"Gya, Ibu udah bilang sore-sore jangan nongkrong di teras. Masuk dan mandi. Dari pada buat ngobrol gak jelas, lebih baik buat luluran. Kamu itu calon istri bos!"
Gya dan Ravi yang mendengar ucapan Ibu Gya hanya bisa menggelengkan kepala. Hal ini selalu terjadi apa bila Ravi sedang main ke rumah. Atau bisa jadi saat Gya yang sedang main di rumah Ravi. Kadang perilaku Ibu Gya benar-benar membuat Ibu Ravi emosi. Pernah dulu, mereka berdua cekcok dan terjadilah perkelahian. Hal itu terjadi karena Ibu Gya yang melabrak Ravi dengan alasan yang tidak jelas. Seperti alasan agar Ravi tidak menyukai Gya.
"Ya, Bu!"
Ravi yang melihat wajah dongkol Gya hanya bisa terkekeh. Ibu dari sahabatnya ini benar-benar tidak menyukainya. Padahal, rasa yang dia punya untuk Gya hanyalah perasaan dari seorang Kakak kepada adiknya. Jadi, sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Namun, entah mengapa Ibu dari sabahatnya itu benar-benar antisipasi kepadanya.
"Aku pulang dulu. Kalau butuh bantuan, bisa langsung chat aja," pamit Ravi.
Gya mengangguk dengan canggung. Jika Ibu bukan orang tuanya, Gya sudah pasti akan marah kepada wanita paruh baya tersebut. Sayangnya, Gya tidak bisa melakukan apa-apa. Wanita itu adalah Ibunya. Orang yang selalu melakukan hal yang terbaik untuk Gya dan saudaranya. Gya tahu, Ibunya begitu ketat kepadanya karena tidak ingin Gya mengikuti langkah Kakak perempuannya. Gya sendiri adalah empat bersaudara. Kakak pertamanya adalah laki-laki. Seorang PNS yang kerja di bawah naungan BUMN sumber daya. Ibu yang menyuruh Kakak pertamanya itu—Yanuar—untuk menjadi PNS. Karena menurut Ibunya, anak lelaki harus membanggakan. Tidak seperti anak wanita yang didokrin menjadi istri dari pengusaha kaya raya. Kakak Kedua Gya adalah seorang perempuan. Ibunya selalu menyebut Kakak Gya—Hanin—sebagai pembangkang. Bagaimana tidak, Hanin tidak ingin kuliah di jurusan yang membuatnya dengan mudah masuk ke perusahaan bonafit. Hanin lebih memilih menjadi guru. Dan karena Haninlah, Ibu dan Ayah pertengkar dengan sangat hebat. Karena Haninlah Ibu selau mendoktrin Gya dengan ajarannya sedari kecil. Mungkin Ibu tidak ingin Gya dan adik perempuannya berperilaku seperti Hanin.
"Apa yang dilakukan oleh Ravi di sini?" tanya Ibu saat Gya sudah memasuki rumah.
"Hanya bertanya tentang Interview hari ini," jawab Gya dengan malas.
"Kamu harus jauh-jauh dari Ravi. Gak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang murni. Ibu gak mau ya, kalau kamu ada rasa untuk Ravi. Kalau Ravi yang ada rasa itu mah jelas. Anak Ibu ini cantik dan pintar," ucap Ibu memperingatkan.
"Bu, Gya dan Ravi cuma sahabatan. Lagian selama ini yang ngasih info tentang lowongan pekerjaan di perusahaan bonafit juga selalu Ravi. Emang Ibu bisa dapatkan info seperti itu?" tanya Gya dengan tenang.
Ibu hanya bisa merengut. Selalu seperti ini bila Ibu mulai melarang Gya untuk berdekatan dengan Ravi. Meskipun begitu, Ibu tetap selalu berusaha untuk menjauhkan anak ketiganya itu dari anak tetangganya itu. Bagaimanapun, Ibu selalu merasa bahwa Ravi memiliki perasaan yang sudah tertebak. Lelaki yang bekerja sebagai PNS itu selalu memandang anaknya dengan penuh cinta.
"Ibu itu cuma khawatir. Gak mau kamu kayak Hanin yang pembangkang itu. Kamu harus tahu, rencana Ibu itu yang terbaik. Gak ...."
"Baiklah, Bu. Ibu gak perlu khawatir. Gya akan mencoba masuk ke perusahaan bonafid seperti keinginan Ibu," potong Gya. Dia benar-benar tak ingin mendengar ceramah dari Ibunya.
"Ibu cuma ingin yang terbaik untukmu, Gya. Jika kamu menikahi pengusaha kaya, hidupmu pasti terjamin. Kamu tidak akan kekurangan uang. Makanya Ibu menginginkanmu mencari pengusaha. Meskipun tidak harus pemilik perusahaan bonafid itu. Tapi lebih baik lagi jika mereka boss muda!"
