Namanya juga usaha, Kak. Nanti kalau udah dapat kerjaan juga nggak baka gantung, kok." Tante Dinar beranjak dari tempat duduknya. Dia selalu merasa kesal kala ada orang lain yang mencoba mengingatkan tentang Om Alva.
Aku dan mama hanya menatap Tante Dinar berlalu. Entah, dari apa yang membuat Tante Dinar seakan-akan tergila-gila dengan Om Alva.
"Ma," panggilku.
"Apa? Tidur, sana. Mama capek, banget. Mau istirahat, nih," jawab Mama, lalu pergi meninggalkan aku sendirian di sofa ini.
___
Sedangkan Dinar yang berada di lantai dasar, langsung menuju kamarnya. Dia meraih ponsel yang ada di atas kasur, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari Dewi di sana. Dinar yang merasa ada hal yang penting akan disampaikan, Dinar sontak menelepon Dewi balik.
Hingga dua panggilan, tak kunjung dijawabnya. Hal itu, membuat Dinar sangat khawatir dengan keadaannya.
"Aduh, Wi. Lu, ke mana, sih? Sampai lima panggilan tak terjawab, aku nggak tahu." Dinar tetap mencoba memanggilnya.
Tanpa menunggu lagi, Dinar bergegas mengambil hoodie yang ada di dekatnya, lalu segera keluar kamarnya. Dia tampak gelisah, hendak mengunjungi rumah Dewi.
"Din, mau ke mana?" tanya ibunya yang kebetulan keluar dari kamarnya.
Dinar pun menoleh, "Aku mau ke rumah Dewi, Bu. Dia beberapa kali telepon aku, tadi nggak aku jawab soalnya nggak tahu. Aku takut dia kenapa-napa, Bu," ujar Dinar.
"Iya, hati-hati. Kunci mobil Ibu di tempat biasa, ya." ibunya memberitahukan.
"Iya, Bu. Aku berangkat dulu." Dinar menjabat tangan ibunya.
Lalu, dia segera berangkat dengan langkah cepat. Langsung masuk ke dalam mobil dan segera melajukannya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Kebetulan teman mas kecilnya yang tinggal stau kota dan masih dekat dengan Dinar adalah Dewi. Mereka kuliah satu universitas yang sama meski tak satu jurusan.
Dewi di sini hidup sendiri, dengan hidup di kos-kosn yang tak jauh dengan universitas tempat mereka mencari ilmu. Sepanjang perjalanan, Dinar tetap mencoba menghubungo Dewi. Dia khawatir, sebab dia hidup sendiri dan tak ada keluarga yang berada di kota yang sama dengannya.
Dewi di sini kuliah di sambi bekerja. Dinar tahu, jika hari ini jadwalnya Dewi untuk libur. Tetap tak ada satu pun panggilan yang dijawabnya.
Dinar memutuskan langsung menghampiri kos-kosannya. Saat di halaman parkirannya, tak tampak sepeda motor milik Dewi.
"Loh, kok nggak lihat motornya Dewi, ya?" gumam Dinar bertanya-tanya.
Dia berlari menuju lantai atas ke kamar Dewi. Namun, saat baru melangkah dari tangga, tiba-tiba bertemu dengan salah satu tetangga kamarnya yang kebetulan antara dia dan Dinar saling mengenal.
"Loh, Din. Mau ke mana?" tanya Tita, tetangga kamar Dewi.
"Ke kamarnya Dewi, nih. Di adakan?" tanya Dinar tampak khawatir.
"Dewi? Bukannya kalian katanya pergi ke pantai itu, dia nggak pulang ke kosannya, kok. Memangnya kamu nggak tahu, kalau dua hari ini dia nggak masuk kerja juga? Kukira dia pulang kampung," jawab Tita.
"Lah, dia selama abis pulang dari pantai nggak bilang apa-apa sih. dia cuma ngeluh, kalau badannya nggak enak aja. Ya aku kira, dia nggak masuk kerja karena sakit aja." Dinar semakin gelisah dengan jawaban Tita.
"Kamu nggak nelepon dia? Coba deh, telepon," tanya Tita juga ikutan panik.
"Nah, justru itu yang buat aku datang ke sini, Tita. Dia tadi telepon aku sampai lima kali, tapi kebetulan aku lagi nggak bawa ponselku. Nah, dari rumah hingga sampai sini akunterus mencoba menghubunginya, tetapi nggak ada jawaban apapun dari dia, Ta. Kita harus ke mana ini?" Dinar meminta pertimbangan kepada Tita.
Tita tahu, jika Dewi sendirian di kota ini. Calon suaminya pun berbeda kota dengannya. Tapi, nggak ada salahnya jika menanyakan dia di sana.
"Coba kamu telepon, calonnya si Dewi aja, Din. Siapa tahu, dia tahu keadaan si Dewi. Biar kita sedikit lega gitu," usul Tita.
