3 | Sebuah Tanda Tanya

1342 Words
Naya duduk termangu di depan layar komputernya yang menyala, kedua matanya memandang kosong ke depan seolah baru saja melihat hal mustahil terjadi di abad serba canggih ini. Tapi memang benar dirinya baru saja melihat pemandangan paling tidak dia duga akan terjadi pada kehidupannya saat ini. Fazran Azri Gunayudha, Direktur Utama baru di perusahaan tempatnya bekerja itu adalah seseorang yang tidak ingin dia lihat bahkan di kehidupan Naya selanjutnya. Cerita masa lalunya bersama pria itu jelas tak bisa dikatakan pantas untuk dikenang, apalagi dinilai baik-baik saja. "Astaga!" Naya terperanjat dari lamunannya kala mendapat tepukan lumayan keras di pundaknya. Dan dia menadapati Danita yang menjadi pelaku utamanya, sayangnya wanita itu justru yang menatap marah padanya. "Napa sih?" decak Naya, dia mengusap bagian pundaknya yang terasa kebas setelah dipukul oleh rekannya itu. "Ck! Lo ngelamun dari tadi, udah jam makan siang pun lo tetap nggak nyadar.. gue panggil-panggil juga!" Danita berkata dengan nada kesal karena temannya itu sangat lambat padahal di kantin sana ada pertarungan untuk bisa mendapat meja yang tak jauh dari meja tempat direktur mereka biasa makan di kantin. "Lo mau makan siang atau nggak?" tawar Danita dengan cemberut karena kekesalannya tak ditanggapi oleh Naya yang selalu saja mempunyai stok wajah pokerface. Dan semakin kesal saat Naya tak menanggapi tawarannya malah langsung bangun dan meninggalkannya yang masih berdiri di kubikel Naya. Mereka berdua akhirnya berjalan bersisian dengan sesekali obrolan timbul di antara mereka berdua. Kantin yang selalu menjadi tempat favorit memang semakin ramai, lorong-lorong bahkan terisi oleh beberapa karyawan yang hanya ingin berdiri menikmati pemandangan di tempat yang dibatasi oleh kaca, dan mengarah ke taman kota yang berada tepat di sebelah gedung ini, sembari minum kopi atau teh dalam gelas kertas yang bisa mereka nikmati gratis. 2 wanita ini mendapat banyak perhatian selama mereka berjalan, selain sama-sama cantik, mereka juga terkenal di kalangan pria. Mungkin Danita saja yang terkenal di kalangan pria, karena sifat wanita itu yang supel dan ramah, beda dengan Naya yang selalu menanggapi dingin perhatian lawan jenis. Jadilah pengemar Naya hanya bisa memandanginya dari jauh karena tak mungkin menggapai salah satu wanita cantik di kantor mereka itu. Dan sudah menjadi rahasia umum pula jika Naya bahkan tidak pernah menanggapi pendekatan atau seseorang yang hendak menyatakan perasaan padanya. Selain dingin, dia juga tertutup untuk urusan asmara, namun justru itu yang membuat pria-pria di kantor merasa penasaran dan tertantang untuk menaklukan sekaligus melelehkan dinginnya es dalam hati Naya. Sampai di kantin mereka terkejut mendapati meja kantin yang penuh oleh karyawan yang didominasi wanita. Apalagi Danita yang merasa panik melihat tidak adanya meja terdekat dengan meja boss mereka yang masih kosong. Ini bencana. Batin gadis itu, merasa kesempatanya mendekati sang direktur pupus sudah siang ini. Dan dia juga baru sadar bahwa Naya baru saja meninggalkannya untuk mengambil makan siang. "Lo kok ninggalin gue, Nay?!" tanya Danita dengan bibir maju dan merengutkan wajahnya pada Naya yang berdiri di sebelahnya, yang tengah mengisi berbagai lauk ke dalam wadah makannya. "Lo lambat, dan gue udah laper. Lo lihat sendiri sekarang kita kudu nyari kursi yang masih kosong," Naya menghela nafasnya melihat keadaan yang ramai bukan main, keadaan yang sangat berbeda dengan biasanya. Dia menghela nafasnya dan hendak beranjak dari kantin dan mencari tempat makan lain di sekitar gedung kantornya, sebelum kemudian suara seseorang memanggil namanya dan nama Danita. Naya menoleh pada Danita dengan bingung saat melihat siapa yang memanggilnya, namun dua tampak tidak familiar dengan seorang itu. Danita menaikan sebelah alisnya bertanya pada Naya yang di jawab gelengan olehnya. "Silahkan duduk bersama kami saja," kata seorang pria bersetelan jas warna cokelat dan tampan seraya menunjuk dan mempersilahkan Naya untuk duduk bersama di meja yang dia tawarkan. Meja yang berada di balkon gedung perusahaan yang sebelumnya Naya tak pernah mendapati jika di sana boleh digunakan untuk makan dan sebelumnya, pun tidak ada meja dan 4 kursi yang mengelilinginya di sana. Selama Naya terheran-heran, Danita sudah menjerit histeris saat menyadari siapa yang duduk membelakangi posisi mereka saat ini. "Ki-kita kesana?" tanya Danita pada asisten Direktur Utama mereka dan dia baru menyadarinya. Dia Yudit Asmaradana, Asisten Direktur Utama yang juga sama gantengnya dengan si Direktur Utama mereka, yang saat ini duduk dan sibuk menyantap makanannya. Naya merasa lengannya ditarik dan dia hanya bisa pasrah saja saat Danita sudah menyeretnya untuk menyetujui tawaran Yudit. Setidaknya dia masih bisa makan di kantin dan tidak membuang uangnya begitu saja. Karena dia harus berganti tempat makan, padahal dia belum memakan apa pun yang ada di wadah makannya.  