PROLOG
"Namanya siapa? Kenapa nangis di sini?"
Rejendra, seorang lelaki tampan yang nampak lelah, menatap dengan penuh kasih ke anak berumur empat tahun di depannya. Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu dengan dengkul yang sedikit lecet. Sepertinya dia baru saja terjatuh saat bermain.
"Kea. Namaku Kea. Aku baru saja jatuh," jawab anak perempuan itu dengan aksen yang sedikit tidak jelas. Mata Kea tidak tertuju pada Jendra, tapi masih tertuju pada dengkulnya yang lecet.
"Sakit?" tanya Jendra. Dia mengusap pelan kepala Kea sambil tersenyum. Tiba-tiba, Jendra teringan hansaplas yang baru saja dia beli. Meskipun tadi sempat dongkol karena memiliki motif hewan-hewan, tapi sekarang Jendra sedikit bersyukur.
"Jangan nangis lagi. Sini Kakak tiup," ucap Jendra sambil meniup lutut Kea. Dia tersenyum lembut sebelum akhirnya berkata, "Bimsalabim. Sembuh! Lihat, Kakak udah utus hewan-hewan itu untuk menjaga Kea. Jadi, Kea tidak jatuh lagi dan tidak akan sakit lagi."
"Tapi, Kea tidak menangis karena sakit," gumam Kea dengan pelan. Dia memang sudah tidak menangis, tapi masih ada getaran takut yang terdengar di suaranya.
"Lalu, kenapa Kea menangis?" Jendra yang merasa bingung hanya bisa menatap anak perempuan itu. Dia memilih bangkit dari jongkoknya dan duduk di samping Kea. Menunggu gadis kecil itu bercerita.
"Kea takut Mama marah. Mama selalu sayang sama Kea. Mama tidak pernah ingin Kea jatuh. Tapi, Kea masih saja nakal," ucap Kea dengan terbata-bata. Hal ini membuat Jendra merasa sedikit kasian. Ke mana Mama dari anak ini sehingga anak seumuran Kea bisa berlarian di jalan seperti ini? Untungnya ini adalah jalan yang sedikit kendaraan bermotor. Namun, tetap saja tidak baik melepaskan anak sekecil ini sendirian.
"Lalu, Mama Kea kemana?"
"Mama ...."
"Kea, Mbok sudah bilang tunggu dan jangan lari-lari!"
Sebuah teriakan yang berasal dari seorang wanita paruh baya membuat Jendra menoleh. Dia agak kesal karena wanita itu memotong jawaban dari Kea. Hanya saja, Jendra tidak bia marah begitu saja. Bagaimanapun, dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya orang asing yang kebetulan lewat di sini.
"Mbok, maaf. Kea maunya mengejar eskrim dahulu. Tapi ... tapi, Kea jatuh," ucap Kea dengan terbata-bata. Gadis kecil itu memeluk wanita yang dipanggil Mbok dengan erat sambil menangis. Membuat Mbok hanya bisa menghela napas dan menggendong Kea.
"Mbok Is tidak marah?" tanya Kea dengan mimik muka yang menggemaskan.
"Mengapa Simbok harus marah?" tanya Mbok Is sambil tertawa. Dia benar-benar mencintai gadis kecil yang sudah dia rawat sejak bayi ini.
"Kea nakal?"
"Mbok Is tidak pernah marah meski Kea nakal, bukan?" tanya Mbok Is sambil mencium pipi Kea dengan gemas.
"Mbok Is yang terbaik," ucap Kea dengan semangat. Gadis kecil itu tertawa riang sambil mengacungkan dua buah jempol kecilnya. Namun, tak lama setelah itu, Kea kembali murung.
"Takut Mama sedih?" tanya Mbok Is. Wanita setengah baya itu mengelus pelan rambut Kea. Dia merapikan beberapa anak rambut yang terlihat berantakan.
"Ya, Mama pasti sedih lihat Kea terluka. Kea selalu lupa dengan pesan Mama sebelum berangkat kerja," jawab Kea sambil mengangguk sedih. Dari jawaban Kea inilah, Jendra tahu bahwa Ibu Kea sedang bekerja. Mbok Is ini mungkin neneknya atau mungkin juga pembantunya. Di Yogyakarta seperti ini, Simbok bisa berarti nenek ataupun ibu.
"Ah, saya hampir lupa. Terima kasih karena telah menolong cucu saya. Maaf karena merepotkan. Orang tua ini benar-benar tidak bisa mengejar langkah Kea yang semakin gesit," ucap Mbok Is tiba-tiba. Dia teringat bahwa masih ada lelaki muda yang tadi sempat berbicara dengan Kea.
"Ah, sama-sama. Tidak perlu sungkan. Aku tetangga baru di sini. Kebetulan aku baru tinggal di Villa sana," ucap Jendra dengan terbata. Lalu dia menyesali jawabannya. Untuk apa dia mengatakan soal villa itu? Dasar bodoh!
"Ah sekali lagi terima kasih. Kalau begitu, kami berdua mohon pamit."
Setelah berpamitan dengan Jendra, Mbok Is dan Kea berbalik. Mereka kembali ke rumah mereka karena sudah tidak mungkin untuk mengejar penjual es krim yang menggunakan sepeda. Jadi, mereka berdua lebih memilih untuk menunggu Mama Kea pulang ke rumah.
"Andai dia masih di sisiku, bukankah dia akan sebesar Kea?" gumam Jendra dengan pilu. Lelaki itu tidak ada niatan lagi untuk pergi ke alfamart di ujung gang.