Dinar bergegas meraih ponsel yang ada di saku hoodienya, lalu dia berusaha menguhubungi calon suami Dewi. Dengan cepat calon suami Dewi oun menjawabnya.
"Halo, Din. Kenapa?" tanya Aldo.
"Aldo, Dewi sama kamu nggak?" tanya Dinar.
"Loh, kitakan beda kota, Din. Nggak mungkin, dia sama aku sekarang. Ngaco, kamu emang," jawab Aldo.
"Aku beneran tanya, Al. Katanya tetangga kamar kosnya, dia daei dua hari yang lalu nggak pulang. Dia kira juga pulang kampung," jawab Dinar.
"Lah, kok bisa, sih? Tadi dia masih chatan sama aku, loh." Aldo memberikan kesaksian seperti itu.
"Nah, dia juga tadi telepon aku, sampai lima kali. Tapi, sayangnya aku yang berada di lantai dua nggak tahu, kalau Dewi itu telepon, Al. Terus aku harus gimana ini?" Dinar semakin panik.
"Ya sudah, aku tanyakan ke ibunya. Kalau nanti misal dia nggak ada di rumah juga, aku segera berangkat ke kotamu. Jangan sampai tinggalkan ponselmu, biar kita bisa saling kasih kabar," pinta Aldo yang terdengar khawatir.
"Iya, semoga cepat ketemu, ya," ujar Dinar.
Setelah itu, mereka memutuskan panggilanya. Dinar tak tinggal diam, dia terus berusaha menghubungi teman kerja beserta teman kuliah yang biasanya sering main bareng. Dari pengakuan mereka, tak ada satupun dari mereka yang mengetahui keberadaan Dewi.
"Gimana, Din?" Tita tampak semakin khawatir.
Mereka yang saat ini duduk di anak tangga teratas, hanya sanggup saling menatap. Mereka secara tiba-tiba kehabisan ide untuk mencari Dewi.
"Enggak ada yang tahu, Ta. Terus, kita harus bagaimana? Sumpah, terakhir dia bermain ya sama aku dan dua temanku yang lain. Kita berpisah dari rumahku, soalnya mereka terus mengendarai sepeda motor mereka masing-masing untuk pulang. Haduh, gimana ini?" gumam Dinar.
"Biasanya dia sering nongkrong atau pergi ke mana gitu? Apa kita coba lihat tempat itu satu-persatu?" tanya Tita.
"Boleh juga, tuh. Kamu gitu aja, atau ganti baju? Aku tunggu di depan, ya. Jangan lama-lama," pinta Dinar dengan beranhak dari tempatnya duduk.
"Aku ganti aja, sebentar. Sekalian bawakan apa ini?" tanya Tita lagi.
"Udah, gitu aja. Buruan ya, Ta," pinta Dinar.
Dinar pun segera menuruni anak tangga satu-persatu. Dia dengan wajah gelisah, tetap mencoba menghubungi Dewi, tetapi sama tak ada jawaban apapun dari dia. Dia yang panik, tanpa ia sadari sering melihat ke arah jam tangannya.
Saat Tita terlihat, Dinar membuka kaca jendela mobilnya. "Ayo, Ta."
Tita pun segera masuk dan duduk di kursi sebelah kemudi.
"Kita ke mana dulu, ini?" tanya Tita.
"Ehm, Dewi kalau dia sedih atau punya masalah suka ke tempat mana, ya?" Dinar bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Jalan aja duku, Din. Siapa tahu, nanti. Kepikiran atau mungkin ada salah satu tempat ada yang kita lewati," usul Tita lagi.
Dinar segera melajukan mobilnya menjauh. Dia tiba-tiba teringat cafe yang tak jauh dari kampus mereka. Tempat yang mana terlihat asli, sebab ada sawah yang membentang dan kolam ikan di sana. Dewi, sering ke sana agar tak merasa jenuh.
Bahkan, beberapa temannya pun di ajaknya ke sana, agar merasakan ketenangan yang sama. Nggak bisa dipungkiri, selain Keyla, Dewi pun teman yang cukup baik buat dia. Dewi, bahkan satu-satunya anak yang dekat dan hadir dari.masa kecilnya.
Dinar sering saling berkabar dengan dua temannya masa sekolah menengah pertama dulu. Namun, hanya Dewi yang bisa saling bertemu dan bahkan dekat banget seperti terdahulu.
"Punya foro Dewi, kan?" tanya Tita.
"Punya, kok. Buka aja ponselku, memangnya kenapa?" tanya Dinar tampak penasaran.
"Konsumen cafe itu pastikan banyak, nghak mungkin mereka nandain nama yang datang satu-satu. Tapi, kalau foto mungkin ada yang pernah terlintas dalam pikiran mereka," usul Tita lagi.
"Benar juga, sih. Ini, ponselku." Dinar menyerahkan ponsel ke Tita. Kemudian, dia segera mencari gambar Dewi yang jelas di ponselnya Dinar itu.
☆☆☆
Hai...
Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE.
Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB.
Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH SAYA IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilan saya?
Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan.
Lina Agustin