bc

Keyra's INDIGO

book_age18+
913
FOLLOW
7.2K
READ
tragedy
supernatural
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Warning!! Jangan lupa tap love sebelum membaca.

Keyra dia gadis kecil nan cantik. Dia anak yang pemberani dan bertingkah lebih tegas dari usianya. Memiliki kemampuan supranatural, tak menghalangi dia untuk melakukan aktivitas dan prestasinya. Dia memiliki dua teman kecil yang selalu melindunginya kala orang lain hendak mencelakainya.

chap-preview
Free preview
Bab 1
Halo, namaku Keyra. Saat ini, usiaku sembilan tahun. Aku anak dari Mama Dita dan Papa Andre, mereka menyebutku anak reinkarnasi dari teman Tante Dinar yaitu Keyla. Entah itu hanya kebetulan atau memang benar, aku juga tak mengerti. Mereka memberiku nama Keyra sebab kemauan Tante Dinar yang super resek dan nyebelin itu. Tetapi, kata mereka aku jauh berbeda dari Almarhum Tante Keyla. Tante Keyla yang dulunya takut akan kelebihannya itu, malah berbanding terbalik denganku anak yang asal ceplos dan pemberani. **** Katanya, setahun setelah musibah yang menimpa keluarga Tante Keyla dan merenggut nyawa semua orang yang berada di sana, aku pun lahir. Namun, tak hanya itu saja, dua hari sebelum aku lahir yang katanya Tante Dinar dan mama juga bermimpi di datangi Tante Keyla. Dia menggunakan baju dan hijab serba putih, lalu tersenyum ke arah mereka. Apa mimpi mereka sama? Ya, mereka menyebutnya seperti itu. Aku hanya percaya saja, toh nggak ada gunanya aku mengelak. Apa aku menerima keadaan ini? Ya, sangat menerimanya. Bahkan aku bangga akan kelebihan ini, yang bisa membuatku lebih waspada. "Rara, apa kamu minder dengan kelebihanmu?" tanya Tante Dinar waktu itu. "Enggak," jawabku dengan singkat. Tante Dinar yang selalu bersikap gemes saat di dekatku, sontak mencubit pipiku yang sedikit chubby. "Sini, aku bantu kuncir rambutmu," ujar Tante Dira sembari meraih sisir yang tak jauh dari tempatku duduk. Aku hanya nurut dengan dia, sebab biasanya memang dia yang membantu mamaku untuk mengurus keperluanku kala mama sedang sibuk. Tapi, memang Tante Dinar orangnya yang resek dan selalu ngerjain aku, malah dia menguncirku dalam jumlah banyak. "Ma, adikmu ini mendzolimi aku!" teriakku, ke mama yang saat ini berada di dapur. Tante Dinar bukannya minta maaf, malah tertawa terbahak-bahak. "Din, jangan dijailin lagi, lah. Nggak pengang apa, setiap pagi dengerin Rara teriak-teriak terus," tegur mama dari dapur. "Week! Rasain, buruan rapihin. Jadi ke makam, nggak?" tanyaku. "Jadi, sini aku benerin rambutmu. Masih kecil aja rambut kamu panjangin, Ra. Dipotong sebahukan lebih cantik," ujar Tante Dinar. "Ogah, nanti yang ada kau panggil aku dora lagi kaya waktu lalu," jawabku. "Buset, ini anak. Ingat mulu, kejadian sudah lama juga," ujar Tante Dinar. "Enggak mau! Aku tahu, jiwa julidmu masih meronta-ronta. Tanyakan saja sama papa dan mama." Aku pun ngeyel. Mama saat bersamaan datang menghampiri. "Ya Allah, Din. Kamu apain, sih? Kepala penuh kuncir semua ini anak," ujar mama sembari tertawa. "Tahu, tuh. Dikira kaya orang tanam padi apa, banyak ikatannya," ujarku dengan ketus. Lagi-lagi, Tante Dinar hanya tertawa terbahak-bahak. Bukannya dia merapikan, tetapi malah terus-menerus tertawa. "Sudah, sini sisirnya. Panggil mama di halaman belakang, kita makan bersama-sama," perintah mama ke Tante Dinar. Tante Dinar pun memberikan sisir itu ke mama, lalu dia berjalan menuju halaman belakang memanggil nenekku. Tetapi, sebelum dia pergi selalu saja mencubit pipiku. "Ma! Tante, tuh," ujarku sembari cemberut. Tante Dinar dari kejauhan masih melet mengejekku. Aku sengaja memalingkan wajahku, agar tak melihatnya. "Papa, ikut ke makam Tante Keyla nggak?" tanyaku ke mama. "Ikut, dong. Apa kamu aja, di rumah sama Nenek. Biar Papa, Mama dan Tante Dinar saja yang pergi," jawab mama. "No, aku ini wajib ikut. Sekalian beli cat air ya, Ma. Soalnya habis," ujarku, sembari merayu mama. "Bukanya waktu kemarin berangkat les, dibeliin sama Tante?" tanya mama. Aku hanya menggarukkan kepala sembari tersenyum, sebab mau jawab takut dimarahin. "Habis?" mama memperjelas pertanyaannya. "Hehehe, iya Ma. Beli, ya?" rayuku. Mama pun menganggukkan kepala. Oh, iya hobiku melukis. Bahkan semua yang terlintas di otakku atau pun mimpi, pasti aku gambar penampakan itu. Untuk apa? Ya, nggak tahu juga alasannya. Toh, itu membuat aku lebih bahagia. Bahkan lukisanku itu, laku jutaan rupiah. Mungkin ada yang tanya, apa ada temanku yang menjauh gara-gara kelebihanku? Aku jawab, No. Mereka menikmati, memiliki teman sepertiku. Bahkan satu kelas, bukan hanya aku saja yang bisa melihat makhluk lain. Ada satu anak lain yang bisa, walaupun kemampuan kita bisa dikatakan jauh berbeda. Setelah selesai makan, kami hendak pergi ke makam Tante Keyla. Tapi, masih menunggu mama dan Tante Dinar membereskan sisa makanan tadi. "Ma, aku nunggu di teras, ya?" ujarku. "Iya, Ra. Di teras aja, jangan ke mana-mana," pesan mama. Aku berjalan menuju pintu utama sembari berkata, "Siap, Ma." Aku meraih bonekaku, yang sebelumnya aku taruh sofa yang tadi Tante Dinar menguncir rambutku. Kemudian melangkahkan kaki menuju teras. Aku sengaja duduk di lantai, sembari berbicara sendiri mengayunkan bonekaku. Tetapi, saat sedang asik main, tiba-tiba ada suara yang begitu aku kenal datang menghampiri. "Halo, Rara yang cantik," ujarnya, sontak aku menatap ke arah sumber suara itu. Terlihat begitu jelas cowok tinggi, putih, tampan, memakai kaos berwarna hitam dan celana jeans navy. Dia adalah Om Alvaro, pacarnya Tante Dinar. Walaupun dia bersikap manis, lembut dan sok baik terhadapku, bukan berarti mengubah pendirianku untuk menyukainya saat berada di keluarga kami. "Mau apa, Om? Kami mau pergi!" ujarku dengan ketus. Bukannya pergi, dia malah semakin mendekat dan bahkan duduk tepat di sampingku. Lalu berkata, "Cewek cantik nggak boleh judes, loh. Nanti cantiknya hilang." Seketika aku memalingkan wajah dari dia. "Pulang saja, kami mau pergi!" usirku lagi. "Om, boleh ikut?" pintanya. Aku pun menoleh, sembari menjawab, "No, you better get out of here! Now!" (tidak boleh, lebih baik kamu pergi dari sini! Sekarang!) Namun, sebelum Om Alva menjawab malah mama dan Tante Dinar membuka pintu. "Eh, sayang. Baru datang?" tanya Tante Dinar, menghampiri Om alva sembari cium pipi kanan dan kiri. Mereka pacaran belum cukup lama, tepatnya baru menginjak dua bulan. Tetapi, aku melihat Om Alva ini bukan orang yang tulus dan baik ke Tante Dinar. Malah yang terlintas di pikiranku, dia hanya memanfaatkan Tante Dinar saja. "Baru, kok. Bersamaan dengan Rara keluar tadi, tahu kalau Omnya datang," ujarnya sembari tersenyum. Aku menatap Om Alva dengan sorot mata yang tajam. Memang dari awal aku terlihat culas dengan pria pilihan Tante Dinar kali ini, padahal sebelumnya biasa-biasa saja. Bahkan aku tak memberikan respon apapun, untuk alasannya kenapa aku juga nggak mengerti? "Bilang, Tante. Kita mau pergi, dia suruh pulang saja," ujarku dengan ketus. Setelah mendengar ucapanku, mama menghampiri dan membelai kepalaku. "Sayang, nggak sopan bilang begitu. Ayo, minta maaf ke Om Alvaro!" perintah mama dengan nada lembut. "Nggak apa-apa, Mbak. Dia, masih anak-anak belum ngerti," jawab Kak Alva yang selalu mencari muka terhadap keluarga kami. Saat bersamaan dengan ucapan Om Alvaro, papa keluar dari balik pintu rumah. "Eh, ada Alvaro juga. Ikut sekalian, yuk. Sudah sampai sini juga," ajak papa. "Memang aku ajak, Kak. Ayo, berangkat keburu siang," ajak Tante Dinar. Kami