[04] The Book

1900 Words
The Thief – The Book- Aku melihat wajahku di cermin, warna mataku kali ini berwarna kuning terang "Ah! aku terlihat seperti kucing," gumamku kecil. "Meaww meaww," kataku sambil bergaya seperti kucing didepan kaca, yang berhasil membuatku tertawa kecil. Entahlah, tapi aku merasa bahwa warna mataku berubah sesuai moodku. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. "Sammi! dinner time," seruan Berry dari luar kamar mampu membuatku tersentak karena terkejut. "I'm coming!" jawabku dengan segera keluar kamar dan menuju ke meja makan dimana keluarga Bennet telah berkumpul untuk makan bersama. Aku duduk di kursi tepat disebelah Berry. Aku duduk dengan senyum canggung menghiasi wajahku. Entahlah ini hanya perasaanku saja atau kenyataannya benar begitu, kurasakan Aunty Sarah yang duduk dihadapanku menatapku lekat-lekat. "Sammi?" suara Aunty Sarah memanggilku yang secara refleks aku langsung menatap lurus pada mata Aunty Sarah yang ada dihadapanku. Manik mata Aunty Sarah membesar "Ada apa dengan matamu? bukankah matamu berwarna abu-abu kehijauan bukannya hijau seprti ini." tangan Aunty Sarah menyentuh permukaan pipiku untuk menggapai mataku. Rasa shock langsung menyambar-nyambar di kepalaku. Ku pegang tangan Aunty Sarah yang berada dipipiku dan menaruhnya diatas meja, lalu mengeluarkan sebuah senyuman kecil yang sedikit canggung "Ah, hmm Aunty, tadi di Auckland aku membeli softlens ini," jawabku masih dengan senyum canggungku dan menunjuk kearah bola mataku "Ah, pasti saat kau ke toilet kan? mana mungkin kau ketoilet sampai lebih dari setengah jam hahaha." terdengar Berry menyahut perkataanku sambil sibuk memasukkan makanan kedalam mulutnya. Tak menjawab aku hanya tersenyum konyol, dan mulai memakan makanan yang telah tersaji dihadapanku. Setelah selesai makan secepat mungkin aku kembali kekamar takut-takut warna mataku akan berubah lagi. Aku mengambil ponselku yang tergeletak tak bernyawa di atas meja. "Hey, teman lama," kataku sambil mengelus layarnya "Padahal beberapa hari lalu aku masih sering memainkanmu, hahaha. Entahlah, tapi kau tak berguna disini, bahkan Mom yang berkata akan menghubungiku sampai sekarang tak ada tanda-tanda ingat padaku, haha." Aku tertawa kecut. Aku menatap layar ponselku yang masih saja dipenuhi oleh notification dari social mediaku, Tak satupun yang berasal dari Kevin, Mom ataupun Dadku. Miris. Ponselku kembali kuletakkan diatas meja. Aku mengambil buku di lemari buku, aku mengambil sebuah buku tebal disebelah Secret Book yang pernah k****a. Buku ini juga memiliki cover berwarna hitam, namun tak ada tulisan apapun di cover buku itu. Rasa penasaran kembali memaksaku untuk membuka buku ini. Satu kata yang kudapati pada halaman pertama "WEREWOLF" tertulis jelas dan sangat besar, errr tidakkah ini konyol? Buku-buku yang tampaknya misterius ini hanya memuat dongeng. huh. Kulanjutkan kehalaman berikutnya yang memuat bahasa-bahasa yang tak pernah kuketahui, di bawahnya tertulis dengan tinta merah. I love them, but we're not the same Alis mataku bertaut sendiri membacanya yang menambah rasa penasaranku. Dan selalu membalik halaman, aku hanya membaca catatan dibagian bawah buku yang bertinta merah. apakah hanya aku yang mampu mengerti mereka? dihalaman berikutnya Tak satu orang pun mau mendengar ceritaku, mereka selalu tertawa mengejek saat aku menyebut kata Werewolf! This