Namun apa yang dibayangkannya karena sudah lega bisa menemukan tempat duduk dan harapan untuk bisa makan dengan tenang, lenyap seketika saat dia menyadari pemilik punggung yang kini jaraknya hanya 1 meter dari tempatnya berdiri terpaku. Dan saat pemilik punggung itu menoleh, dia semakin menjejakan kakinya di lantai seolah tak ingin bergerak mendekat seinci pun agar tak bisa semeja dengan pemilik punggung itu. "Ada apa, Nay?" tanya Danita karena merasa beban tangannya memberat dan saat dilihatnya ke belakang, ternyata Naya berhenti berjalan dan malah sibuk mengamati bagian punggung Direktur Utama mereka. Naya menoleh pada Danita dengan bibir masih terkatup bingung untuk melakukan apa pun saat ini. Di hendak pergi saja saat itu setelah otaknya berpikir cukup keras mencari jalan keluar, namun sebuah suara yang tertangkap oleh telinganya spontan membuatnya berhenti melakukan apapun saat itu. "Makan saja di sini." Hanya empat kata, namun efeknya bagi Naya seperti disiram oleh air es. Dia membeku, sampai beberapa detik kemudian Danita menyeretnya lagi dan menyuruhnya duduk tepat-TEPAT-di hadapan pemilik suara yang masih dihafalnya setelah sekian lama sia tidak mendengarnya lagi. Danita duduk di sisinya dan berhadapan dengan pria yang menawarkannya untuk duduk di meja ini. Dan setelah berpikir lagi, Naya ingat siapa pria ini. Pagi tadi dia melihat pria ini berjalan bersama Fazran saat memasuki gedung kantor ini, mungkin pria ini asisten Fazran- maksudnya Direktur Utamanya. Atau mantan kekasihnya? Mantan kekasih yang masih terus terkenang di hatinya? Naya masih saja terdiam di tempat duduknya dan belum memulai acara makan siangnya padahal tadi dia mengeluh lapar. Itu karena saat ini kedua matanya tengah terfokus untuk menatap seseorang, yang tak disangkanya akan kembali muncul di kehidupannya setelah sekian lama. Setelah berbagai hal menempa Naya hingga seperti ini, usai pria itu meninggalkannya dengan kenangan pahit 4 tahun yang lalu. Fazran mendongakkan kepalanya ketika dia merasa wanita di depannya, sepertinya terlalu menancapkan atensi padanya dan membuatnya sedikit terganggu. Matanya bertemu dengan mata indah wanita itu, coklat terang sesuai dengan warna rambutnya dan make up yang natural membuat wajah itu tampak sangat indah untuk dilihat. Namun kemudian dia memutuskan tatapan mereka dan kembali menyantap makannya tanpa perduli Naya yang merasa tertampar saat itu, melihat Fazran seperti tidak perduli dengan dirinya yang saat ini bahkan duduk di hadapan pria itu. "Kenapa?" tanya Danita ketika melihat Naya yang hanya terdiam dengan menatap kosong pada piringnya. Dia menyenggol lengan Naya pelan dan berhasil meraih kesadaran wanita yang duduk di sampingnya itu. Naya tersenyum membalas pertanyaan Danita. Dia lalu mulai menyantap makanannya dengan mengunyahnya pelan. Di meja itu juga suasana nampak hening, apalagi bagi Danita yang merasa antusias sekaligus gugup bisa semeja dengan bos nya itu. Mulut cerewetnya tiba-tiba saja terkunci dan tidak mau mengeluarkan celotehan sebagai teman makan siang. "Kalian dari bagian apa?" tanya Fazran yang seketika bisa membuat Naya dan Danita menghentikan gerakan mereka dan menatap pada Fazran. Naya sejenak terdiam dan kemudian menoleh pada Danita. "Kami dari divisi HRD," jawab Danita dengan sopan diiringi senyum ramah, beda dengan Naya yang masih betah membisu. Fazran mengangguk mengerti dan melanjutkan makannya kembali. Namun beberapa saat kemudian dia bersuara lagi. "Siapa nama kalian?" tanya Fazran lagi. Danita segera menjawab pertanyaan bos mereka itu dengan berdiri dan membungkukan badannya seraya memperkenalkan diri. "Perkenalkan, saya Danita Kalila, dari divisi HRD." Setelah memperkenalkan diri di hadapan Fazran, Danita kembali duduk di kursinya dan kembali menyenggol lengan Naya yang kembali terdiam dan saat ini menatap pada bos mereka yang menunggu Naya untuk memperkenalkan diri. Fazran menaikan alisnya bermaksud untuk memerintah Naya memperkenalkan diri setelah Danita yang pertama tadi. Namun wanita itu masih duduk terdiam di kursinya seraya menatapnya. Naya tersadar dari segala pikiran yang menyeruak di otak dan benaknya yang terasa kacau saat ini. Dia kemudian memutuskan menunduk usai menatap Fazran dengan sangat intens untuk memastikan bahwa apa yang terdengar di telinganya itu adalah nyata atau tidak. "Dia tidak mengenaliku?" gumam Naya lirih, yang pastinya hanya dirinya saja yang mendengar suaranya itu. . ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD