Sesampainya di tempat pertama, Tita dan Dinar segera turun. Dia menanyakan ke salah satu pegawai di sana.
"Mas, tanya-tanya sebentar boleh?" tanya Dinar.
"Boleh, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan cafe.
"Ehm, lihat cewek ini nggak dua hari belakangan ini?" tanya Dinar dan Tita segera memberitahukan gambarnya.
"Cewek ini? Dia sering ke sini, kok. Tapi, beberapa hari belakangan saya tak pernah melihatnya. Atau mungkin pas beda sift juga nggak paham ya, Mbak. Nanti, coba yang sift malem jam tujuhan, Mbak. Soalnya kebetulan mereka itu pas minggu kemarin sift pagi sampai sore. Barang kali ada yang melihatnya," jawab pelayan cafe itu dengan ramah.
Dinar menoleh ke arah Tita. "Kita ke sini lagi nanti, gimana?"
Tita pun menganggukkan kepala tanda ia menyetujui apa yang diusulkan oleh Dinar. Mereka pun segera pergi dan menuju ke tempat lain. Mereka menghampiri ke semua tempat yang mereka ketahui kalau pernah dikunjungi Dewi, tetapi hasilnya mengecewakan. Ternyata Dewi beberapa hari belakangan tak terlihat datang ke sana.
“Terus, kita harus ke mana lagi, Din?” tanya Tita.
Dinar hanya bisa mengedikkan bahunya, seba dia juga bingung harus ke mana lagi. Kemudian mereka memutuskan untuk pulang, sebab dia tak paham dengan keadaan saat ini. Dewi hilang bak ditelan bumi, tanpa ada jejak dan bukti tang tertinggal satu pun. Saat di dalam mobil, mereka masih menduga-duga perihal kepergiannya. Dewi bukan tipikal orang yang lari pada saat masalah menimpanya. Jadi Dinar hanya berpikir dua hal. Kalu nggak diculik makhluk halus, ya diculik manusia. Tetapi, Dinar dan Tita saling mengakui tak pernah melihat Dewi memiliki musuh satu pun.
“Din, kalian sama siapa saja pas pergi itu? Apa kalian foto menggunakan ponsel yang sama?” tanya Tita.
“Nggak, sih. Semua dari kita punya dokumentasinya. Kami foto cuma beberapa doang, memang kami sengaja ingin liburan begitu. Memangnya kenapa?” tanya Dinar.
“Apa nggak sebaiknya kalian berkumpul begitu, untuk membicarakan perihal hilangngnya Dewi. Ada yang aneh nggak sih, menurutmu? Kalau Dewi hilang diculik makhluk astral, kenapa motornya juga nggak ditemukan. Apalagi, katamu tadi masih bisa menghubungimu.” Tita menghela napasnya.
“Terus?” anya Dinar penasarang dengan usulan Tita itu.
“Ya, bisa saja di salah satu dokumentasi kalian ada seseorang yang mencurigakan begitu. Apa waktu berangkat atau pulang, kalian diikuti sama orang begitu?” tanya Tita.
Dinar tampak memikirkan suatu hal sembari tetap melajukan mobilnya.
“Bagaimana?” tanya Tita.
“Nggak tahu, ya. Toh, masalahnya apa coba, begitu loh?” tanya Dinar tampak bingug dan penasaran menjadi satu.
“Namanya orangkan nggak tahu, sih. Mungkin, ada orang yang nggak suka sama Dewi atau ke pasangannya begitu. Atau mungkin, ada orang yang nggak suka dengan hubungan Dewi dan calon suaminya. Kalau nggak begitu, ya iri dengan perkerjaannya,” ujar Tita penuh dugaan.
Dinar pun menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke arah jalanan.
“Eh, kenapa kamu bisa sejernih itu sih, Ta? Sumpah, aku nggak pernah kepikiran sampai ke situ, loh,” ujar Dinar.
“Namanya juga mendug-duga, Din. Orang nggak ada yang tahu. Kelihatannya baik dan tak terjadi apa-apa, justru itu menjadi ladang orang tak enyukai Dewi itu.
“Iya juga, ya. Semoga Dewi nggak kenapa-napa, ya? Nanti, aku coba bicarakan kepada yang lain. Soal hilangnya Dewi nggak ada yang tahu, loh,” ujar Dinar memberikan pengakuan.
Sesampainya mereka di kos-kosan, Tita segera turun.
“Aku langsung balik saja, ya. Nanti aku coba ajak yang lain bicara, deh.” Dinar memutuskan untuk berpamitan pulang.
“Iya, Din. Hati-hati, ya.” Tita melambaikan tangan, mengiringi kepergian Dinar menjauhinya.
Dinar melajukan mobilnya secara perlahan. Dia masih nggak habis pikir dengan Dewi. ‘Kamu ke mana sih, Wi? Apa iya, ada orang yang nggak menykaimu, sih. Apalagi kamu berada di perantauan seperti ini. Nggak bisa bayangin, bagaimana sedihnya oran tuamu.’
Saat melewati di salah satu pusat perbelanjaan, Dinar tak sengaja melihat mobil yang digunakan kekasihnya memasuki area di sana.
“Alva? Ngapain dia?’ Dinar bertanya-tanya. Tanpa berpikir panjang, dia memilik masuk ke dalam area perbelanjaan itu.
Dinar memilih mengikuti Alva hingga masuk area parkiran. Tampak dari kejauhan mobil itu terparkir tepat di pojok area parkiran itu. Dinar yang awalnya emilih untuk tetap di mobil harus merasa penasaran sebab Alva tak kunjung keluar dari mobilnya itu.
“Dia ngapai, sih? Perasaan nggak keluar-keluar?” gumam Dinar.
Dia memilih keluar dari sisi yang tak terlihat dari pandangan mobil yang digunakan Alva. Dinar berjalan perlahan menuju mobil Alva, tetapi kenyataan pahit yang harus tampak di depan matanya. Kaca mobil mereka terbuka sedikit dan terlihat Alva bersama wanita lain sedang berciuman. Dinar hanya terpaku kala menatap mereka berdua seperti itu. Dia tak menyangka, jika lelaki yang selama ini selalu ia bela kala di hadapan keluarganya berbuat seperti itu.
Dinar tak sanggup memungkiri, jika lelaki yang ia sayangi saat ini bekhianat. Dia tak sanggup berkata apa-apa, selain menitikkan air mata. Ternyata, posisi Dinar yang tampak jelas membuat wanita yang saat ini bersamanya mengetahuinya.
“Heh, kamu! Nggak sopan, apa di sana?” hardik wanita yang saat ini bersama Alva.
Alva sontak menoleh ke arah Dinar yang sedang berdiri di luar mobil yang ia gunakan. Alva dengan cepat membuka pintu dan menghampiri Dinar.
“A-anu, jangan salah paham dulu. Aku bisa jelaskan.” Alva menocba merengkuh tubuh Dinar, tetapi bisa dielak olehnya.
Wanita yang bersama Alva pun keluar mobil dan menghampiri mereka berdua. “Sayang, ngapai, sih?”
Hati Dinar semakin sakit, kala mendengar panggilan sayang dilontarkan wanita kepada lelaki yang ia cintai itu.
“Diam!” bentak Alva.
“Sayang, aku bisa jelaskan. Ini semua tak seperti yang kamu lihat.” Sudah dengan jelas seperti itu, Alva yang malah masih mencoba mengelaknya.
“Kamu kira aku bodoh, hah? Aku ini nggak buta. Kamu kira, ciuman mesra kalian itu salah paham?” Dinar tertawa di tengah tangisnya. “Hahaha, selamat kamu berhasil membuat aku terluka. Terima kasih, kamu sudah menujukan ini semua saat ini. Syukurlah, hal itu yang membuat aku dengan pasti ingin mengatakan, aku mundur. Aku kalah dalam permainan ini.”
Wanita tak tahu diri itu malah menarik tangan Alva dengan manja. “Sayang, kita pergi saja, yuk. Ngapain urusin wanita cengeng ini?”
“Kamu apa-apaan, sih?” Alva melepaskan tangan wanita itu dari tangannya dengan kasar.
“Hahaha, nggak perlu kalian yang pergi, biarkan aku yang pergi dari sini. Sebelumnya terima kasih banyak kepada Mbaknya, sebab sudah mampu membuat lelaki yang ada di hadapan saya saat ini mampu berpaling ke Anda.” Dinar hanya menyeringai, tetapi tak bisa menutupi kesedihannya sebab masih terlihat dengan jelas air mata tetap turun dengan derasnya dari mata Dinar.
“Syukurlah kalau kamu mengerti. Silahkan pergi!” wanita itu dengan angkuh mengusir Dinar dari hadapannya.
Bukannya berbalik badan, justru Dinar berjalan menuju mobilnya. Dia meraih kunci mobilnya di sana.
“Heh, kamu apa dengan mobil pacarku itu?” wanita itu melarang Dinar mengambil kuncinya sendiri.
Sontak Dinar tertawa terbahak-bahak. “Bilang ke pacarnya, Mbak. Kalau pacaran itu modal duit, bukan modal berbual,” hardik Dinar.
Dinar mengunci mobilnya, lalu melangkahkan kakinya menuju dari mereka berdua. Terlihat tak ada sama sekali Alva melarangnya dan mencoba membela wanita yang ada di dekatnya itu.
“Sayang, kamu kok diam saja, sih? Mobil kamu dibawa dia itu, loh.” Wanita itu tetap kekeh mencoba memperingatkan Alva.
“Diam! Itu memang mobil dia,” jawabnya dengan nada tinggi.
Wanita itu pun melongo dan tak menyangka dengan apa yang dilontarkan kekasihnya itu. “Jadi, mobil itu milik dia?”
“Iya, memang mobil itu milik dia. Puas?” bentak Alva.
Plak!!
Tamparan keras mendarat ke pipi Alva saat itu juga. “Apa-apaan kamu?” tanya Alva sembari memegangi pipinya yang kesakitan.
“Kau b******k, dasar lelaki kere. Kau ternyata tak modal!” wanita itu pun berangsur pergi meninggalkan Alva sendiri.
Alva hanya bisa mengumpat dengan kejadian saat ini. "Sial, kenapa harus bertemu dengan Dinar, sih? Nggak ada gudang uang buatku lagi, dong."
Bukannya dia merasa bersalah, malah justru ia bingung untuk mencari celah agar Dinar mau kembali bersamanya. Alva dengan terpaksa pulang menggunakan angkotan umum, sebab tak tahu harus menggunakan apa lagi. 'Din, nggak akan aku biarkan kamu meninggalkan aku dengan mudahnya. Kamu harus tetap menjadi milikku seutuhnya.'