Gya menghela napas dengan kasar. Dia melirik Ayahnya yang dengan tenang meminum kopi hitamnya. Seolah-olah tidak ada keributan, Ayah dengan damai membaca koran sorenya. Saat merasa bahwa Gya memandangnya, Ayah hanya bisa mendongakkan kepala dan menggeleng pelam. Tanda agar Gya tidak menjawab lagi agar semua hal ini selesai. Ya, Gya tahu, Ayahnya adalah orang yang lembut. Meskipun begitu, beliau adalah orang yang tegas. Buktinya adalah bahwa Sang Ayah berdiri dengan kokoh di samping Hanin saat kakaknya itu membangkang keinginan dari Ibunya. Hanya saja, entah mengapa Ayahnya tak pernah melakukan hal itu kepada Gya.
"Gya lelah, Bu. Sehabis maghrib akan langsung tidur. Tidak perlu membangunkan Gya untuk makan malam," pamit Gya dengan lesu. Menutup pintu kamar dengan tenang tanpa menimbulkan kegaduhan apapun.
"Kamu lihat anakmu, Pak. Sudah mulai membangkang seperti anak durhaka itu. Inilah kenapa Ibu selalu bilang kepada Bapak agar jangan coba-coba untuk membela anak kita lagi jika mereka salah. Cukup Hanin yang menikah dengan guru honorer itu. Lihat, sampai sekarang kehidupan mereka selalu kekurangan uang seperti ini. Ibu tahu bahwa Bapak sering diam-diam mengirimi mereka uang," hardik Ibu saat melihat Ayah duduk dengan tenang membaca koran.
"Sebagai seorang gadis cantik dan berpendidikan, anak-anak kita harus punya kriteria tinggi untuk pasangan hidup. Makanya Ibu selalu mengajarkan kepada Gya tentang apa yang harus dia lakukan. Apalagi Gya itu sangat cantik. Menggaet hati para pengusaha itu benar-benar akan mudah. Yang perlu Gya miliki hanyalah sebuah kesempatan!"
Selalu seperti ini. Ayah hanya diam saat Ibu mulai menjelaskan misi visinya. Gya yang mendengarkan keributan itu hanya bisa menatap langit-langit kamarnya. Gya selalu berpikir, andaikan Ayah mau berdiri di sampingnya seperti saat berdiri untuk Hanin, apakah dia sekarang sudah bisa menjadi seorang Bidan? Namun, itu hanyalah angan-angan. Ketika Gya tahu bahwa Ibunya mendaftarkannya di jurusan yang tidak dia inginkan, Gya benar-benar merasa bahwa semua mimpinya sudah tertutup. Apalagi melihat Ayah yang hanya duduk sambil menggelengkan kepalanya dalam diam. Benar-benar tidak memberi dukungan apapun.
"Gya sudah melakukan hal yang bisa dia lakukan dengan baik. Ibu hanya perlu menunggu. Lagi pula, kita tidak pernah tahu dengan siapa kita berjodoh," jawab Ayah dengan suara yang tenang.
Gya masih mendengarkan perdebatan ke dua orang tuanya. Lalu, Gya mencoba untuk membayangkan jika dia menjadi Hanin. Meskipun hidup Hanin selama ini bisa dibilang pas-pasan, tapi Gya selalu melihat senyum bahagia Hanin saat mereka bertemu. Apa lagi suami Hanin—Rafa—juga terlihat sangat mencintai Hanin dengan apa adanya. Mereka berdua benar-benar hidup dengan cinta dan kepercayaan dengan satu sama lain. Dan mau tak mau, Gya merasa cemburu dan iri. Gya ingin seperti Hanin. Melakukan semua yang dia impikan tanpa adanya campur tangan ke dua orang tuanya, khususnya sang Ibu.
"Sudahlah, Bu. Biarkan Gya berjuang terlebih dahulu!"
Selalu seperti itu. Ayah sama sekali tidak mendukung Gya. Namun, Ayah juga selalu berusaha untuk menekan Ibu secara perlahan. Gya tidak tahu apa yang Ayah coba lakukan. Hanya saja, Gya sudah merasa bahwa dirinya sudah menyerah tentang cita-cita dan impiannya. Sudah tidak ada lagi jalan untuk menjadi Bidan. Tidak ada lagi kesempatan untuk mengabdi kepada negeri di perbatasan. Seperti apa yang dia impikan saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Impian itu sudah lama Gya kubur dalam-dalam. Yang hanya bisa Gya lakukan saat ini hanyalah menikmati hidupnya dalam diam. Setidaknya Gya masih bisa melanjutkan hobinya dalam menulis cerita.