isn't a fairytale! This is real! Grace! I love her! a cute and really kind werewolf. "Wait! Grace? itu kan nama ibuku. Apakah yang dimaksudkan disini nama ibuku?" Rasa penasaranku semakin membesar. entahlah apakah istriku, Isabelle akan marah padaku karena tanpa sepengetahuannya menjalin hubungan dengan Grace, werewolf cantik yang kini sangat kucintai. "ah? Isabelle? bukan kah itu nama Grandma? huh! ada apa dengan buku ini?" kataku dengan rasa penasaran yang memuncak hingga puncak tertingginya Dibeberapa halaman ada sketsa serigala dan manusia bahkan ada yang setengah manusia dan setengah badannya berbulu tebal seperti serigala gunung. Isabelle melahirkan anak kedua kami hari ini. Jika anak kami perempuan dia akan kuberi nama Grace Wolly Bennet. Sedikit aneh bukan? but I Love It. Ah! itu nama lengkap Momku! benar! ini pasti catatan milik Grandpa! Aku bahkan tak pernah tau bagaimana wajah atau wujud dari Grandpa sendiri. Kata Mom, Grandpa sudah meninggal sejak Mom masih bayi. Entahlah mengapa Grace dan Teman-teman sejenisnya marah pada Isabelle. Grace dan yang lain sudah menghancurkan beberapa rumah didesa ini, apakah mereka sangat marah? Aku hanya dapat berdiam dirumah menjaga Isabelle yang masih sangat lemah sehabis melahirkan. Aku harus bisa menghentikan semua ini, Grace dan Isabelle. Isabelle mengetahui semua tentang aku dan Grace. Isabelle sangat marah. Dia pergi ke hutan Taranaki. Tidak akan kubiarkan dia menemukan Grace! Kata bertinta merah itu menjadi akhir dari buku ini. Halaman-halaman berikutnya masih kosong tanpa goresan tinta sedikitpun. Aku berbaring diatas tempat tidur dan memikirkan kata-kata tak masuk akal yang kemungkinan ditulis oleh Grandpa ku itu. Dan siapa Grace yang dimaksudkannya? apakah dia sangat berarti bagi grandpa? Mengapa grandpa memberikan Mom nama yang sama sepertinya? Tanda tanya berkeliaran disegala sudut otakku. Ada apa sebenarnya? Kumatikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Kutatap Plafon kamar yang berwarna orange karena sinar lampu tidur. Lama-kelamaan berubah warna menjadi hitam, mataku perlahan-lahan menutup sempurna. Ya, aku kembali terbawa kealam mimpi. __________________________ Author's Samantha berlari menuruni tangga menuju lantai bawah kediaman keluarga Bennet dengan seragam rapih, ia langsung ke meja makan untuk sarapan. Tak ada satu orang pun yang ada dimeja makan. Samantha menautkan alisnya. "Kemana yang lain?" ia mengambil sehelai roti yang telah diberi selai blueberry diatasnya. "Oh? ah? mungkin aku kesiangan!" seru Samantha heboh sambil dengan susah payah menelan seluruh rotinya, dengan cepat ia menghabiskan sebotol air mineral dan langsung berlari menuju luar rumah dimana Berry menyimpan sepedanya. "Berry?? Berry?" teriak Samantha berharap Berry akan menyahut dan belum pergi kesekolah "Mana mungkin dia sudah pergi. Sepedanya masih disini, Aku tunggu didepan saja." Samantha melangkahkan kakinya menuju depan rumah tepat dimana ada taman kecil yang berisi bunga-bunga yang indah dan ada sebatang pohon blueberry ditengahnya. Krakk, suara ranting patah yang berasal dari seberang jalan didepan rumah Aunty Sarah yang masih dipenuhi pohon pinus dan tanaman liar. Tanaman liar yang rimbun itu bergerak-gerak. "siapa?" tanya Samantha dengan ragu-ragu. Tak ada sahutan dari balik tanaman liar itu. Rasa penasaran Samantha kembali timbul yang memaksanya mendatangi