Gya merasa bahwa hari ini memang cukup melelahkan. Dia juga merasa bahwa entah mengapa dia merasakan kesialan yang tidak terduga di hari ini. Bagaimana tidak, pagi hari sebelum berangkat interview, dia sudah kesiangan dan kesulitan mendapatkan angkutan umum. Dan terpaksa harus jalan jauh agar bisa naik busway. Untungnya, dia memiliki satu menit saat sampai di lokasi interview. Jadi, dia tidak terlambat sama sekali—hanya hampir terlambat. Setelah itu, Gya merasa bahwa dirinya sama sekali tidak optimal dalam menjawab interview yang diberikan. Terlebih lagi saat tanpa sengaja mendengar bahwa sudah ada beberapa kandidat yang terpilih lewat jalur dalam. Benar-benar membuat Gya merasa bahwa dirinya tidak akan menjadi pengangguran season dua. Belum lagi saat pulang ke rumah, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi berhasil membuat bajunya basah karena cipratan air kubangan. Ingin rasanya Gya memaki pengendara mobil tersebut. Sayangnya, mobil itu benar-benar tidak berhenti meski hanya untuk sekadar meminta maaf.
"Ah, sialan!"
Gya menghentakkan kakinya dan berjalan menuju gang. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Hanya harus masuk gang dan berjalan sekitar lima ratus meter. Namun, entah mengapa hari ini terlalu terasa jauh. Mungkin karena Gya merasa tubuhnya sudah tidak bisa lagi menanggung beban. Gadis itu benar-benar ingin segera sampai rumah dan mandi. Setelah itu, merebahkan tubuhnya yang ringkih di ranjang kesayangannya.
"Gya, bagaimana dengan interviewmu?"
Belum juga Gya mengucapkan salam, suara Ibunya sudah menyambut dirinya dengan sebuah pertanyaan. Bahkan sebenarnya Gya tidak ingin mendapatkan pertanyaan seperti ini begitu dia sampai di rumah. Sayangnya, saat Gya membuka pintu utama, sudah ada Ibunya yang menunggu dengan penasaran. Bagaimanapun, ini adalah interview yang entah ke berapa Gya lakukan setelah dirinya wisuda. Benar-benar bisa dibilang bahwa Gya adalag seorang pengangguran tulen.
"Tidak tahu. Pihak dari HRD perusahaan akan mengirimkan email bagi pelamar yang tidak diterima. Lalu akan menelepon pelamar jika mereka memenuhi syarat dalam waktu tiga hari paling lama. Jadi, kita tunggu saja," jawab Gya sambil lalu.
Gya sama sekali tidak ingin melayani pertanyaan berikutnya. Dia bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk segera mandi. Untungnya, keluarganya bisa dibilang kalangan menengah. Dia memiliki kamar mandinya sendiri di dalam kamar. Jadi, Gya tidak perlu kembali keluar dari kamar dan bertemu kembali dengan Ibunya.
"Bagaimana dengan Bos Perusahaan? Apa kamu bertemu dengannya? Seperti tanpa sengaja bertabrakan gitu?" tanya Ibu dengan semangat.
Ternyata wanita paruh baya itu mengikuti Gya sampai ke kamarnya. Masih dengan sapu ijuk yang berada di tangan kanannya. Sepertinya Ibu memang berniat untuk menyapu. Sayangnya hal ini urung dilakukannya karena kepulangan Gya ke rumah. Ibu benar-benar berharap bahwa Gya bisa bertemu dengan Bos Perusahaan meskipun hanya sekilas.
"Maksud Ibu apa? Bos Perusahaan apa?" tanya Gya yang mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menoleh ke arah Ibunya yang masih berdiri di pintu kamarnya.
"Kamu itu bagaimana sih? Sudah lupa apa yang Ibu ajarkan?" tanya Ibu balik dengan marah.
"Apa sih, Bu? Gak mungkin juga ketemu Bos Perusahaan di saat kayak gini. Lagian ini cuma pabrik cabang."
Mendengar penjelasan Gya, Ibu hanya bisa menganggukan kepala tanda mengerti. Gya sendiri memilih untuk masuk ke kanar mandi. Sangat enggan mendengarkan khayalan Ibunya tentang dirinya yang menjadi Cinderella. Menikah dengan bos kaya raya lalu hidup dengan bahagia. Jika Ibunya ingin dia menjadi Cinderella, bukankah dia harus memiliki Ibu tiri yang jahat? Namun, jangankan Ibu Tiri yang jahat, Ayahnya saja merupakan kelompok dari suami takut istri.
"Dasar anak gak tahu diri!" sungut Ibu.
Gya hanya bisa menggelangkan kepala sambil menggerutu. Jika Gya bisa memilih, dari pada bos perusahaan lebih baik Gya menikah dengan sahabat baiknya, Ravi. Karena menurut Gya, dia sudah mengenal Ravi sendiri dari luar maupun dalam. Sayangnya, Ibunya sama sekali tidak menoleh ke arah Ravi. Bagi Ibunya, menantu idaman adalah dia yang memiliki banyak harta kekayaan. Bisa memanjakan jika sosialita Ibunya yang selama ini tidak bisa terwujud karena gaji Ayah yang pas-pasan.
"Jadi istri konglomerat tidak seenak itu, Bu," gumam Gya.
***
Sore harinya, Gya merasa dirinya sangat segar. Tidur setelah mandi dan sepanjang siang benar-benar bisa mengubah moodnya menjadi lebih baik. Gadis itu juga merasa bahwa dirinya siap mendapatkan ceramah dari Ibunya tentang bagaimana caranya menggait pria kaya raya. Padahal, Ibunya sendiri sama sekali tidak bisa melakukannya. Buktinya, Ibunya menikah dengan Ayah dengan dasar cinta. Namun, karena hal inilah, Ibu tidak ingin dirinya menikah hanya karena cinta. Karena menurut Ibu, cinta sama sekali tidak bisa membantu dapur untuk mengebul. Dulu, Gya sangat merasa bahwa hal ini benar adanya. Hanya saja, setelah umurnya bertambah, Gya merasa bahwa angan-angan Ibunya itu cukup menggelikan. Jika Gya memikirkannya, apa yang akan dilihat para Bos kaya itu dari dirinya? Contohnya saja Bos tempat dirinya interview kemarin. Gya mendengar bahwa Bosnya itu bernama Rajendra. Seorang lelaki mapan yang bisa dibilang mendekati sempurna. Kaya, tampan, pintar, dan penuh siasat bisnis. Dalam usianya yang terbilang muda, Rajendra diakui sebagai pembisnis muda yang menjanjikan. Lalu, apa yang akan Rajendra lihat dari seorang Gya?
"Hei, apa yang kamu lamunkan sore-sore seperti ini?"
Suara ngebass yang tiba-tiba terdengar itu membuat Gya menoleh. Ternyata sahabatnya Ravi sudah duduk di sampingnya dengan senyum lebarnya. Ravi ini bisa dibilang sahabat masa kecil Gya. Rumahnya yang tepat berada di samping kanan rumah Gya, membuat mereka sering sekali bertemu. Jika ini terjadi di hidup gadis lain, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan terjebak dalam cinta masa kanak-kanak. Sayangnya, Ibu Gya selalu mengatakan bahwa Ravi bukanlah jodoh yang baik. Gya akan hidup seperti Ibunya yang menikah dengan Ayah. Padahal bagi Gya, hidup Ibu sudah bahagia. Ayah yang tidak neko-neko. Ayah yang sayang keluarga. Dan Ayah yang pekerja keras.
"Tidak usah dipikirkan soal interview. Sekarang waktunya kamu berdoa dan juga mencoba memasukkan lamaran ke perusahaan lain. Atau kamu mau ikut daftar PNS kayak aku? Kamu pintar, jadi kesempatan lolos seleksi pasti lebih tinggi," ucap Ravi. Ya, inilah Ravi. Dia yang selalu mencoba membuat Gya merasa lebih baik. Dan itu benar-benar selalu berhasil. Gya selalu merasa beruntung memiliki Ravi di sisinya.
"Makasih, tapi kamu tahu sendiri bahwa Ibu tidak akan mengijinkan aku untuk mengikuti seleksi calon PNS," tolak Gya dengan tenang.
Ravi mengangguk mengerti. Ibu dari sahabatnya ini bisa dibilang sangat berbeda. Jika orang lain dipaksa mencoba mendaftar PNS oleh orang tua mereka, Gya adalah contoh yang berbeda. Sang Ibu tidak pernah mengijinkan Gya untuk mencoba. Malahan, Sang Ibu selalu mendorong gadis itu agar bisa masuk ke perusahaan bonafit. Bukan karena gajinya yang besar, tapi karena ingin membuat bos perusahaan itu jatuh cinta dengan anak gadisnya.
"Jangan cemberut seperti itu. Aku mendengar bahwa sebuah perusahaan akan membuka lowongan tak lama lagi. Jadi, jika saat ini tidak ke terima, kamu hanya perlu memasukkan lamaran ke perusahaan lain. Jodoh, rejeki, dan kematian seseorang sudah ada yang mengatur. Jadi, jangan risau."
Gya mengangguk setuju dengan Ravi. Dia sebenarnya tidak ingin risau seperti ini. Hanya saja, Gya sudah tidak betah bila harus selalu di rumah. Apalagi jika harus mendengarkan ocehan ibunya setiap saat. Benar-benar tidak bisa.