1. Dia Suamiku
"Kau boleh tinggal di apartemen ini dengan sesuka hati. Tenang saja, karena aku tidak tinggal di sini." Ucapan dari sosok lelaki yang berdiri menjulang di hadapannya, didengarkan dengan seksama oleh Ana.
"Baik, terima kasih karena Anda sudah memberikan saya tempat tinggal."
"Kalau begitu aku pergi. Jaga diri baik-baik."
Mariana Kurnia, atau biasanya wanita itu kerap dipanggil dengan sebutan Ana, memperhatikan punggung lebar lelaki yang merupakan suaminya, pergi menjauh dari hadapannya.
Adimas Kenandra namanya. Lelaki yang baru kemarin menikahinya dan hari ini langsung memboyongnya ke kota. Sejak awal, Ana sudah menduga jika kehidupan pernikahan yang akan dia jalani tidaklah semanis pernikahan normal pada umumnya. Jadilah perempuan itu sudah lebih siap menjalani hari-hari sendiri tanpa suami untuk selanjutnya.
Hidup di kota bukanlah hal yang baru bagi Ana. Perempuan itu pernah beberapa kali mendapatkan tugas dari tempatnya mengajar, untuk melakukan pertukaran tenaga pendidik di kota. Dan sekarang, ketika Ana mendapat tawaran untuk bekerja menjadi salah seorang guru di sebuah sekolah Internasional di kota, tentu saja kesempatan itu tidak Ana sia-siakan. Karirnya akan lebih cemerlang ketika dia bekerja di kota. Hanya saja, sebagai syarat dari mamanya untuk dia bisa pergi menggapai mimpinya, dengan cara menerima perjodohan dan menikah dengan anak lelaki teman mama.
Itulah kenapa sekarang Ana bisa berada di tempat ini.
Perempuan itu telah berkeliling di dalam apartemen yang tidak seberapa luas, setelah kepergian Kenandra. Terdapat dua buah kamar, dengan satu kamar mandi. Ruang multifungsi yang dapat digunakan sebagai ruang tamu sekaligus ruang televisi. Dan juga dapur serta balkon yang mungkin suatu hari nanti akan menjadi tempat ternyaman bagi Ana untuk menyendiri.
"Lumayan juga tempat ini. Semoga aku betah tinggal di sini. Semangat Ana!"
•••
Satu bulan kemudian.
"Good morning sayang," ucap lembut Ken, ketika pagi ini dia membangunkan wanitanya.
Tisa membuka kedua matanya, lalu senyumnya merekah. Ken selalu sukses membuat kedua pipi Tisa merona merah karenanya.
Tisa Faradila. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun, yang lima tahun belakangan ini telah menjalin hubungan asmara dengan Kenandra.
"Morning," jawab Tisa beringsut bangun lalu duduk dengan bersandar pada kepala ranjang. Memperhatikan Ken yang sudah rapi di pagi hari seperti ini. "Kamu mau berangkat sekarang? Sudah rapi saja."
Ken menganggukkan kepalanya. "Iya. Aku ada meeting pagi-pagi. Maaf tidak bisa menemani kamu sarapan. Tapi ... aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Jangan lupa dihabiskan. Aku harus berangkat sekarang."
Meski Tisa keberatan, tapi mau bagaimana lagi. Pekerjaan memang yang utama bagi Ken.
"Baiklah. Tak apa. Pergilah."
"Ah, ya. Chiko akan aku antar ke sekolah sekalian. Jadi ... hari ini kamu bisa beristirahat di rumah."
Bagaimana Tisa tidak makin cinta pada pria itu. Ken yang penuh kasih sayang dan selalu perhatian, tak hanya dengannya tapi juga pada putranya.
Ken mencondongkan tubuhnya mendekat lalu mengecup sebelah pipi Tisa.
Pria itu beranjak berdiri.
"Ken!" panggil Tisa lagi membuat pria itu memutar tubuhnya.
"Ya?"
"Terima kasih."
"Sama-sama." Ken mengulas senyuman lembut untuk Tisa.
"I love you."
"I love you more."
•••
"Daddy!"
Suara melengking itu berasal dari seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun yang sedang duduk menikmati sarapannya.
Ken mendekat, mengusap pucuk kepala Chiko. "Hai, boy. Sudah selesai makannya?"
"Sudah."
"Kita berangkat sekarang."
"Daddy yang mau antar aku ke sekolah?"
"Iya."
"Mommy ke mana?"
"Biarkan Mommy istirahat boy."
"Baiklah. Ayo!" Dengan semangat bocah itu turun dari kursinya.
Ken menggandeng lengan mungil bocah tersebut. Seorang baby sitter yang dipekerjakan oleh Tisa untuk membantu mangasuh Chiko, mengangsurkan tas sekolah dan memakaikan di punggung bocah tujuh tahun itu.
"Sudah siap?"
"Sudah Daddy."
"Tidak ada yang ketinggalan?"
Chiko menggeleng.
"Let's go!"
Dengan riang gembira Chiko mengikuti Ken masuk ke dalam mobil.
Selama dalam perjalanan, Chiko banyak sekali bercerita segala macam hal pada Ken. Sebab jarangnya mereka memiliki waktu berdua diluar dari weekend tentunya.
"Daddy, aku punya guru baru, loh!"
"Oh ya?"
"Ya. Orangnya cantik sekali. Namanya Miss Mariana. Nanti Daddy aku kenalkan mau, ya?"
"Oke, tentu saja."
Dan di sisa perjalanan mereka, Ken mendengarkan dengan baik celotehan anak lelaki itu. Bahkan sesekali Ken pun tertawa karena Chiko sangat pandai melucu.
"Ayo Daddy kita turun!" ajakan Chiko ketika mobil yang dikemudikan oleh Ken tiba di sekolah.
Karena Ken tidak ingin membuat Chiko kecewa, pria itu pun menurut saja meski waktunya telah mepet sekali. Tiga puluh menit lagi dia harus mendatangi meeting di kantor klien.
Chiko menarik lengan kekar Ken memasuki kawasan sekolah. Sebenarnya Ken enggan sekali jika harus masuk ke dalam karena dapat ia pastikan jika keberadaannya akan mencuri perhatian. Jika sedang bersama Tisa ketika mengantar Chiko sekolah seperti ini, maka mereka para mama muda tidak akan berani menggodanya. Tapi begitu dia hanya datang sendiri tanpa Tisa, sapaan lembut selalu singgah di telinga sejak dia menapakkan kaki di teras sekolah, hingga sampai di kelasnya Chiko. Ken yang sebenarnya risih hanya menanggapi dengan senyuman tipis.
"Daddy, ayo aku kenalin ke Miss Mariana!"
Ken sungguh tak sanggup menolak karena Chiko terlalu semangat menarik lengannya dengan sedikit berlari kecil.
Hingga langkah kaki Ken terhenti, tatkala Chiko memanggil dengan lantang sosok perempuan muda yang sedang berdiri di depan kelas.
"Miss Mariana!"
Perempuan berseragam batik itu pun menolehkan kepalanya. Senyuman lebar yang sejak tadi diberikan untuk para muridnya sirna sudah kala kedua netra perempuan itu bersitatap dengan manik hitam Kenandra.
'Bukankah dia suamiku?' batin Ana yang hanya mampu dilontarkan di dalam hati.