"Zeva!" Dengan nyaring seorang bocah lelaki meneriaki temannya yang baru melewati pintu masuk.
Sama halnya dengan Chiko, Zeva juga dengan antusias berlari mendekat. Tidak menyangka jika mereka akan dipertemukan di tempat ini.
"Chiko makan di sini juga?" tanya polos Zeva yang diangguki kepala oleh temannya.
Tisa berdiri menyambut kedatangan Arkan dan Ana.
"Wah, enggak nyangka bisa bertemu dengan Pak Arkan dan Miss Ana."
Arkan menjawab, "Iya, ini Zeva lapar katanya dan minta mampir makan."
Sementara Ana, antara rasa malu juga tidak enak hati harus kedapatan sedang bersama Zeva dan Arkan. Secara, hubungan mereka hanya sebatas guru dan wali murid. Ana takut andai orang lain salah mengartikan dengan apa yang dilihat. Apalagi, yang Ana tahu, Tisa adalah istri dari suaminya.
Haish! Hubungan macam apa ini. Ana jadi berpikir andai buku nikah yang dia kantongi selama ini adalah palsu. Bagaimana mungkin seorang lelaki bisa menikah dua kali. Kecuali salah satu di antaranya hanya dinikahi secara siri. Diam-diam Ana memperhatikan Tisa. Apa mungkin wanita secantik dan sekaya Tisa mau dinikahi secara siri oleh Kenandra.
Dan apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Ana, harus dipatahkan dengan kehadiran seseorang yang ingin sekali dia tanyai langsung untuk mendapatkan jawaban. Sejujurnya, Ana tidak pernah mempermasalahkan dengan status pernikahannya dengan Kenandra. Dia hanya penasaran saja meski pun sejujurnya, dalam hati terdalam wanita itu juga tidak terima telah dibohongi tidak hanya oleh Kenandra tapi juga Arum, ibu mertuanya. Bagaimana andai mamanya tahu bahwa Arum dan Kenandra telah melakukan kesalahan besar dalam kehidupannya. Sudah dapat ia tebak jika sang mama akan sangat kecewa dan bisa jadi hubungan pertemanan mama dengan mertuanya yang terjalin baik akan renggang karena masalah ini. Dampaknya sang mama juga akan meminta agar dia kembali ke kampung halamannya. Ana belum siap itu semua. Saat ini karir lah yang utama Ana pikirkan. Bahkan dia juga sudah mengajukan beasiswa S2 ke luar negeri. Jangan sampai hanya karena masalah pernikahan habis mengubur semua mimpinya. Toh Ana juga sudah berjalan sejauh ini. Itulah kiranya yang Ana pikirkan kenapa masih bisa bertahan untuk tetap bungkam san mengikuti alur yang Ken buat untuk hubungan pernikahan mereka. Tidak saling kenal dan seolah melupakan jika mereka pernah mengucap ikrar di depan penghulu dan disaksikan oleh Tuhan.
"Sayang! Kamu sudah datang!" sapa Tisa dengan senyuman bahagia kala mendapati kehadiran Ken.
Ana yang mendengar dan mengetahui kehadiran pria itu, tidak berani sekedar menoleh apalagi menatap Kenandra.
Entah takdir macam apa yang dia jalani karena akhir-akhir ini sering sekali mereka di pertemukan secara tidak sengaja seperti ini. Apakah Tuhan ingin menguji seberapa besar kesabarannya hingga tidak harus cemburu melihat keromantisan Tisa dan Ken. Lihat saja bagaimana Tisa yang tanpa segan mencium Ken di hadapannya dan Pak Arkan. Sampai-sampai Ana harus memalingkan wajah demi menghindari matanya agar tidak ternoda.
Beruntung Arkan segera pamitan, karena jika diharuskan berdekatan dengan Ken dan Tisa, lama-lama Ana tidak kuat juga.
"Pak Ken ... Bu Tisa. Kami tinggal dulu. Sepertinya Zeva sudah lapar."
"Oh, Pak Arkan tidak mau gabung saja bersama kami?"
"Kami tidak ingin mengganggu kalian. Jadi, biarkan kami duduk di meja seberang saja."
"Yah, sayang sekali. Tapi mungkin sepertinya Pak Arkan juga butuh privasi agar Miss Ana juga merasa nyaman. By the way, saya lihat-lihat kalian berdua sangat serasi. Saya dukung andai kata Zeva ingin punya mama lagi."
Arkan yang tidak enak hati dengan Ana buru-buru mencairkan suasana. "Bu Tisa bisa saja. Saya dan Miss Ana hanya kebetulan saja tadi barengan. Ya sudah kami permisi dulu."
Setelah kepergian Arkan dan Ana, Ken masih juga mengunci mulutnya. Sesekali dia juga memperhatikan Ana yang duduk tak jauh darinya. Pria itu membuang napas kasar, menarik perhatian Tisa.
"Sayang! Kamu kenapa?"
Ken menolehkan kepalanya, lalu menggeleng. "Tidak apa-apa."
"Kamu terlihat tidak nafsu makan. Sejak tadi kamu hanya aduk-aduk makanan di piringmu. Apa itu tidak enak?"
"Aku hanya sedang banyak kerjaan saja. Jadi sedikit tidak berselera."
Tisa menangkup tangan Ken. Mengulas senyuman, "Jangan capek-capek kerja. Kamu juga harus jaga kesehatan. Ada aku dan Chiko yang masih sangat membutuhkanmu."
Ken memaksakan senyumannya. Sekarang, dia juga tengah dibuat kebingungan bagaimana caranya menjelaskan pada Tisa bahwa dia sudah menikah dengan wanita lain. Dan Ana lah orangnya. Ken tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Tisa yang pasti akan sangat kecewa padanya.
Lagi-lagi Ken melayangkan pandangan ke arah Ana dan Arkan. Untuk sesaat ia perhatikan bagaimana interaksi Ana dengan Arkan yang tampak akrab. Saling mengobrol, tertawa bahkan Ana juga terlihat sangat menyayangi Zeva. Lihat saja bagaimana Ana yang sesekali membantu Zeva makan. Aura keibuan yang kentara sekali ditunjukkan oleh Ana. Benarkah Ana dan Arkan sedang melakukan pendekatan ke arah hubungan yang lebih serius lagi, sementara Ana saja masih terikat pernikahan dengannya.
"Sayang!" panggilan Tisa tidak direspon. Wanita itu mengikuti arah pandang Ken yang masih saja tertuju pada meja Arkan dan Ana. Tisa mendengus kesal. Ia mulai curiga dengan sikap aneh yang Ken perlihatkan.
"Ken!" Kali ini Tisa harus meninggikan nada suaranya hingga membuat Ken terkesiap.
"Ya?"
"Kamu ini kenapa? Memperhatikan Pak Arkan dan Miss Ana segitunya? Apa jangan-jangan kamu menaruh perasaan pada Miss Ana juga, sama halnya Pak Arkan yang sedang melakukan pendekatan?" tanya Tisa penuh selidik.
Ken gelagapan. Pria itu tentu saja tidak akan jujur sekarang. "Kamu ini bicara apa? Jangan sembarangan. Enggak enak jika didengar oleh orangnya."
"Habisnya kamu ini segitunya melihat ke arah mereka!" Tisa masih kesal dan memburu Ken dengan pertanyaan.
"Tisa, stop! Jangan berpikir kejauhan. Okay?" Ken mengangkat pergelangan tangan kanannya. Memperhatikan arloji yang melingkar di sana. "Sayang, maaf. Aku harus pergi sekarang."
"Kamu nggak mau habiskan dulu makananmu?"
"Maaf. Aku sungguhan tidak berselera." Ken beranjak berdiri. "Aku harus pergi. Chiko, Daddy ke kantor ya? Jaga Mommy baik-baik."
"Okay, Daddy!"
Ken mengusap pucuk kepala Tisa, lalu pergi begitu saja. Dan Tisa hanya mampu menatap nanar punggung pria yang sangat dicintainya. Entah kenapa perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Ada ketakutan yang bersemayam di dalam hatinya. Wanita itu melirik pada Ana dan Arkan yang rupanya juga sudah selesai makan. Mereka bertiga beranjak berdiri dan meninggalkan meja.
'Tidak mungkin kan jika wanita seperti itu menarik perhatian Ken?' batin Tisa bertanya-tanya lalu ia gelengkan kepalanya berusaha mengusir pemikiran buruk yang menghantuinya. Tisa sangat takut kehilangan Ken. Bahkan selama lima tahun ini, Tisa sanggup melakukan apa saja asalkan Ken tetap bertahan di sisinya. Termasuk hubungan tanpa status yang terjalin di antara dia dengan pria itu. Siapa yang mau digantung hubungannya seperti ini? Tisa sendiri juga ingin mendapat pengakuan secara resmi hanya saja Ken belum berhasil juga meyakinkan keluarganya agar mau menerima kehadirannya. Tisa masih sanggup bertahan asalkan Ken tetap berada di sisinya.