tanaman liar itu. "Siapa kau?" teriak Samantha saat melihat seorang lelaki dengan wajah penuh lumpur dan bibir kering seakan tak pernah minum selama berbulan-bulan. Orang itu terguling sambil memegangi lengan kanannya. "Kau siapa? mengapa disini? Dan mengapa tanganmu terluka?" pertanyaan Samantha terlontar secara beruntun. Luka besar dan panjang bersarang pada lengan lelaki itu "Aw! itu pasti menyakitkan! rumahmu dimana? aku akan meminta bantuan Berry untuk mengantarmu." Samantha kembali bertanya pada lelaki itu. Namun nihil, lagi-lagi pertanyaan Samantha tidak dijawab oleh lelaki itu. "Kalau begitu kau tunggu disini sebentar ya? akan kuambilkan obat untukmu." Samantha berlalu kembali kerumah untuk mengambil kotak P3K dan kembali ketempat lelaki tadi. Samantha mengambil sebuah bola kapas dan mengambil antiseptic untuk membersihkan luka lelaki itu "Biar aku obati ya?" lelaki itu tetap diam sambil merintih kesakitan. Samantha mulai membersihkan lukanya dengan perlahan. Saat tiba di lukanya yang paling dalam. Samantha menekan kapas sedikit dalam agar antiseptic dapat sampai pada bagian luka tersebut. "Argh! itu sakit, bodoh!" makian dengan suara parau keluar dari mulut lelaki itu, yang mampu membuat Samantha berhenti dari aktifitasnya. "Beruntung aku mau membantumu! dari pada kau berguling-guling disini seperti orang bodoh tak ada orang yang tahu! kau bisa kehabisan darah! kau semestinya berterima kasih padaku!" Maki Samantha, "Ah sudahlah! aku hanya membuang waktuku," sambung Samantha sambil berlalu kembali kerumah dengan rasa kesal bersarang dikepalanya. tak lama ia keluar bersamaan dengan Berry. "Kau sudah lama menunggu Sam?" tanya Berry "Tidak" jawab Samantha asal dengan pandangan yang tetap fokus pada tumbuhan liar dimana dibelakangnya bersembunyi lelaki aneh tadi. "Apa yang kau lihat?" Berry mengikuti arah pandangan Samantha. "Eh? nothing!" Samantha menarik tangan Berry untuk mengambil sepeda "Ayo Berry, kita harus kesekolah!" kata Samantha mengalihkan topik. Dengan segera Berry mengeluarkan sepedanya. Samantha dan Berry langsung pergi kesekolah. "Berry tadi kamu kemana? aku kira kamu udah kesekolah duluan." Samantha memulai pembicaraan. "Tadi aku ke kandang domba. Ada 3 domba hilang. 1 domba masih ada ditempat dengan luka gigitan seperti pada Matthew sedangkan keduanya hilang." Berry menjelaskan "How can? bahkan kita sudah memasang kawat berduri." "Entahlah, memang kandang domba yang terendah diantara kandang ternak lain. Mungkin dia memiliki pegas disetiap kakinya hingga bisa melompati pagar berduri, hahaha." tawa kecut Berry mencuat, "Tapi dia tak mungkin kuat membawa 2 ekor domba yang gemuk untuk keluar melompati pagar dengan mudah. Kakinya terluka, ada bekas darah di salah satu sisi pagar kandang domba." Samantha terdiam mendengar perkataan Berry. "Huh! Mom dan Dad jadi sedikit stres dibuatnya, padahal sudah ada pembeli yang mau membeli seluruh domba kami, Mungkin kami akan sedikit rugi dikarenakan hal ini." Tersirat kesedihan disuara Berry "Dasar pencuri tak tahu untung! hahaha." Berry kembali melontarkan tawa kecutnya. Samantha makin terdiam dengan fikiran yang bercabang dan beranak cucu. "Sampai." satu kata dari Berry yang mampu mengacaukan fikiran Samantha. Dan dia langsung turun dari sepeda dan mengikuti Berry berjalan masuk kedalam sekolah. Seluruh mata perempuan tertuju pada Samantha dan Berry yang berjalan bersama menyusuri koridor sekolah. Bisikan-bisikan sirik terdengar disegala sudut. "Ah! murid baru itu berani-beraninya mendekati Berry! bahkan pergi sekolah bersama Berry! Jangan-jangan dia 'mainan' Berry, hahaha," suara Megan dan Eve mencuat dari segala bisikan-bisikan itu. Telinga Samantha terasa memanas mendengarkan bisikan-bisikan konyol orang-orang disekitarnya. "Bisakah kalian semua menutup mulut kalian?" teriak Berry tanpa melihat satu orangpun dan tetap melanjutkan langkahnya. Mulut para perempuan penggosip itu terdiam membisu setelah Berry berteriak. "Jika mereka menganggumu, katakan kau adalah kakakku," bisik Berry pada Samantha, Samantha menangguk mengerti. Berry menarik tangan Samantha menghindarkan pandangan tajam dari kebanyakan siswi dikoridor. Berry membawa Samantha ke kelas dan duduk di bangku mereka. "Ada apa dengan kebanyakan siswi disini?" Samantha menghela nafas panjang "Haaaah." Berry ikut menghela nafas "Seluruh siswa disini tahu bahwa aku adalah keturunan Bennet, keturunan yang sangat dihargai dan dihormati. di daerah ini, bahkan orang-orang desa tetangga yang lumayan jauhpun masih menghormati kami. Keluargaku pemilik kebun dan peternakan paling maju disini. Semua itu adalah warisan dari Grandpa kita," kata Berry sambil mengambil komik yang ada disaku celananya. "Oh. Lalu mengapa Megan dan Eve saat itu ..." kata-kata Samantha dipotong oleh Berry. "Menurut surat-surat yang k****a di lockerku, mereka menyukaiku. Ah aku tahu! mereka hanya menyukaiku karena aku adalah keluarga Bennet. Dan mereka tahu aku adalah satu-satunya anak penerus perkebunan dan peternakan keluarga Bennet." matanya terpaku lekat pada isi komik. Samantha tak menjawab melainkan hanya mengangguk mantap. _________________________ Samantha Lynn Hearst Aku menuju kantin untuk mengisi kekosongan perutku, lagi-lagi tatapan dari wanita-wanita ini membuatku sedikit memanas. Hanya membeli roti isi, dan aku duduk disebuah kursi kosong disudut ruangan. Baru saja aku menduduki kursi kayu bercat putih ini beberapa perempuan menghampiri mejaku. "Samantha Lynn Hearst. Kau siapanya Berry?" nada ketus itu meluncur dari bibir salah satu dari mereka "Aku kakak perempuan Berry," kataku santai sambil melahap roti isi ditanganku. "Kau bercanda? Hearst? Bennet? itu berbeda, bodoh! lagi pula Berry anak tunggal," sahut perempuan lain. Perkataannya tak mampu membuat ekspresi wajahku berubah. Aku menghiraukan mereka dan tetap melanjutkan aktifitas makanku. "Bisakah kalian pergi?" suara teriakan Berry memecah keributan mulut para orang-orang aneh ini. "wow! Berry! dia pacarmu kan? dia tidak mau mengakuimu! dia berkata bahwa dia hanya kakakmu!" suara Eve melengking diantara yang lain, seolah ingin membuat Berry panas. Aku tertawa kecil. "Eve bisakah kau diam! Sammi memang kakak-ku. Kakak sepupu!" kata Berry santai. Wajah seluruh orang-orang ini berubah cemas. "Ah! maafkan kami Samantha. Kami tak tahu kau adalah sepupu Berry," kata-kata itu berulang-ulang terdengar dengan nada memelas. Berry duduk disampingku. "Benar, bukan? mereka menjijikkan," bisik Berry padaku. Aku hanya menahan tawa. Tak lama orang-orang ini pergi dari hadapanku. Yang menyisakan Eve dan Megan. "Kenapa masih disini?" tanya Berry. Cengiran-cengiran bodoh terpampang jelas wajah kedua badut dihadapan kami. To Be Continued ..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD