu! kita harus segera berangkat," Segera kuambil tasku dan berpamitan pada Aunty dan Uncle ku untuk segera pergi kesekolah bersama Berry.
Mataku membulat sesaat saat melihat sepeda tua yang sudah dinaiki Berry "Kau tidak membawa mobilmu, Berry?" tanyaku sambil menunjuk garasi tempat mobil terparkir.
"Kau bercanda Sam? jarak dari rumah kesekolah tidak sampai 1 km. Lagi pula mobil hanya dipakai untuk mengontrol keadaan ladang, ayo naik!" Berry menepuk kursi penumpang di belakang tempat duduknya. Huh. Segera ku ikuti apa yang disuruh Berry. Berry mulai mengkayuh sepeda menuju sekolah.
Sungguh dingin disini, aku menyesal tak memakai sweater. Pepohonan masih setia tumbuh disisi-sisi jalan yang membuat jalanan sangat dingin. Sepanjang perjalanan aku disuguhkan pemandangan alam yang sungguh luar biasa yang telah diciptakan Tuhan. Gunung Taranaki yang menjulang dan disertai salju abadi diatasnya terlihat dari sini.
Mataku membulat sempurna saat ...
To Be Continued ..
_______________________________