segera masuk ke dalam mobil. Om Alva pun ikut masuk ke dalam mobil, sehingga lara perempuan duduk bertiga di kursi belakang. Selama perjalanan mulutku hanya cemberut, sebab tak menyukai suasana yang seperti ini. "Al, kapan nih ngajakin nikah si Dina?" tanya papa. "Eh, anu Kak. Nanti, dululah. Kita masih baru, biar saling mengenal dulu," jawab Om Alvaro. "Kan, baru dua bulan, Kak. Lagian aku juga masih usia 23 tahun," sahut Tante Dinar. "Nggak bakal dinikahi, dia cuma mau main-main doang," gumamku. Seketika Mama, Tante Dinar dan Om Alva menatap ke arahku. Sedangkan papa menatapku dari kaca. "Rara, kok ngomong gitu. Nggak boleh, loh," tegur mama. "Biarin, memang aku benar. Dia aja cuma mau manfaatin, Tante. Tante, kenapa nggak sama Om Dandi aja seperti sebelumnya, sih?" ujarku. "Om Dandi jahat sayang. Om Alva baik, biar Tante bersama Om Alva, ya," rayu Tante Dinar. Aku melirik ke arah Tante Dinar, sembari melipatkan tangan di atas perut. Dalam hatiku berkata, 'tunggu saja, nanti kalau ketahuan barulah nangis-nangis.' Tak berselang lama, akhirnya kami sampai di makam. Kami satu-persatu turun, aku berjalan beriringan dengan mama dan papa. Sedangkan Tante Dinar dan Om Alva bergandengan tangan di belakang kami. Melihat sesuatu yang tak kasat mata adalah hal lumrah bagiku, sehingga saat di makam pun aku berjalan santai seolah tak melihat apa pun. Saat sampai tepat di area pusaran makam Tante Keyla, seketika aku duduk dan menyapanya. "Halo, Tante. Rara datang sama orang tua dan Tante Dinar. Tante, kami mau kirim doa, loh. Tapi ada orang jahat yang ikut," celetukku. "Sayang," tegur papa. Aku menoleh ke arah papa yang sedang berdiri tepat di belakangku. Kemudian melirik ke arah Om Alva, yang saat ini menyunggingkan senyumnya ke arahku seakan-akan sedang mengejekku. Setelah itu, kami semua duduk jongkok dan membaca doa bersama-sama. Namun, pandanganku sesekali masih menatap ke arah Om Alva. Selesai berdoa, kami langsung bergegas pulang. Kami bersama-sama beranjak dari pusaran Tante Keyla dan melangkah menuju mobil kembali. "Ma, jangan lupa beli cat airnya ya?" pintaku. "Bukannya sudah dibeliin sama Tante, kemarin?" sahut Tante Dinar. Aku menggaruk kepala dan tersenyum, sembari menjawab, "Hehehe, habis." "Iya, nanti beli. Kita beli perlengkapan untuk calon adikmu juga, ya." ujar mama. Oh iya, mamaku saat ini sedang mengandung usia delapan bulan. Sebentar lagi, aku punya adik bayi. "Siap, Ma. Dek, buruan keluar ya. Nanti temenan sama Kakak, gambar bareng," ujarku sembari mengusap perut mama. "Wah, dapat seperti Rara lagi, siap-siap sabar," sahut Tante Dinar. Seketika aku menoleh ke arah Tante Dinar. "Kenapa? Aku cantik, pinter gambar. Tante Dinarkan galon, pinter ngumpulin air mata. Hahaha," ejekku sembari masuk ke dalam mobil. "Yang ada resek, macam kamu," jawab Tante Dinar. "Oh, iya Kak. Nanti bisa minta tolong berhenti ke toko sepatu, nggak? Tadi adikku nitip sepatu ke aku," tanya Om Alva. Ayah menganggukkan kepala, sembari menjawab, "Oke, nantikan di dekat toko peralatan gambar ada toko sepatu bagus loh. Kalian ke sana, saja." "Benarkah? Oke, Kak," jawab Om Alva. ☆☆☆ Hai... Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH SAYA IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilan saya? Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan. Lina Agustin

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.9K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
80.2K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
466.3K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
473.7K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
55.1K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
403.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook