BAB 2

1014 Words
Di sebuah rumah sederhana di kawasan Jatinegara. Terlihat sebuah keluarga yang sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Kepala Keluarga dari rumah itu sedang sibuk menggunakan sepatu. Si anak perempuan bungsu dengan buku catatan dan sepiring nasi gorengnya. Dan si Ibu sedang mengoceh tak jelas di depan sebuah pintu kamar. "Gya, kamu yakin gak mau sama si Aldo? Dia bapaknya punya banyak restoran mewah. Aldo ini anak semata wayang," ucap si Ibu dengan lantang. Ini sudah berulang kalinya dia menawarkan seorang pria kepada anak gadisnya. "Duh, Buk. Ibu 'kan tahu gimana Gya. Gya gak suka sama Aldo. Dan lagian, Gya bisa cari calon suami sendiri," tolak seorang gadis berkuncir kuda yang bernama Gya. Dia saat ini menggunakan kemeja putih dan rok hitam selutut. Tipikal pelamar kerja yang siap untuk interview. "Apa? Kamu mau nikah dengan laki-laki yang kek mantanmu itu? Yang hanya modal cinta sama janji-janji manis? Mau jadi apa hidupmu? Nih, Gy, kamu harus cari suami yang kaya. Yang bisa jadiin kamu sebagai ratu di istananya. Bukan di gubuk seperti ini," cerca Ibu. Wanita berumur hampir lima puluh tahun itu menatap anaknya dengan sengit. Pikirnya, susah sekali membuat anak perempuannya ini untuk mengerti. Tidak ada orang yang bisa hidup hanya bermodal cinta. Dan dia adalah saksi hidup yang salah langkah. "Sudahlah, Bu. Biarkan Gya sarapan. Dia harus datang interview untuk saat ini. Kamu bisa membahasnya ini nanti malam," lerai Bapak. Lelaki setengah baya itu sedang sibuk mengeluarkan motor bututnya dari dalam rumah. Suara motor yang jeber terdengar beberapa saat kemudian dari halaman rumah mereka. "Kamu harus lihat Ibu, Nak. Nikah hanya modal cinta itu jadinya ya seperti ini. Jangan kamu ulangi lagi nasib tragis Ibu. Mengerti kamu?" tanya Ibu sambil menyerahkan sepiring nasi goreng untuk Gya. Wanita yang umurnya hampir setengah baya itu juga sibuk dengan piring-piring kosong bekas sarapan dari suaminya dan anak perempuan bungsunya. "Mengerti, Bu." Gya menjawab pertanyaan ibunya dengan seadanya. Lagipula, jika dia membantah, ceramah ibunya tidak akan berhenti. "Kamu jangan kayak kakak perempuanmu itu. Gak bisa dibilangin, akhirnya milih buat kabur dari rumah. Benar-bener kurang ajar." Dan mulailah curahan hati Ibu yang akan sejauh jalan kenangan. Sedangkan Gya, mau tak mau harus mendengarkannya karena nasi goreng ini benar-benar susah untuk ditelan. Benar-benar pagi yang menyiksa. Untungnya, ada satu hal yang membuatnya semangat. Dia akan interview di tempat pujaan hatinya selama ini berada. *** Di sebuah ruang tunggu sebuah pabrik di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur. Suasana di sekitar Gya sangat tegang. Karena hari ini, dari ratusan orang yang akan diwawancara kerja, hanya akan ada lima belas orang yang diterima di pabrik ini. Awalnya, bahkan ada lebih dari seribu pelamar yang melamar untuk posisi ini. "Ah, seperti biasa. Untuk masuk sebagai bagian dari Universal tidak mudah." "Ya, bahkan untuk menjadi bagaian produksi. Apalagi kita yang bagian pengawas kontrol." "Rumor yang beredar, kita ini akan menangani brand baru yang akan diluncurkan oleh Rajendra." "Rajendra yang sangat ganteng itu?" Obrolan para pelamar wanita di sekitar Gya membuat rasa tegangnya sedikit teratasi. Ya, sama seperti pelamar wanita lainnya, selain karena pabrik ini memiliki perlakuan terhadap karyawan paling baik daripada yang lain, alasan utamanya adalah Ceo yang baru saja diangkat. Rajendra Gunandi, CEO muda yang cukup terkenal karena kesuksesannya. Apalagi, dia juga berteman dengan Gilang, DJ terkenal yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu juga Rafael, salah satu cucu kesayangan dari salah satu mentri yang menjabat di periode ini. "Jadi, memang benar rumor tentang Rajendra?" Alasan Gya tidak mau dijodohkan oleh pilihan ibunya adalah lelaki ini. Gya jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Saat itu, Gya yang masih berstatus mahasiswa baru hanya bisa memandang Rajendra dari jauh. Apalagi saat Gya sadar bahwa Rajendra saat itu hanya mampir. Bukan mahasiswa di universitas itu seperti Gya. "Apakah dengan keterima di sini aku bisa bertemu dan berinteraksi dengannya?" pikir Gya sekali lagi. Bagi Gya, hidup seperti seorang ratu itu adalah impian semua wanita. Hanya saja, dia tidak mau menikasi seorang duda. Apalagi orang yang benar-benar tidak dia kenal. Meskipun Jendra tidak mengenal Gya, sudah cukup bagi Gya untuk mengenal Jendra. "Aleesya Gayantri!" Teriakan dari arah pintu itu menghilangkan semua lamunan indah Gya. Dengan jantung yang berdetak kencang, Gya melangkah pelan menuju ruangan interview. Di ruangan inilah semua nasib Gya ditentukan. Maka dari itu, Gya bertekad untuk memberikan yang terbaik. Demi melancarkan jalannya menjadi ratu dari istana yang Rajendra buat. "Nama lengkap?" tanya seorang perempuan yang sepertinya kepala HRD di pabrik ini. Wajahnya yang benar-benar tenang memberikan kesan dingin kepada Gya. "Aleesya Gayantri Jaamise. Biasa dipanggil Gya." "Dari mana kamu tahu tentang lowongan perusahaan ini?" Pertanyaan klise untuk sebuah wawancara. Namun, meskipun pertanyaan ini sama, sayangnya Gya sama sekali tidak pernah bisa melewatinya. "Dari f*******:, Bu." "Sebutkan apa kekurangan dan kelebihan kamu." Fix, pertanyaan ini yang benar-benar membuat bingung para pelamar. Selain tentang pertanyaan soal gaji bulanan tentunya. Karena pertanyaan ini benar-benar menjebak. Kalau kita terlalu menyebutkan kekurangan kita, para atasan ini akan menganggap bahwa kita bukan orang yang percaya diri. Atau juga sebaliknya. "Kelebihan saya ...." Interview yang dilakukan oleh Gya tidak berlangsung lama. Meski begitu, Gya merasakan bawa waktu berputar dengan sangat cepat. Yah, semua ini memamg sudah berlalu. Gya sendiri merasa bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik. Jadi, dia hanya harus menunggu kabar selanjutnya. "Apakah di sini ada kantin yang boleh dimasuki orang luar?" gumam Gya. Karena tegang, Gya merasa sedikit lapar. Dia juga ingin mencari info lain tentang pabrik dan juga Rajendra. Mungkin info yang dia dapat ini bisa berguna bagi dirinya suatu saat nanti. "Tahu tidak, katanya sudah ada bebarapa kursi dari lowongan ini yang terisi," ucap seorang wanita muda yang duduk tidak jauh dari Gya. Gya sendiri saat ini sedang minum es teh di kantin pabrik. "Eh, masa ada yang seperti itu?" "Aku kira lowongan ini tidak akan ada permainan orang dalam." "Yah, bagaimanapun juga nepotisme ada jika memiliki celah." Gya, yang mendengar percakapan itu dengan sengaja, merasakan badannya lemas. Jika memang ada yang seperti itu, apakah ini berarti dia akan kembali menjadi pengangguran? Lagi pula, awal mula dia mendaftar di pabrik ini karena coba-coba. Semua itu karena paksaan dari sahabatnya—Ravi. Hingga tanpa sengaja dia menemukan benang merah yang menghubungkannya dengan Rajendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD