Naya merebahkan tubuhnya di atas sofa setelah menebar dengan asal tas dan blazer yang tadi dikenakannya selama di kantor. Kepalanya mendadak pusing setelah menetahui fakta bahwa Fazran kemungkinan besar sudah tidak mengingatnya. Masih segar di ingatannya bahwa tadi saat makan siang bersama Direktur Utama barunya itu, dia harus memperkenalkan dirinya lagi.
Dia tidak mungkin 'kan salah mengenali orang?
Jelas-jelas wajah dan namanya sama dengan sosok yang dirinya kenal 5 tahun yang lalu, jadi Naya percaya diri akan ingatannya. Namun melihat semua sikap pria itu membuat Naya yakin bahwa mungkin Fazran masih mengenalnya, tapi sepertinya enggan untuk terlibat dengannya lagi. Karena lagipula dia bukan siapa-siapa lagi bagi pria itu, Fazran sudah meraih kebahagiaanya sendiri, juga mungkin dirinya saja yang masih belum bisa move on dari semua yang terjadi di masa lalu antara dirinya dan pria itu. Sehingga mudah membuatnya merasa seperti dicampakan, walau kenyataannya Fazran sah-sah saja melakukan itu, karena tidak ada lagi hubungan yang menyatakan pria itu wajib peduli padanya.
Miris.
Naya tersenyum kecut usai menarik kesimpulan itu di otaknya. Dia merasa bodoh untuk tetap menjadi prioritas pria itu dengan alasan bahwa direktur utamanya itu adalah mantan kekasih—ah tidak.. mungkin lebih tepatnya mantan calon tunangannya. Sebelum kemudian pria itu meninggalkannya, tepat sebelum acara pertunangannya dengan pria itu diselenggarakan dan dia ditinggalkan seperti sehelai pakaian yang sudah koyak yang dibuang oleh sang pemilik, lalu kemudian beralih untuk mencari pakaian yang lain. Pakaian dari segi bahan, kualitas, dan harga bisa menjamin keutuhan kain itu untuk jangka waktu yang lama.
Sebenarnya Naya tidak ingin menangis, namun air mata itu tidak mau berhenti meskipun sudah sekotak tisu habis diulurinya sejak tadi. Dan jadilah dia semalaman menangisi kenangan pahit yang kembali menyerbu pikirannya. Dia tertidur usai menangis dan kelelahan, masih dengan bekas air mata yang belum mengering di wajahnya serta lelah yang belum bisa hilang dari tubuhnya.
///
"Nay, tolong mintakan tandatangan laporan ini kepada Direktur Utama."
Manajer HRD yang bernama Pak Prabu mendekati kubikel Naya dan memerintahkan hal yang menurut jalur penyerahan laporan bukanlah demikian, seperti yang dimintakan manajernya barusan.
"Bukankah seharusnya sekretaris bapak yang harus memintakan tanda tangan tersebut?" tanya Naya meminta klarifikasi.
Karena dirinya sebelum ini bahkan tidak pernah secara langsung meminta tanda tangan para petinggi perusahaan ini, dia hanyalah karyawan biasa dan bukan wewenangnya mengurusi hal demikian. Dia hanya harus membuat laporan dan meminta manajer yang mengoreksi, untuk urusan lembar pengesahan itu urusan manajer dan sekretarisnya.
"Iya saya tahu, tapi saya dan sekretaris saya sedang berdiskusi penting soal beberapa peraturan perusahaan yang akan digodok lagi karena pergantian pemimpin. Jadi karena laporan ini kamu yang buat, saya minta kamu temui Direktur Utama kita dan mintakan tanda tangannya," jelas Pak Prabu.
"Tapi—"
"Apa kamu keberatan, Naya Iva Pratista?" Pak Prabu memotong kalimat Naya.
"Iya, pak.. saya akan meminta tanda tangan tersebut," kata Naya menyerah, dan kemudian mengulurkan tangan meminta dokumen laporan yang tertata dalam amplop berwarna kuning.
Setelah sang manajer pergi dari hadapannya, dia lantas beranjak dari kubikelnya, dan dengan berat hati melangkahkan kakinya menuju lantai 10 tempat di mana ruangan Direktur Utama berada.
Setibanya di lantai 10, suasana tampak sepi bahkan dia bisa mendengar dengan jelas langkah kakinya yang terbalut high heels tujuh sentimeternya. Naya berjalan melewati lorong setelah keluar dari lift, lantai ini memang hanya diisi oleh 3 ruangan. Yang pertama ruangan Direktur Utama dan yang kedua ruangan yang isinya kebutuhan sang Direktur Utama, kemudian yang ketiga ruangan sang asisten di depan ruangan Direktur Utama. Asisten yang kemarin makan bersama di satu meja bersamanya itu terlihat serius di meja depan ruangannya, dimana asisten itu biasa menerima tamu dari sang Direktur Utama.
Naya berjalan mendekati meja asisten Direktur Utama, Yudit Asmaradana tampak masih belum menyadari kehadiran Naya di lantai itu.
"Permisi."
Naya berkata pelan di depan Yudit Asmaradana yang tengah serius mencatat sesuatu di sebuah buku agenda.
"Selamat siang."
Yudit tersadar ada orang yang berada di depannya dan segera beranjak dari tempat duduknya, kemudian menundukan kepala sejenak menyambutnya.
"Selamat siang." Naya membalas sapaan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Yudit ramah perihal kedatangan Naya di lantai 10 yang jarang dilewati karyawan ini.
"Ah.. ini.. saya harus mewakili manajer HRD untuk meminta langsung tanda tangan Pak Fazran pada laporannya." Naya menunjukan sebuah map kuning yang dibawanya sedari tadi.
"Baiklah. Kalau begitu akan saya tanyakan dulu pada Pak Fazran."
Yudit kemudian menghubungi Fazran melalui line telepon yang tersambung langsung pada atasannya itu dan terlibat pembicaraan. Beberapa saat kemudian pria itu kembali berbicara pada Naya untuk langsung masuk ke dalam dan menyerahkan langsung laporan tersebut tanpa harus menitip pada Yudit untuk memintakan tanda tangan.
Naya tentu terkejut akan penjelasan Yudit, Naya kira dia hanya harus menitipkan map itu pada Yudit untuk kemudian meminta tanda tangan Fazran, karena memang prosedurnya demikian. Tapi dia mencoba berpikir, bahwa mungkin karena isi dari laporan yang memuat hal penting soal data karyawan yang terbaru untuk bisa diolah secepat mungkin untuk kepentingan mutasi dan lain-lain usai pergantian pemimpin, membuatnya harus langsung meminta tanda tangan itu kepada atasan tertingginya.
Naya menghela nafas di depan pintu dengan tinggi yang dua kali lipat ketimbang tinggi badannya. Tak pernah sekalipun ada di bayangannya bahwa suatu saat nanti ia akan bertemu lagi dengan Fazran dan dengan keadaan dia menjadi bawahan dari pria itu. Bekerja untuknya dan terlibat dalam situasi seperti ini. Namun apapun itu, Naya harap semua ini tidak berdampak kepada kehidupan sehari-hari yang sudah lama dia lakukan. Dirinya tidak ingin ada perubahan apa pun mengenai hidupnya sekarang, sekalipun pria itu kembali lagi.
Suara yang mengatakan 'masuk' terdengar usai Naya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu dan sangat mengkilap di matanya.
Naya meraih knop pintu dan menggerakannya ke bawah dengan pelan. Pintu kemudian terbuka dan langsung menampakan isi dari ruangan yang sama sekali belum pernah di lihatnya karena dia tidak pernah berurusan dengan para petinggi perusahaan apalagi semacam Yudit Asmaradana, paling-paling hanya kepala divisi saja, itu pun jarang. Dia kemudian membukanya lebih lebar lagi, dan tampaklah ruangan yang luas dengan furnitur yang serba gelap khas lelaki dan nampak kaku dari segi perabotannya yang dominan warna gelap terutama hitam.
Setelah matanya memutari ruangan itu, dia kembali melarikan matanya pada objek yang berada di sisi kiri ruangan itu. karena bentuk ruangan yang memanjang itu di bagian kanan dia melihat sofa dan meja yang pasti diperuntukan untuk tamu yang datang, lemari pajangan serta rak buku dan gantungan jas disebelah rak, lalu kembali ke sisi kiri ruangan, disana dia melihat pria itu, Fazran Azri Gunayudha, DIREKTUR UTAMA nya tengah membaca dengan fokus kertas yang ada di hadapan pria itu. Tidak segera melihat siapa yang masuk ke dalam ruangannya, bahkan ketika Naya bisa mendengar langkah kakinya sendiri dengan sangat jelas karena suasana yang sepi.
"Selamat siang, pak."
Naya berhenti melangkah dengan jarak 1 meter dari meja kerja Fazran dan menyapa pria itu. Menundukan kepalanya lalu kembali memandang pria yang pernah menghabiskan waktu dihidupnya itu. Tapi sayangnya itu sepertinya bukan kenangan yang berarti bagi pria itu karena pria itu sepertinya tidak mengenalnya.
Berhentilah bermonolog soal pria itu, Naya... dia bahkan nggak peduli sama kamu lagi. Naya tertawa miris pada dirinya sendiri yang menyedihkan karena masih saja harus terpikir tentang Fazran.
"Silahkan duduk di sofa."
Naya terperanjat terkejut ketika dia melihat Fazran sudah berada di hadapannya dengan jarak yang dia kira sangat dekat sampai dia bisa melihat warna mata pria itu dengan jelas. Lalu setelah membuatnya terkejut Fazran berlalu dari hadapannya dan duduk di sofa yang tadi dia katakan.
Naya berjalan mengikuti Fazran dan mengambil duduk di sofa single yang berada di sisi kanan Fazran. Lalu keadanya menjadi hening. Dia ataupun Fazran belum ada yang bersuara. Fazran yang terlihat fokus pada ponsel pintar berlogo apel yang pastinya keluaran terbaru serta Naya yang tertunduk sembari memainkan map yang ada ditanganya dengan gugup.
"Anda tidak ingin mengatakan apapun tentang tujuan Anda kemari?" tanya Fazran dengan masih fokus pada ponselnya dan nada bicara yang datar.
Nada bicara yang entah kenapa membuat Naya merasa tercubit hatinya.
"Iya pak.. mm.. saya mewakili manajer HRD, Pak Prabu, untuk menyerahkan laporan mengenai peraturan perusahaan yang terbaru untuk mendapat pengesahan," tutur Naya, dia kemudian menyerahkan map yang sedari tadi di bawanya kepada Fazran yang sudah meletakan ponselnya ke atas meja dan mulai menyelami laporan tersebut.
Selama itu, Naya terdiam dengan matanya yang menekuri wajah Fazran. Pria itu memang tampan, untuk ukuran orang Indonesia asli, pria ini sangat tampan. Matanya yang tidak terlalu sipit dan memancarkan sinar sayu yang bisa membius wanita manapun, hidung mancung nan lancip serta bibir tipis yang belum pernah Naya temui berada di wajah pria lain, serta garis rahang yang tegas. Pria itu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama saat dia masih sekolah SMA. Dia menyukai Fazran yang lebih tua 3 tahun darinya kala itu. Pembawaan yang ramah dan aura pria itu yang bisa membuat orang jatuh cinta dalam sekali bertemu saja.
Dan itu yang terjadi padanya. Dan Naya bertanya-tanya, apakah dia sebodoh itu terjebak pada pria yang nyatanya saat ini sudah membuangnya di hari pertunangan mereka dulu?
Naya tidak tahu. Meskipun pria itu sudah menyakitinya, membuang bayang-bayang mengenai pria itu lah yang belum pernah berhasil dilakukannya. Dia hanya mencoba untuk tidak memikirkan pria itu, namun nyatanya saat pria itu muncul kembali di hadapannya, segela kenangan kembali menyeruak memporak-porandakan otaknya. Dia merasa kalah soal itu.
Lamunan Naya terhenti ketika dia mendengar suara pintu terbuka dan disana, berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian yang modis dan tubuh tinggi semampai yang tersenyum dengan riangnya.
"Mas Fazran!" panggil wanita itu yang membuat atensi Fazran berubah dari melihat laporan di tangannya menjadi melihat seutuhnya pada wanita cantik tersebut.
"Oh...kamu sudah datang?!"
Naya mendengar pria itu dengan antusias menanggapi wanita itu. Dan kini dia penasaran, apa hubungan wanita itu dengan Fazran melihat gestur mereka yang santai dan penuh keakraban. Sampai kemudian wanita itu berjalan mendekat kearah mereka atau lebih tepatnya ke arah Fazran dan menyentuhkan tangannya di rahang pria itu lalu mendekatkan wajahnya untuk mengecup pipi kanan Fazran.
Dan dari situ Naya tahu dengan jelas apa hubungan kedua orang yang sepertinya mengabaikan dirinya yang terduduk dengan sekali lagi hatinya yang terasa tercubit.
///